Cakaran Mengerikan

71 11 1
                                    


Gerimis yang datang tiba-tiba terkadang memberi pertanda tidak biasa. Tetesan kristal bening itu mengalir dari atap hingga menyentuh kaca jendela kamarku. Hawa dingin tanpa permisi menyelinap mengisi ruangan hingga efeknya bagai menusuk ke dalam tulang. Biasanya ini waktu aku dan suami menghabiskan malam berdua, iya, hanya aku dan Beni.

Magrib tadi, kalau boleh jujur, aku masih sedikit merasakan ketakutan. Perempuan itu hampir setiap waktu mencoba mengganggu ketenangan di rumah ini. Aku tahu, penglihatan ini bukan penglihatan normal tapi dengan aku memilikinya, membuat hati dan jiwa seperti melanglang buana ke alam yang mungkin berbeda dengan dunia ini.

Oke! Mungkin aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini tapi bukan berarti aku bisa mengatasi semua hal yang terjadi. Terlebih saat sosok dari mereka hadir tanpa diundang masuk dalam kehidupanku.

Sudah dua malam sejak saat teror itu dimulai Beni menginap di kantor karena seringnya ia lembur. Dan keadaan itu memaksaku untuk terus didatangi mereka yang tak kasat mata. Situasi ini terus kualami sepanjang hidupku. Makhluk yang kutemui dengan berbagai macam bentuk yang menyeramkan.

Aku menaikkan kedua kakiku ke atas ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang serasa menggigil ini agar terasa hangat. Kulirik ke sebelah kanan, dua bola mataku tertuju pada bantal sebagai alas kepala sang suami yang setia menemani. Namun, kali ini yang tersisa hanya aroma wangi tubuhnya saja tanpa raga suamiku. Entah kenapa mata ini berat kututup, mungkin karena saking dingin di kamar ini.

Malam semakin sunyi, rintik rinai belum juga berhenti. Lagi, indera pendengarku menangkap suara tawa disertai tangis yang memilukan hati. Astaga! apa lagi ini?  Mungkin kali ini aku tidak boleh memikirkannya agar supaya suasana hatiku juga bisa sedikit tenang.

Tanpa pikir panjang, kutarik selimut hingga menutupi kepala dan sekarang sedikit celah cahaya pun tak tampak. Mungkin akan lebih baik jika beberapa saat aku memgeram di bawah selimut sampai suara lengkingan sosok mata sendu itu menghilang.

Benar saja, suaranya semakin meninggi tanpa henti. Kukuatkan tekat dalam ruang gelap ini untuk terus mengunci diri sampai pagi menyapa.

Akhirnya mata ini terbuka benar-benar pada pagi hari. Artinya semua mahluk tak berwujud sudah kembali ke alamnya.

"Mama! Ma ... Buka pintunya!" Tiba-tiba aku mendengar teriakan Andita dari luar. Seketika tingkat kekhawatiranku naik seribu persen. Sepersekian detik aku berlari dan membuka pintu kamar.

"Kenapa, Sayang?" tanyaku singkat menatap lekat ke wajah putriku.

"Kak Andin ... Ma. Kak Andin lagi sakit, Ma," jawab Andita lirih dan aku melihatnya tidak  tenang.

Tanpa pikir lama, aku dan Andita langsung bergegas ke kamar mereka. Aku dikejutkan dengan tiga cakaran berdarah pada punggung Andin. Pantas saja putriku mengerang kesakitan begini. Tapi, ini ulah siapa? Kenapa sampai kejadian begini bukankan aku tidak menganggu sosok gentayangan itu. Lalu kenapa harus putriku yang menanggung akibatnya. Aku merutuki diriku sendiri tanpa henti.

Melihat Andin kesakitan, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke puskesmas terdekat daerah ini.
Kebetulan jaraknya tidak jauh dari rumah. Sesampainya di sana, dokter setempat langsung menangani luka di punggung Andin.

Syukurlah, tadi aku bisa memberi dokter itu alasan apa yang menyebabkan Andin terluka. Namun, aku berpikir luka itu bukan berasal dari mahluk gaib melainkan itu terlihat seperti cakaran manusia normal.

Aku juga sempat menghubungi Beni tapi, tidak ada jawaban sama sekali darinya. Sampai amarah menguasai diri. Ini semua gara-gara Beni yang tak pernah menemani mereka sebelum tidur. Hampir tiap malam ia menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya hingga lupa pada kedua putri kembarnya yang merupakan darah dagingnya sendiri.

Setelah luka Andita dibungkus perban kasa putih, Aku menuntun kedua putriku untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Sampai di rumah, aku segera memberinya obat antibiotik dan lainnya untuk mencegah infeksi dari lukanya yang menyakitkan itu.

"Ma ...Kak Andin kenapa, Ya? Kok di punggungnya ada luka terus tadi darahnya banyak banget keluar, Ma," tanya Andita yang sama sekali tidak mengerti dengan yang dialami kakaknya.

"Nggak apa-apa kok, Sayang. Mungkin semalam ada kucing jatuh kena cakaran deh ke punggung Kak Andin. Tapi, sekarang udah diobatin sama dokter tadi, kan?" Aku menjawab juga mencari alasan agar Andita juga tidak takut memikirkan hal mengerikan itu.

"Ma, Papa mana? Andin mau ditemenin sama Papa," pinta Andin lirih serta buliran bening itu menetes dari matanya. Sungguh aku tak kuasa melihatnya rasanya ingin berlari ke kantor dan menyeret Beni segera pulang ke rumah.

Beberapa saat setelah Andin tertidur, aku dan Andita keluar dari kamarnya dan segera meraih ponsel yang tadi kutinggal di meja dekat meja makan. Lalu seperti biasa, Andita menonton sejenak kibiarkan agar ia tidak merasa takut seperti kakaknya barusan.

Entah berapa kali aku menghubungi Beni sampai terakhir ia mengangkat juga telepon dariku. Tanpa sabar sedikitpun aku menbombardir suamiku dengan pertanyaaan dan mengeluarkan semua rasa kesalku padanya.

"Pokoknya aku tunggu di rumah!"

Itu kalimat terakhir yang keluar dari mulutku untuk suamiku yang sangat menjengkelkan itu.

Dua jam kemudian, Beni pulang ke rumah dan kami pun bertatap muka.

"Sayang, maafin papa, ya. Selama ini papa sibuk banget sampai nggak sempat temani kalian sebelum tidur." Aku melihat Beni berbicara lembut pada Andin dan juga Andita. Tangannya mengusap pucuk kepala Andin dengan sangat lembut.

Tapi, tetap saja bagiku ia tidak sepenuh hati menyayangi kedua putri kami. Apalagi sekarang saat ia semakin sibuk dan semakin jarang ada waktu di rumah.

Tanpa ingin mengganggu, aku keluar sejenak dari kamar putriku dan duduk di ruanan depan. Tak berapa lama Beni datang menghampiriku. Terlihat ada penyesalan dari tatapan maatanya itu.

"Adinda, kamu mau kan maafin aku?" ucap Beni lirih. Akhirnya Beni kali ini mampu melunakkan hatiku yang sempat membeku. Perlahan jawaban memafkan terucap dari mulutku begitu saja. Dan kami kembali larut dan saling mendekap hangat.

Mungkin hanya aku saja di rumah ini yang percaya bahwa yang terjadi pada Andita bukan cakaran biasa melainkan ada pengaruh kekuatan gaib di dalamnya. Entah kenapa pikiranku menerawang jauh saat bayangan hitam menjulang tinggi dengan kukunya yang runcing itu sungguh tajam. Lagi dan lagi gangguan itu terbukti datang dan sekarang nyari membuat kedua putriku celaka. 

Mungkin malam ini aku harus mencari tahu dan membuat perhitungan dengan mahluk sialan itu. Aku tidak boleh tinggal diam, harusnya aku tidak melangkah sejauh ini dengan mencari tahu segalanya yang menyangkut dengan rumah ini. Iya, kenapa aku melupakan sosok Maya? Mungkin darinya aku bisa mendapat jawaban segalanya.

Bersambung ....

Mohon dukungannya guys. Jangan lupa vote dan follow ya

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang