Bahaya

57 7 0
                                    

Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.

“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.

“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.

“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.

“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.

“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!”

Aku menggendong Andita dan Beni menggendong Andin. Akhirnya si kembar kami selimuti hingga kembali terlelap dalam mimpi indahnya.

“Sayang, kebetulan ini belum terlalu malam, aku mau keluar sebentar, ya, soalnya tadi teman kantor telpon ada sesuatu yang perlu di bahas dan mendesak harus sekarang,” ucap Beni meminta izin padaku dengan posisi masih di depan pintu kamar si kembar.

“Iya, Sayang. Pergi aja, aku nggak apa-apa, kok. Nanti aku masuk ke kamar aja,” jawabku menatap ke arah Beni yang tersenyum hangat padaku.

“Oke, Sayang. Jangan lupa kunci pintu dan juga jendela di dekat dapur kayaknya belum tertutup rapat, deh, karena tadi aku lihat terbuka mungkin karena angin. Dagh, Sayang.” Beni bicara sembari melangkah ke luar dan menuju ke mobil di depan sana.

Selepas suamiku pergi, mendadak suasana rumah menjadi hening. Tanpa pikir lama, aku melangkah menuju ke area dapur ingin menutup jendela. Saat kakiku hampir sampai tiba-tiba bulu kudukku meremang dan sepertinya aku merasakan kehadirannya detik ini. Tak ingin fokus padanya akhirnya aku maju dan langsung menutup dan mengunci jendela tanpa ingin melongok keluar lagi.

Karena sudah pasti sosok bayangan putih ada di sekitarku saat ini. Akhirnya, aku kembali melangkah masuk ke kamar. Perlahan dalam suasana cahaya lampu remang-remang, aku seperti menangkap bayangan perempuan itu lagi. Sesaat setelah aku mendekati bayangan itu dan raib menghilang dari pandangan. Akan tetapi, tiba-tiba mataku menyoroti sesuatu di bawah sana mengarah pada secarik kertas berukuran persegi dan kecil tergeletak begitu saja di lantai kamarku. Aku penasaran dan kupungut lembar putih itu, saat aku membalikkannya seketika mataku terbelalak pada tulisan “BAHAYA” di kertas pesan tersebut. Astaga! Ada apa lagi ini? Teror lagi?

Entah kenapa tiba-tiba tanganku dingin disertai gemetar. Tuhan, aku sangat takut dengan semua yang menimpa keluarga kami. Setelah menggenggam sejenak sembari berpikir, aku segera menyembunyikan kertas teror itu karena aku tidak ingin Beni sampai mengetahuinya. Yang kutahu Beni itu bersifat kritis dan mengambil keputusan tanpa berpikir dahulu. Penting saat ini untuk merahasiakannya.

Kini, seluruh tubuhku terasa dingin dan pikiran saat ini juga berkecamuk. Dengan tangan bergetar aku mencoba berbaring dan menutupi diri dengan selimut berharap ada sedikit ketenangan hati. Namun, semua itu tak berpengaruh padaku tetap saja suhu tubuh ini seperti membeku sendiri.

Aku dapat mendengar deru mesin mobil dari luar. Aku tahu Beni sudah pulang akan tetapi, kenapa kaki ini begitu kaku untuk digerakkan. Mata ini juga terlalu berat untuk dipejam. Aku takut sekali, Tuhan.

“Sayang! Kamu kenapa? Kami mimpi buruk? Muka kamu pucet banget terus tangan dan badan kamu juga dingin kayak es begini. Sebenarnya kamu ini kenapa, Sayang?” Ingin kujawab semua pertanyaan suamiku tapi, mulut ini terasa berat untuk bicara seolah bungkam dengan sendirinya. Hanya kedua mata ini yang belum berkedip untuk beberapa saat.

“Ya, udah. Kamu nggak usah cerita sekarang, ya, aku ngerti banget gimana kondisi kamu sekarang, Sayang.” Akhirnya beni mencoba untuk memahami keadaan aku dan memelukku hangat.

“Tunggu sebentar, aku ganti baju dengan piyama dulu, ya, nanti kita bisa tidur dengan nyenyak, ya, Sayang?” Beni lekas mengganti baju dengan piyama yang dulu kami beli bersama dan modelnya juga sama. Iya, kekompakan kami layak diacungkan jempol.

Sebenarnya sekarang ini suamiku begitu bingung melihat kondisi istrinya saat ini. Akan tetapi, aku harus tetap tutup mulut mengenai teror tulisan aneh itu. Terlihat ada raut wajah gelisah yang terpancar jelas di mata Beni tentu aku bisa melihat dan merasakannya. Setelah beberapa menit berlalu, aku sudah merasa agak tenang mungkin bisa siap untuk membuka suara setidaknya membuat suamiku lega dengan kondisiku.

“Aku nggak apa-apa ko, Sayang,” ucapku mengusap pipi Beni lembut seperti biasa yang kulakukan saat situasi tidak menyenangkan seperti ini.

“Iya, Sayang. Syukurlah, aku bisa tenang sekarang. Ya, udah kamu nggak usah mikirin apa-apa dulu, ya, kita tidur sekarang. Karena aku mau kamu besok bangun dalam keadaan lebih baik dari pada malam ini.

“Oke, Sayang.” Beni mengambil tempat di sebelah aku dan segera meletakkan lengan kokohnya sebagai alas kepalaku. Sungguh aku ingin dijaga oleh suamiku hingga esok pagi menghirup udara kembali.

Akhirnya, hangat pelukan sang suami mampu membawa diri ini dalam ketenangan yang panjang. Hingga terlelap menuju alam mimpi indah bersamanya.

***

Esoknya, ketika kubuka mata, aku melirik ke sebelah ternyata Beni lebih dulu bangun untuk menyiapkan sarapan pagi untukku. Benar saja, aroma kaldu ayam serta taburan bawang goreng menguar hingga ke seluruh ruangan kamar ini. Seperkian detik Beni telah berdiri di depan pintu dengan semangkok sarapan dan susu hangat.

“Selamat pagi, Sayang! Lihat aku bawa apa buat kamu,” seru Beni antusias menatap aku dengan tersenyum kecil.

“Bubur ayam pastinya, kan, Sayang? Aku suka banget,” jawabku ikut semangat.

“Andin? Andita? Sini, Sayang!” Aku dikejutkan oleh si kembar yang tiba-tiba berdiri di belakang Beni dengan senyum merekah yang terpancar jelas pada mereka.

“Kata papa, Mama lagi sakit, ya?” tanya Andin berjalan ke arah aku berbaring.
“Andita sedih kalau liat mama sakit begini,” timpal Andita segera memelukku dengan wajahnya yang begitu sedih melihat keadaanku.

“Nggak apa-apa, Sayang. Mama Cuma kecapean aja, kok.” Aku mencoba membuat mereka tidak kuatir pada Mamanya.

Setelah sarapan, kami kembali menjalani rutinitas seperti biasanya hari ini. Beni ke kantor dan bekerja sedang aku dan kedua putriku sibuk dengan kegiatan masing-masing. Andita dan Andin kadang menonton hingga berjam-jam lamanya. Aku biasanya membereskan barang dan bersih-bersih seluruh ruangan dan segudang pekerjaan rumah lainnya yang mungkin tidak pernah ada habisnya selama kita masih menjalani hidup sebagai manusia.

Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat teror yang bertuliskan bahaya di kertas itu. Aku bergegas memasuki kamar dan mencoba mengecek benda kecil itu dan ingin memastikan bahwa ia masih ditempatnya atau tidak.

Apa artinya bahaya  yang ditulis di sana? Siapa yang melakukan ini semua?



Bersambung ....







Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang