Menembus Masa Kelam

90 11 0
                                    

“Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?”

Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping.

Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti.

Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku.

Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah.

“Bunuh!”

Entah apa maksudnya kata-kata itu. Aku sama sekali tidak pernah menyadarinya. Hingga akhirnya aku berpikir bahwa bukan perempuan itu yang menyebabkan kematian kedua putri kembar ku tersayang.

Artinya aku harus berpikir lebih keras seribu kali lipat untuk mengungkapkan pelakunya. Iya, benar. Aku harus melakukan sesuatu!

Mungkin dengan melangkah maju mundur mondar mandir seluruh isi kamar ini bisa membantu aku berpikir. Dan tiba-tiba ingatanku melayang pada saat Andin dan Andita lahir dan bisa menatap dunia.
Iya! Nenek Idah.

Aku yakin pasti Nenekku bisa membantuku menemukan pelakunya. Aku harus bergegas menemuinya dan aku tahu apa yang akan kulakukan saat ini.

“Nadia! Aku keluar dari kamar dan berjalan menuju pintu kamar Nadia.

“Iya, sebentar!” Akhirnya Nadia menjawabnya dari dalam.

“Mbak Adinda? Ayo, masuk!

“Nadia, kamu mau temanin Mba ke rumah Nenek?” tanyaku sembari menatap serius ke hadapan gadis itu.

“Emang nggak bisa besok aja, ya, Mbak? Ini udah malam, Mbak Sayang,” lanjut Nadia mengusap lembut bahuku.

“Ini penting banget, Nad. Tolongin Mba, ya, ya?” mohonku memelas padanya.

“Lho, lho, Mba sebenarnya, ini ada apa, sih? Apa ini ada hubungannya dengan kematian Andin dan Andita?” Benar saja, pertanyaan Nadia sempat membuatku bergidik. Dan harusnya aku menjawab, iya, akan tetapi aku belum bisa memberitahu siapapun saat ingin. Setidaknya sampai terbukti apa yang menjadi dugaanku.

“Oke, oke, Mba. Aku mau temanin, Mbak Adinda. Tapi, janji, ya, jangan pingsan lagi seperti  kemarin,” jelas Nadia panjang lebar. Iya, sudah beberapa kali aku pingsan karena stress memikirkan masalah yang belum ada jawaban ini.

“Makasih, ya, Nadia karena kamu mau bantu Mbak yang selalu pingsan ini.”Aku menggelitik sepupuku hingga ia terkekeh karena geli.

“Mbak, tunggu sebentar, ya, aku pinjam mobil teman dulu,” balas Nadia sembari menyalakan ponsel di tangannya.

Sementara menunggu, aku kemudian kembali ke kamar dan mengganti pakaian serta tak lupa dengan memakai jaket karena malam semakin dingin.

Tak berapa lama, akhirnya teman Nadia datang mengantar mobil untuk kami pakai. Aku dan Nadia masuk dan mobil pun melesat hingga ke tempat tujuan.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di depan gerbang rumah Nenek Idah. Sejenak menunggu dan aku pun bisa melihat wajah keriput wanita yang merawatku.

“Nenek, Adinda punya permintaan sama Nenek,” ucapku menatap wajah wanita yang duduk dihadapan.

“Apa, Sayang. Kan, kamu tahu, selama ini Nenek ngga bisa menolak ketika kamu memintanya,” jawab Nenek Idah dengan mimik wajah tersenyum.

“Dinda mau mengaktifkan mata batin yang kedua.” Aku mengucapkan permintaan itu dengan mantap dan tidak ada keraguan sama sekali.

“Untuk itu, Nenek minta maaf karena tidak bisa memenuhinya.” Aku sama sekali tidak menyangka dengan penolakan Nenek untuk pertama kalinya seperti ini padaku.

“Nek ... Nek, Dinda mohon sama Nenek! Karena ini jalan satu-satunya agar Dinda bisa menemukan pelaku siapa yang melakukan pembunuhan ini pada Andin juga Andita, Nek. Dinda yakin ini jalan keluar dari semuanya.” Aku menggenggam erat tangan ringkih Nenek berharap menyetujui keinginanku. Jujur, ini sangat menyiksa buat diriku yang sama sekali tidak mengetahui penyebab kematian dua putriku.

“Baiklah, Dinda. Jika jalan ini bisa membuatmu menerima kenyataan putri-putrimu meninggal karena dibunuh oleh mahluk yang bernama manusia.

“Sekarang duduk lah dan pejamkan matamu! Lalu pusatkan seluruh pikiranmu pada satu titik dan fokus di sana!” titah Nenekku dengan suara sedikit tegas.

Saat ini mataku menutup rapat dan pikiran berusaha untuk fokus pada satu titik seperti arahan wanita itu. Beberapa saat aku seperti merasakan aura gelap yang merasuk dalam tubuh dan pandangan mata batin ku perlahan menelusuri jauh dalam lorong kegelapan yang tiada habisnya sampai akhirnya mata ketiga ini menembus hingga memunculkan potongan-potongan dari masa lalu seseorang. Pandangan ini terus menelusuri jauh ke dasar kelamnya hidup orang itu.

Sebuah keluarga yang tampak bahagia tengah berkumpul di sebuah ruangan. Gelak tawa menyertai mereka, hingga muncul sosok anak lelaki yang menatap tajam ke arah kedua adiknya yang sedang berpelukan dengan sang ibu. Ekspresi wajah kebencian tampak jelas terlihat pada anak lelaki itu seolah ada amarah dan dendam di sana. Lalu ingatan lain muncul, tampak darah berceceran di sekujur tubuh adik-adiknya yang tengah digorok dengan kejam oleh kakaknya sendiri. Lantas ia juga memotong ke dua tangan adik-adiknya tersebut.

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat sekarang, lelaki yang sama dengan kejam memperkosa seorang gadis cantik dengan mata sendu dan ia menguburnya dalam sebuah lubang yang telah di gali di bawah pohon besar. Pohon besar itu tidak lain adalah pohon yang sama berada di halaman belakang rumahku.

Astaga! Aku ingin menghentikan ini sekarang karena wajah lelaki itu begitu kukenal. Terlalu menyakitkan ini semua, Tuhan. Pandangan mata batin ini semakin jelas ketika melihat penderitaan yang dialami oleh kedua putri ku. Ia begitu kejamnya menggorok leher mereka tanpa peduli rasa sakit dan jeritan minta tolong pada manusia laknat itu. Darah mengucur ketika kedua tangan mereka di potong hingga putus. Dengan menggunakan sarung tangan ia melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Mulut ini terlalu berharga untuk menyebutnya sebagai suamiku—Beni. Iya, Beni lah yang melakukannya hanya karena ia mengira bahwa selama ini semua orang mengabaikan kehadirannya.

Akhirnya aku mengetahui siapa pelaku pembunuhan Andin dan Andita tersayang. Papanya? Dengan sepenuh hati mereka menyayangi manusia yang pantas disebut sebagai iblis laknat yang itu. Kenapa baru sekarang aku sadar dan melihat kelakuan bejatnya? Kenapa aku terlalu percaya pada lelaki brengseknya hingga ke ubun-ubun.

Aku sungguh menyesal karena pernah menerima lelaki kejam itu menikahi ku. Aku sungguh telah melakukan kesalahan besar, Tuhan!

Aku seorang Ibu yang betul-betul jahat!

Bahkan aku tidak pantas disebut sebagai Ibu!

DASAR IBLIS LAKNAT!


Bersambung ....












Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang