Pemakaman Memilukan

76 7 0
                                    

“Adinda, Sayang!”

Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat.

“Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius.

“Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu.

“Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya.

“Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begini? Anak seusia mereka harus mengalami kematian yang mengenaskan begini?” Bisa kurasakan kesedihan yang mendalam dari matanya Nadia. Iya, mungkin ikatan emosi antara kedua putri ku dengan gadis itu begitu kuat.

Beberapa menit kemudian, aku melihat Beni berdiri mematung di tengah keramaian warga. Lantas aku mendekati suamiku itu. Sementara Nenek Idah dan Nadia masih duduk di kursi teras. Seolah justru mereka yang sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa buah hati kesayanganku.

Menyadari bahwa kehadiran aku di dekatnya, lantas Beni kembali merangkul bahuku. Lagi-lagi Isak tangis ini tak bisa kutahan, buliran bening terus menerus jatuh ke pipi.

“Maaf, Pak, Bu. Bisa sekilas diceritakan bagaimana kronologi kejadian pembunuhan terhadap putrinya?” terlihat salah satu petugas kepolisian menghampiri kami dan bertanya serius.

“Saya yang pertama kali melihatnya, Pak.” Aku langsung menjawab pertanyaan dari Pak polisi tersebut dengan perasaan takut yang masih menguasainya.

“Bisa Ibu ceritakan sedikit, Bu. Karena ini akan sangat membantu kami dalam menyelidiki latar belakang pelakunya.” Pria berkumis tebal dengan mata elang itu menjelaskan dengan gamblang dan tenang.

“Tadinya saya terbangun karena merasa haus sekali. Tanpa berpikir saya melangkah ke arah dapur yang kebetulan dekat dengan kamar putri saya. Lalu tanpa sengaja kaki menginjak sesuatu yang lengket terus saya menyalakan lampu. Saya melihat ruangan sudah penuh darah dan itu berasal dari kamar kedua putri saya. Akhirnya, saya langsung berlari menuju kamar mereka dan di sana mereka sudah terbujur kaku. Dan ... Sa-saya ....” Aku sudah tidak mampu untuk menjelaskan lagi pada pria itu kejadian lebih rinci.

“Maaf, Pa. Saya rasa saat ini istri saya belum bisa berbicara lebih lanjut karena ia masih sangat shok dengan kejadian ini. Saya harap Bapak bisa mengerti.” timpal Beni mencoba memberikan pengertian kepada pria berseragam cokelat muda itu. Benar saja, suamiku tidak akan sanggup jika melihat aku lebih lemah dari sekarang. 

Selesai suamiku berbicara dengan polisi, katanya proses autopsi jenazah korban akan dilakukan selama dua hari sampai nanti bisa dikuburkan. Sementara rumah belum bisa ditinggal karena penyelidikan masih berlangsung di sana. Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Nadia kebetulan tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari rumah.

Aku berharap semoga segera diketahui oleh para petugas kepolisian siapa pelaku pembunuhan kejam terhadap putri kesayangan kami.

Sesampainya di rumah Nadia, lagi-lagi ingatan kejadian pembunuhan Andin dan Andita. Sulit sekaligus sesak dalam jiwa ketika membayangi wajah dan mata polos mereka. Baru beberapa saat mereka bisa dekat dengan papanya namun takdir memisahkan dengan cara yang begitu keji. Aku tentu tidak ingin menyalahkan takdir melainkan diriku sendiri yang tidak mampu selalu menjaga mereka.

“Sayang. Kamu istirahat, ya, udah beberapa jam yang lalu kamu cuma duduk dan menangis seperti ini. Kamu juga harus menjaga kesehatan kamu, Sayang.” Terlihat wajah Beni begitu cemas memikirkan kondisi aku yang terus melemah. Karena kejadian malam kemarin membuat ragaku serasa lumpuh.

Dan hari ini aku harus segera datang ke pemakaman dua putri kembar ku yang nasibnya malang dan kisah kematiannya sungguh memilukan hati.

Tepat di pusara Andin dan Andita aku menyaksikan kedua jenazah yang siapa di tutup dengan tanah dan di atas gundukan itu aku masih saja belum mampu menerima kepergian mereka. Hatiku sungguh tak berbentuk lagi saking hancurnya. Sekarang aku hanya seorang Ibu yang memeluk sunyi karena ditinggal buah hati tercintanya.

Kulihat semua warga telah mengelilingi makan kedua putri ku dan juga beberapa petugas kepolisian mendatangi acara pemakaman.

Kupandangi wajah tua sang Nenek yang masih sulit untuk bisa tersenyum meski kadang ia juga mencoba untuk tersenyum padaku. Begitu juga dengan wajah sepupuku yang masih terlihat jelas bahwa ada luka yang menancap di sana. Terlebih Nadia adalah gadis cantik yang selalu memberikan kasih sayang untuk Andin dan juga Andita.

Lantas Beni, lelakiku itu terkadang murung akan terjadi terkadang ia mempunyai wajah yang berseri entah mengapa selalu ada perbedaan dari suamiku itu. Namun, detik ini dada bidangnya masih ia sediakan untukku bersandar serta menenggelamkan tangis kala ia membuncah tanpa bisa lagi untuk kutahan.

Pemakaman putri kami berlangsung dengan hikmat. Kini beberapa orang telah meninggalkan tempat ini. Sementara para petugas kepolisian masih harus menunggu sampai benar-benar selesai.

“Bapak, Ibu, boleh Ki minta waktu sebentar?” tanya polisi yang berkumis tebal yang kemarin saat kami berada di rumah.
“Iya, boleh, Pak.” Aku menjawab seadanya. Tapi sekarang aku bersyukur karena sedikit bisa untuk lebih mengontrol emosi.

“Sementara menunggu hasil autopsi putri Ibu, apa Ibu dan Bapak bersedia ikut kami ke kantor untuk pemeriksaan lebih lanjut?” lanjut polisi itu yang sempat membuat Beni kaget.

“Tunggu!” Jadi, Anda menuduh kami terlibat dalam pembunuhan anak kami sendiri?” Beni terlihat geram dan menaikkan nada suaranya. Bisa terlihat dalam matanya ia menentang permainan sang polisi. Aku mendadak menjadi bingung melihat sikap suamiku begitu.

“Enggak, Bapak. Maksud saya bukan begitu, bukan ... Tapi nanti kami akan melakukan interogasi mungkin Bapak dan Ibu akan ditanyakan beberapa hal mengenai kejadian yang menimpa putri kembar Bapak dan Ibu.” Polisi itu menjelaskan lebih lanjut agar suamiku tidak salah mengartikan pembicaraannya.

Akhirnya aku mencoba juga untuk menenangkan hati Beni yang sempat panas.


“Sayang, siapa tahu setelah kita memberikan keterangan yang kita ketahui dan itu dapat membantu penyelidikan mereka, kan, lebih bagus, Sayang. Lagian ini semua kita lakukan agar kita tahu siapa yang melakukan kekejian ini terhadap Andin dan Andita—putri kembar kesayangan kita, Sayang. Aku mau kamu ikut, ya, Sayang? Supaya kita segera tahu siapa yang tega merenggut kebahagiaan kita.” Aku mengusap bahu Beni lembut dan mencoba untuk memahami keadaan dirinya yang sama rapuhnya juga dengan aku.



Bersambung ....

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang