Pemeriksaan Pencarian Pelaku

74 8 0
                                    

"Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai.

"Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.

Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang.

Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, aku berpikir sekali lagi mungkin kini ke dua putriku telah tenang dan menemukan kedamaian di alam yang kini berbeda denganku--Mamanya.

"Sayang, maafin Mama, ya, Sayang. Mama nggak bisa jaga kalian dengan baik dan Mama juga nggak bisa jadi Ibu terbaik buat kalian. Walaupun kita udah beda dunia tapi Mama janji, Andin juga Andita akan terus mendoakan kalian semoga selalu tenang di surga ya, Sayang. I love you so much, honey."

Belum puas rasa di hati bila kata maaf belum ku lontarkan untuk kedua putri kecil ku. Begitu banyak kenangan indah yang kami ukir bersama dan begitu berharga cinta tulus mereka untuk kami--orang tuanya.

Meskipun sejak tadi aku mencoba menahan isak tangis akan tetapi titik bening itu terus saja membanjiri pipiku hingga riasan wajah memudar.

"Adinda, Sayang. Ikhlaskan, Nak. Lepaskan semua beban kamu, Sayang. Nenek yakin putrimu sudah tenang di sana. Kamu harus kuat dalam menghadapi musibah ini." Nene Idah ikut berlutut di hadapan pusara dan mengusap lembut kepalaku.

"Iya, Nenek. Terima kasih banyak, Nek." Aku memeluk erat wanita yang sudah ku anggap sebagi orang tua ku sendiri.

"Mbak juga nggak boleh terlalu larut dalam kesedihan, ya? Bukan hanya Andin dan Andita saja yang akan mengalami dikubur tapi kita sebagai manusia pasti akan mengalami dikubur juga. Mbak yang sabar dan terus berdoa untuk putri kembar kesayangan kalian." Nadia ikut merangkul aku dengan hangat dan  penuh kasih sayang.

Beberapa saat setelah acara pemakaman selesai, kami sekeluarga meninggalkan Andin dan Andita yang kini sudah tiada.

Dalam perjalan pulang, tetap saja buliran bening dari kelopak mata ku terjatuh tanpa diminta. Rasa sayang yang ku punya ini terlalu besar untuk kedua putri kesayanganku. Rasanya bagai mimpi buruk dan berharap aku masih terbangun darinya dan mendapati mereka kembali dalam pelukanku.

Kuperhatikan wajah Beni yang lagi fokus dengan kemudinya. Tampak raut penyesalan yang teramat dalam di sana. Matanya menatap lurus tanpa sedikitpun nenoleh. Mungkin saja Beni juga belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa si kembar. Biarlah begitu untuk sementara ini karena aku tidak ingin membuat suamiku bertambah bersedih lagi karena kejadian ini.

Sedangkan Nadia yang duduk di kursi belakang tidak ingin mengganggu juga. Meski begitu aku sempat melirik sejenak ke arah sepupuku itu, sama persis dengan kami, raut wajah Nadia begitu pilu dan sepertinya ia masih belum percaya dengan kepergian dua putri kecil yang pernah ia timang dan merawatnya.

Tiba di rumah, kami masuk ke kamar masing-masing tanpa berbicara seperti biasa. Perasaan duka yang mendalam masih membekas di hati kami.

Sampai di kamar, aku merebahkan tubuhku yang terasa begitu lelah dan tak berdaya. Aku berbaring membelakangi suamiku dengan posisi kedua kaki yang ku tekuk. Jangan ditanya, tangisanku semakin menjadi-jadi bahkan saat Nadia mengajakku makan, aku enggan memasukkan makanan ke dalam tubuhku. Karena ingatanku terus tertuju pada detik aku melihat ke dua putriku yang terbujur kaku dan bersimbah darah. Andai saja aku duluan sadar dan terbangun sebelum kejadian pasti semua ini tidak akan terjadi.

***

Pagi ini, kami harus memenuhi panggilan dari pihak kepolisian. Dengan bergetar aku mencoba untuk bisa berdiri kuat sehingga ketika di kantor polisi aku bisa memberikan mereka semua keterangan yang dibutuhkan. Akhirnya setelah ku bujuk lagi, hati Beni melunak juga dan mengiyakan pemanggilan ke pihak yang berwajib itu.

Selesai minum susu hangat yan dibuatkan oleh Nadia, akhirnya ku mantapkan langkah ini menuju ke kantor polisi. Aku dan Beni bergegas menuju tempat mobil diparkir dan menaiki kendaraan roda empat itu hingga melesat jauh ke ke kantor penegak hukum di mana kami harus memberitahukan seluruh informasi kepada mereka secara tuntas tanpa ditutupi sedikitpun.

Sesampainya di sana, kami di panggil secara terpisah untuk ditanyai satu persatu. Aku menginformasikan segalanya yang terlihat oleh mata kepala ku saat kejadian malam itu tanpa kukurangi dan kulebihkan. Setelah selesai dengan sesi aku lalu dilanjutkan dengan sesi suamiku.

Saat Beni ditanyai oleh petugas tersebut, aku belum tahu apa pun sampai akhir setelah menunggu beberapa menit kemudian suamiku keluar dari ruangan pemeriksaan. Dan Beni juga memberitahu aku segala isi percakapan antara dirinya dengan petugas pemeriksaan itu.

Meski begitu kami tetap harus menunggu keputusan pemeriksaan minimal satu hari penuh hingga esoknya ketika kami mendapat kabar hasil pemeriksaan tentan pencarian pelaku pembunuhan keji yang menimpa kedua putri kami. Aku lega dan merasa bersyukur kalau aku dan suamiku tidak melakukan kesalahan sekeji itu artinya para petugas kepolisian tidak menemukan tanda-tanda bahwa kamu terlibat dalam pembunuhan Andin dan Andita.

Begitu mendapat kabar bahagia itu, akhir aku dan suamiku memberitahukan juga kepada keluarga Nenek dan mereka di sana juga ikut lega. Iya, akan tetapi pihak polisi masih tetap akan melanjutkan pencariannya hingga pelaku sebenarnya tertangkap dan menerima hukuman setimpal atas perbuatannya yang sama sekali bukan perbuatan manusia normal.

Setelah beberapa jam berada di kantor polisi, akhirnya kami pulang dan tiba di rumah setelahnya. Kulirik waktu yang berdetak di sisi dinding rupanya sudah mulai gelap.

Dalam sunyi malam, tiba-tiba sekelebat bayangan putih melayang di hadapanku.

Deg!

Jantung serasa berdegup lebih cepat dari biasanya. Masih kuingat jelas siapa sosok di sana yang tidak lain adalah perempuan cantik  bermata sendu. Ini sama sekali bukan ingin membahas rasa takut karena dihantui akan tetapi aku heran kenapa ia mengikutiku sampai ke rumah sepupuku? Bukankah sosok gentayangan itu penunggu pohon angker rumahku yang di sana?

"Bunuh! Bunuh! Bunuh manusia laknat itu!"

Siapa yang dimaksud perempuan hantu itu?

Tuhan! Apa semua ini?

Kalau bukan dia yang membunuh putri ku lalu siapa yang melakukannya?

Bersambung ....

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang