“Pagi, Sayang!” Aku mendengar suamiku menyapa ku pagi ini. Meski seluruh tubuh masih terasa lemas untuk kugerakkan tapi, tangan kokohnya menuntun aku bangun.
“Makan, gih! Aku udah masakin nasi goreng daging cincang tadi sewaktu kamu masih tidur, Sayang. Karena lima menit lagi aku harus ke kantor, Sayang.” Beni berucap sembari memakai kemeja dengan gerakan cepat.
“Iya, Sayang. Thanks, ya, karena kamu udah perhatian banget sama aku dan juga si kembar.” Aku berdiri sembari memasangkan dasi polos berwarna navy yang kusembunyikan di bawah kerah kemeja Beni.
“Sama-sama, Sayang. Kan, kita keluarga.” Beni menjawab sambil menatap mataku yang belu berkedip untuk beberapa saat karena terkesima pada sang lelaki di hadapanku saat ini.
“Oh, iya, Sayang. Kamu ada pindahin arsip di meja depan, nggak? Soalnya tadi aku cari-cari ngga ketemu,” tanya Beni serius seperti ekspresi mengingat-ingat.
“Iya, Sayang. Ada. Kemarin aku taruh di ruangan kerja kamu, coba aku cek dulu, ya?” jawab ku sembari beranjak menuju ruang kerja suamiku yang letaknya bersisian dengan ruang televisi.
Aku lupa kalau jendela di sana dekat dengan pohon halaman belakang. Meski begitu, aku tetap harus mengambil arsip untuk kepentingan kerja suamiku. Setelah menutup pintu, akhirnya beberapa menit saja aku telah berada di ruangan sederhana dengan nuansa tenang. Mungkin karena ini ruangan kerja makanya aku berpikir demikian. Tanpa berlama-lama, aku segera meraih map berwarna biru tua itu yang terletak di sisi meja kayu beralaskan kaca bening.
Benar saja, lagi-lagi kaki ini sudah kugerakkan entah kenapa mendadak bisa begini. Astaga! Terlihat oleh ekor mata tampak sosok bayangan hitam melintas bagai kilatan cahaya menembus dimensi lain. Sesaat kemudian seperti ada yang mendorong pintu terdengar dari deritanya di telingaku. Sementara badanku masih membelakanginya dan enggan untuk ku toleh.
“Sayang, gimana apa ada arsipnya?” Syukurlah, ternyata itu Beni yang datang. Hampir saja aku mengiranya bukan.
“Oh, a-ada, Sayang,” jawabku dengan gugup dan langsung berbalik badan menatap Beni yang masih berdiri di depan pintu.
“Oke, Sayang. Aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri dan jaga di kembar, ya?” lanjut Beni seraya mengecup keningku dan mengelus rambutku. Aku senang melihat sikap baik suamiku sekarang.
Beberapa menit setelah Beni pergi kerja, aku bermaksud mengecek kedua putriku yang mungkin masih di ruang mimpi sekarang ini. Usai mengganti piyama dengan bluse berwarna merah muda yang pagi ini jadi pilihanku, aku langsung menuju ke kamar mereka—putri kecil ku. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar dan mendapati kamar kosong. Pikirku, ke mana mereka?
Karena penasaran, aku mencoba mencari ke semua sudut termasuk membuka lemari dan membolak-balik seluruhnya. Namun, mereka juga tidak ada di sana. Akhirnya aku keluar dan melanjutkan untuk mencari ke seluruh ruangan rumah akan tetapi, tetap tidak ada tanda keberadaan mereka. Hingga mataku menangkap ke sisi halaman belakang dan ternyata si kembar tengah berbicara diiringi tertawa riang dengan sosok perempuan cantik, siapa lagi kalau bukan Maya.
Aku jadi merasa bersalah pada kedua putri ku sebab kemarin aku tidak membolehkan mereka ketemu dengan perempuan itu. Dan sekarang ia muncul mencoba mendekati Andin dan Andita.
Jujur, aku tak ingin mereka mendapat gangguan mahluk gaib meski mereka bisa muncul di siang hari. Tanpa berpikir lama, aku berjalan cepat sedikit berlari menuju tempat ke dua gadis kecil ku.
“Andin! Andita!” Aku berseru memanggil mereka dan mendengar suaraku akhirnya mereka serempak menoleh.
“Kalian ngapain di sini, sih, Sayang? Andin! Andita! Jawab Mama!” Aku meninggikan suara dan menatap serius ke hadapan mereka karena begitu aku melihat sosok Maya—perempuan itu langsung menghilang setelah menatap jarak jauh ke arah ku."Ma ... maafin kita, Ma. Tadi nggak bilang dulu sama Mama juga Papa waktu Tante Maya ngajak kami main bareng," ucap Andin lirih dengan nada takut-takut dan menunduk.
"Iya, Ma. Andita juga salah karena nggak mau Kak Andin ngasih tahu Mama dulu tadi," timpal gadis kecil itu yang menatap padaku dengan nada sedih.
"Iya, Sayang. Mama maafin, kok, tapi lain kali kalo mau keluar rumah kabarin Mama sama Papa dulu, ya, Sayang?" lanjutku kembali menasehatinya.
"Iya, Mama. Andin ngerti."
"Ya, udah. Sekarang, ayo kita nonton TV aja!" ajakku berusaha agar mereka melupakan soal bermain dengan si hantu jelmaan itu.
Saat beberapa menit menonton, tiba-tiba ponselku berdering. Lantas kuraih benda dengan layar bergetar itu dan kulihat di sana tertera nama Nadia memanggil. Syukurlah, ternyata bukan telepon aneh yang manggil bukan manusia.
"Halo, Mbak Adinda?" ucap Nadia terdengar dari balik ponsel.
"Iya, Nad. Ini Mbak sendiri. Ada apa Nad?" tanyaku semangat dan ikut tersenyum.
"Aku sekarang lagi di taksi online mau ke tempat, Mbak. Aku juga ada bawa beberapa baju nih dalam tas--ranselku, rencana mau nginep di rumah Mbak. Boleh kan? Soalnya aku udah kangen banget sama si kembar."
"Oke, Nad. Mbak tunggu, ya. Hati-hati di jalan, Nad." Akhirnya aku menutup telepon dan ingin cepat mengabari Andin dan juga Andita. Mereka pasti senang dengan kedatangan Tantenya. Setidaknya selama ada Nadia di sini, mereka teralihkan dari ajakan mahluk tak berwujud itu.
Setelah aku memberitahu pada kedua putri kembar ku tentang kedatangan Nadia dan menginap beberapa hari, mereka begitu antusias ingin segera menyambutnya. Bagaimana tidak, kebersamaan dan cinta seorang Nadia begitu tulusnya ia berikan pada mereka. Bahkan sewaktu si kembar kecil, Nadia tak pernah meninggalkan apalagi mengacuhkan mereka. Mungkin oleh sebab itu Andin dan juga Andita lengket pada perempuan pengejar karir seperti Nadia.
Tak berapa lama, terdengar suara mobil berhenti di depan pintu gerbang depan. Begitu si kembar menyadari seseorang datang, mereka berlari dengan cepat membukakan pintu dan aku didahului oleh dua putriku sendiri.
"Horeee! Tante Nadia datang!" teriak si kembar begitu antusiasnya ketika melihat Nadia tiba di depan pintu dengan senyum manis terukir di wajahnya.
"Hai, Sayang! Astaga, kalian udah segede gini aja?"
" Ini pasti Andin kan dan ini pasti Andita? Tante nggak salah kan?"
"Iya, Nad. Kamu nggak salah, kok, kan waktu kecil mereka bareng kamu terus. Iya, kan, Sayang?"
Bisa kulihat rasa bahagia terpancar di kedua bola mata mereka ketika Nadia mencium pipi Andin dan Andita. Ah, semua pemandangan ini begitu indah untuk dinikmati.
"Jadi, mau di luar terus, nih, Sayang? Yuk, kita suruh Tante Nadia masuk dulu!"
"Yuk, Tante!"
Setelah Nadia masuk dan beristirahat sejenak, aku melangkah ke dapur untu meracik minuman untuknya. Sementara Andin dan Andita berlanjut menonton acara kesayangan mereka sembari ditemani Nadia.
Aku meletakkan cangkir minuman dan camilan seadanya di meja kecil lalu ikut menemaninya duduk.
"Waktu kamu ke sini, udah tahu Nenek dulu, Nad?" tanyaku ingin memastikan saja.
"Udah, Mbak. Bahkan Nenek titip salam untuk Mbak Dinda dan buat Mas Beni juga. Dan yang lebih utama nih, Nenek titip rindu buat si kembar. Katanya kangen banget, hehe." Nadia berbicara sembari menyicip makanan di hadapan.
Aku sebenarnya ingin menanyakan sesuatu hal padanya. Namun, aku merasa sepertinya ada yang menatapku dari belakang Nadia.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Batin Adinda [Tamat]
HorrorAdinda yang menginginkan kebahagiaan dan ketenangan dalam keluarganya harus merasakan keanehan dan gangguan mahluk gaib. Semenjak kepindahan dirinya beserta keluarga ke rumah yang baru saja dibeli oleh Beni--suaminya, dua anak perempuannya, Andin da...