Rasa Penasaran

105 15 1
                                    

Part 8: Rasa Penasaran

Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.

“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.

Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.

Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.

Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yang bersedia mengangkut barang, aku dan Beni menghampiri kedua putri kembar kami. Mereka tersenyum hangat dan bahagia terpancar jelas dari sorot matanya.

Terlihat Beni tengah sibuk meletakkan beberapa barang seperti televisi, kulkas, dispenser dan alat dapur lainnya. Dalam hal ini suamiku memang selalu cekatan dan tertata ia melakukannya. Ini juga bagian yang kusuka dari seorang Beni, iya, walaupun terkadang sikapnya pada si kembar buat jengkel dan berakhir kecewa. Namun, aku tahu kalau ia tipe suami yang baik dan perhatian terhadap keluarganya.

Ma, beneran ini jadi rumah kita? Bagus banget, Ma." Andita bertanya sembari melingkarkan kedua tangannya dan memelukku dengan manja.

"Beneran dong, Sayang. Kan udah Papa beli buat kita tinggal bareng," jawabku mengecup keningnya dan tersenyum kecil padanya.

"Ma ... jadi, mulai malam ini kita akan tidur di rumah baru dong, ya, kan? Asik ...." Aku bahagia melihat respon kedua putriku yang begitu bahagia pindah ke rumah baru ini.

"Pastinya, Sayang. Kita akan sama-sama Papa terus di sini, " lanjutku membalas pelukan pada ke dua putri kembar ku.

"Nah, sekarang udah waktunya masuk, Sayang." Aku bangkit dari kursiku dan menuntun Andin juga Andita masuk.

Begitu kakiku melangkah ke dalam ruangan yang lebar dan luas ini, perlahan hawa dingin menyapaku. Seolah kekosongan rumah ini dengan segala isinya menyambut kedatangan keluarga kami. Kuedarkan pandang ke segala arah, berjalan perlahan dengan sorot mataku yang masih mencari-cari sisi nyaman rumah ini.  Kubiarkan kedua putri ku sejenak dengan Papanya sedang aku mencoba untuk berkeliling sembari melangkah dan melihat kamar-kamar yang ada di rumah ini.

Kamar utama bersebelahan dengan ruang TV atau ruang santai. Kemudian beberapa langkah ke belakang terdapat dua kamar lagi yang berhadapan, mu gkin ini cocok untuk kamar si kembar. Sedang satunya buat kamar tamu, mana tahu sesekali Nadia datang berkunjung atau mungkin Nenek Idah bertandang ke sini. Tiga kamar untuk  keluarga kecil kami, aku rasa cukup.

Aku melanjutkan berjalan ke arah belakang mendekati ruang dapur, ternyata masih ada sisa satu kamar lagi tapi yang ini berukuran lebih kecil dari kamar-kamar yang lain. Mungkin ini bisa digunakan untuk menaruh barang-barang yang sudah tidak dipakai dalam jangka waktu lama atau lebih tepatnya disebut sebagai gudang.

Sembari melihat-melihat, tiba-tiba sekelebat bayangan putih melintas yang tertangkap dari ekor mataku.  Seketika bulu kudukku meremang disusul dengan wewangian melati bercampur anyir  yang menyengat. Lebih mengerikan lagi aku mendengar tangis perempuan yang begitu memilukan seolah ada duka yang mendalam di sana. Makin lama suaranya makin halus dan menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Aku bersikap seperti biasa seolah tidak terdengar apa-apa. Aku tidak meneruskan langkah kedepan melainkan berbalik ke belang dan melangkah menuju tempat koper yang berisi seprai dan selimut.  Merapikan ruangan dalam kamar disertai membersihkan debu yang menempel di lantai ubin berwana putih. Setelah merapikan kamar kedua putriku, lantas melangkah keluar memanggil mereka karena ini sudah waktunya mereka tidur.

"Sayang, aku tinggal sebentar, ya, soalnya ada urusan di kantor yang perlu kuselesaikan," ucap Beni yang berjalan ke arah ku.

"Malam-malam gini, Sayang?" tanyaku ingin memastikan perkataan suamiku.

"Oke. Hati-hati ya, Sayang. Jangan pulang terlalu malam lho." Aku mendekati Beni dan mengkat dua tanganku ke belakang lehernya.

"Iya, Sayang. Kan malam ini malam pertama kita di rumah baru, hehe. Udah ah, aku berangkat dulu." Suamiku berlalu dan menghilang beserta mobil mewahnya.

Usai menutup pintu, aku menuntun kedua putri kembar ku ke kamarnya. Terlihat dari mata mereka yang memerah mungkin sebaiknya harus segera istirahat.

"Selamat bobok, Sayang." Aku menarik selimut dan menutupi tubuh kedua putriku hingga sebatas dada dan mengecup hangat kening mereka.

"Iya, Ma. Siap." Mereka menjawab secara bersamaan dan sangat kompak.

Perlahan daun pintu kututup dan melanjutkan langkah menuju kamar utama yaitu kamar kami berdua. Tak butuh waktu lama hanya beberapa lanjah saja aku sudah berdiri di depan pintu kamar dan menekan knopnya lalu aku pun masuk. Segera kupasangkan seprai bermotif kupu-kupu dengar warna dasar biru muda dan juga bantal serta gulingnya.

Disaat aku menyapu lantai kamar, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang lalu diguyur hujan lebat. Tirai jendela yang semula tertutup kini telah terbuka sendiri. Udara dingin seta embusan angin menerpa wajahku.

Kuarahkan pandangan ke semua sudut ruangan dan seketika lampunya ikut mati dan itu sempat membuat jantungku seakan mau copot. Entah kenapa kali ini aku seperti dikuasai rasa takut yang teramat dalam. Padahal aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini akan tetapi mengapa malam ini begitu menunjukkan perbedaan dari biasanya?

Akhirnya kuhidupkan lampu dari ponsel sembari mengirimkan pesan pada suamiku untuk membelikan beberapa lilin penerang. Dalan cahaya remang-remang aku mengetik pesan singkat tersebut berharap suamiku cepat pulang dari kantornya.

Setelah beberapa menit, hujannya berhenti dan anginnya juga menghilang. Kembali situasi terkendali walau caya lampu belum menyala. Aku segera menutup tirai berwarna putih agak tembus pandang itu dan saat hendak menutupnya mataku dikejutkan dengan penampakan yang berasal dari pohon besar di halaman belakang itu. Iya, aku melihat lagi sosok perempuan berambut panjang yang kutemui di dekat pohon itu.

Namun, kali ini ia tidak lama melainkan langsung lenyap di bawa gerimis yang berjatuhan ke bumi.
Jujur, rasa penasaran yang menggelayut di pikiranku belum juga terpecahkan dan kutemukan jawabannya. Yang pasti aku akan segera mencari tahu ada apa dengan pohon besar yang terkesan angker itu, siapa tahu ada jawabnya.

Jam sudah larut begini akan tetapi belum ada tanda-tanda Beni akan pulang. Dengan rasa lelah yang mendera akhirnya aku merebahkan tubuh ini di atas tempat tidurku. Hingga mata ini terpejam dan aku pun lelap dalam mimpi yang berharap ingin segera bangun dan menatap dunia nyata bukan dunia dengan dimensi yang berbeda.


Bersambung ....

Kalau kalian sudah selesai baca, jangan lupa vote dan tinggalkan jejak di komentar. Semoga terhibur dan terima kasih 😊

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang