Hantu Bermata Sendu

100 16 6
                                    

"Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah.

"Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat.

"Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.

Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya.

"Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka.

"Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil.

"Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya.

"Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku menyuruh Andin duluan keluar menunggu kami menyusul.

Tak berapa lama, Andin pun keluar ketemu Papanya. Sedang aku masih menunggu Andita bangun dan akhirnya gadis kecil itu bangkit juga. Terlihat Andita mengerjap beberapa kali dan menatapku dengan malas.

"Ma, kok, mama di sini? Loh, Kak Andin mana? tanya gadis kecil itu mendongak ke arahku.

"Sayang, makan dulu, Yuk! Kak Andin tadi udah bangun duluan. Sekarang nungguin kita bareng Papa di sana," ucapku sembari menuntun Andita turun dari ranjangnya.

Sesampainya di ruang makan, aku membuka beberapa bungkusan yang dibawa pulang suamiku. Aku tidak menyangka ternyata ia masih ingat makanan kesukaanku nasi goreng ayam panggang dan buat si kembar seperti biasa yang mereka makan paha ayam crispy. Sedang buat dirinya sendiri ia membeli sate daging sapi plus empat kotak nasi putih.

Aku bahagia setiap kali melihat suami dan kedua putriku bercengkrama dan bersenda gurau selayaknya orang tua dan anak-anaknya. Andai saja Beni selalu bersikap lembut seperti pada Andin dan juga Andita, pasti mereka sangat bahagia punya Papa yang begitu sayang pada mereka lebih dari apapun.

Usai makan lantas suamiku dan si kembar kembali ke kamarnya. Dan aku masih di sini sendiri membereskan bungkus makanan dan gelas minuman yang kotor bekas dipakai tadi. Mungkin aku perlu memindahkannya untuk sementara ke dapur sebelum esok pagi dibuang ke tempat sampah.

Aku berjalan dengan menenteng kresek bungkusan tersebut ke arah dapur sembari mengedarkan pandangan yang masih belum mengenal rumah ini dengan baik. Perlahan kuletakkan di atas meja berukuran sedang yang berada di dekat dinding.  Saat beberapa detik ku menapakkan kaki di ruangan itu, aku seperti merasakan sesuatu bayangan lewat dengan kecepatan kilat di dekatku berdiri.

Bukan hanya bayangan itu saja tapi sosok perempuan berpakaian putih berdiri mengambang di dekat daun pintu. Benar saja,  sosok perempuan cantik bermata sendu menyeringai padaku dengan kakinya yang mengambang. Sesaat kemudian makhluk menyeramkan itu menghilang dan pintu belakang terbuka dengan sendirinya.

Aneh. Kenapa tiba-tiba pintu belang itu terbuka sendiri? Bahkan angin pun tidak berhembus sama sekali. Sunyi sepi malam sungguh terasa terlebih malam ini adalah malam pertama aku menempati rumah ini.

Akan tetapi, yang terjadi ini sangat wajar. Mungkin sosok mereka yang tidak terlihat dengan pandangan mata normal ingin berkenalan dengan penghuni baru rumah ini. Asumsiku mereka bukan bermaksud menganggu melainkan ingin berteman dengan manusia di alam nyata sedang mahluk gaib punya alamnya sendiri.

Langkah kakiku seolah menarikku ke arah pintu belakang dan diiringi semacam dorongan yang membuat langkah secepatnya berada di sana. Ketika aku sudah berdiri di depan pintu, mataku terpaku pada sekitaran pohon besar yang terlihat berdiri kokoh dengan akar-akarnya yang sedikit merambat ke luar tanah.

Lagi, sosok makhluk cantik itu tampak berdiri dengan matanya yang menghitam sendu menatap ke arahku. Sungguh ini semua sangat aneh bagiku, mau apa sosok itu terus berdiri mengambang di bawah dekat dahan pohon yang dipenuhi dedaunannya.

Tanpa mengusik keberadaannya, akhirnya kututup pintu perlahan disertai deritnya yang sedikit berisik dan sangat menganggu indra pendengaranku.

Kemudian mataku masih menerawang sampai ke arah plafon rumah dan ke segala sudut dengan tatapan awas. Syukurlah, sepertinya aku tidak lagi merasakan kehadiran mereka saat ini. Karena aku menganggapnya wajar saja rumah baru ditempati dan suasana hati penghuninya belum bisa tenang.

Di luar dari pada itu, aku lega arena kedua putriku sangat senang kami pindah rumah baru apalagi mereka bisa bertemu dengan sang Papa setiap hari. Artinya akan lebih banyak waktu suamiku untuk menemani putri kembar kami dan memberi kasih sayang yang tiada berbatas untuk mereka berdua.

Karena semua sudah selesai, lantas aku melangkah menuju ke kamarku. Hanya beberapa langkah saja untuk mencapai pintu kamar kami. Kubuka perlahan dan memasukinya. Badan ini terasa begitu gerah dipenuhi keringat akibat bergerak terlalu banyak dengan segala aktifitas hari ini.

Kuraih koper lalu membukanya dilanjukan dengan mencari piyama yang khusus kupakai ketika aku tidur dengan suamiku. Setelah menanggalkan baju yang semula kemudian berganti dengan piyama kesayangan. Setelah selesai aku merasakan sepasang tangan mendekap ku dari belakang dengan hangat.

"Sayang, ah, ngagetin aja deh. Kamu kok, udah bangun? Beni tiba-tiba bangun dan memelukku.

"Emang kenapa? Kan aku kangen sama istriku yang udah berapa hari nggak ketemu," ucap Beni sembari menciumiku di tengkuk. Jujur, aku merasa geli dan gairahku perlahan bangkit.

"Hmm ... Aku juga merasakan hal yang sama, Sayang." Aku membalikkan tubuhku dan membalas pelukan lelakiku.

Malam ini terasa begitu berbeda ketika sentuhan Beni menyusuri lekuk tubuhku hingga tangan lembutnya melepaskan tali  piyama ku. Kemudian kami pun berbaring dan masih dengan posisi saling berpelukan. Aku sungguh tak mampu menolaknya ketika ia merayuku dan menggoda dengan tatapan matanya yang menyuguhkan segala rasa.

Malam begitu senyap akan tetapi kami tidak menghiraukannya terlebih Beni terus melanjutkan kegiatan kemesraan kami. Aneh aku sama sekali tidak bisa menahan gairah yang sedang menguasaiku dengan bentuk sentuhan yang kulakukan pada Beni. Sementara dua bibir kami masih saling berpagutan tanpa ingin melepaskannya. Bisa dikatakan detik, menit dan jam berlalu tanpa terasa. Kami begitu menikmatinya seolah tak ingin terpisahkan lagi karena malam ini begitu indah dan menggelora.

Beni mengembankan senyumnya ketika kami telah menyelesaikan apa yang telah kami mulai beberapa menit yang lalu. Kemudian aku mengenakan kembali piyama yang tadi tertanggal dan Beni melanjutkan tidurnya kembali. Benar saja, embusan napasnya belum beraturan karena kelelahan tadi.

Perlahan aku kembali berbaring dan menarik selimutku hingga menutupi batas dada. Aku menyampingkan posisi tidurku dan meletakkan tanganku ke pinggang Beni lalu mendekatkan tubuhku agar lebih mudah memeluknya.

Saat mata ini hendak menutup, samar-samar sepertinya aku melihat sosok hantu perempuan itu lagi di hadapanku dan dia mematung di sisi ranjang. Yang membuatku terkejut ia mengangkat kedua tangannya yang berkuku panjang dipenuhi tetesan darah yang begitu kental hingga menetes ke lantai.

Apa? hantu itu ingin mencekik Beni?

Bersambung ....

Semoga kalian suka dengan kisah Adinda dan si kembar. Jangan lupa vote dan komentar kalian ya

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang