Lelaki Emosional

83 10 1
                                    

"Adinda! aku tunggu di kamar lima menit lagi."

Sesampai rumah, aku menuntun Andin dan Andita masuk ke kamar. Heran. Kenapa tiba-tiba Beni menatapku begitu tajam, apa salahku? Iya, aku harus segera menyusulnya dari pada suamiku marah nantinya.

Usai menutup pintu kamar si kembar, Lantas aku segera bergegas ke arah kamar kami. Benar saja, terlihat olehku Beni tengah meanarik napas dalam seperti sedang menahan amarahnya yang tak ingin keluar tanpa diinginkan.

"Sayang, kamu kenapa terlihat gelisah begitu?" tanyaku mencoba mencari tahu mungkin ia akan cerita padaku--istrinya.

"Apa? kamu masih nanya kenapa aku gelisah? Jelas-jelas kamu penyebabnya, Dinda." Aku kaget ketika mendengar ini dari mulut suamiku sendiri.

"Emangnya aku buat salah apa sama kamu, Sayang? Tolong kasih tahu, sungguh aku benar-benar nggak mengerti apa maksud kamu," tanyaku sembari maju selangkah menatap serius ke arah Beni.

"Ternyata dugaan aku waktu itu memang benar, Dinda. Semenjak putri kita lahir dan tumbuh besar seperti sekarang, kamu berubah. Bahkan aku sekarang udah nggakengenal kamu lagi seperti dulu," jawab suamiku kembali menatap aku lebih tajam dari tadi.

"Tapi, kan kamu tahu sendiri, Sayang. Aku harus mengurus dan merawak putri kita, Beni. Lagian karnapa kamu harus cemburu sama anak kamu sendiri, sih?" Astaga! kenapa suamiku tega berbicara seperti itu. Bukankah kita sudah sepakat merawat anak tanpa kehadiran orang lain di rumah ini.

"Buktinya kamu sekarang udah nggak ada waktu lagi buat aku, Dinda. Suami sendiri masa nggak dipedulikan begini hanya karena mereka yang terus saja dekat dengan kamu!" lanjut Beni makin meninggi nada suaranya.

"Mereka itu anak kita, Sayang. Kenapa kamu bersikap kayak gitu? Lebih-lebih tadi aku ngerasa aneh ngeliat kamu waktu di taman tadi. Apa kamu segitunya, ya, benci sama Andin dan juga Andita?!" Sungguh kali ini aku sudak tidak bisa menahan emosiku lagi mendengar kata-kata suamiku yang sangat menyakiti.

"Maksudku bukan gitu, Dinda. Aku tahu kamu sangat menyayangi anak kita tapi kan, ku juga harus memberikan waktu kamu buat aku sebagai suamimu. Dinda!"

Akhirnya aku keluar dari kamar dan menutup pintu sekeras-kerasnya. Mungkin di luar aku bisa menghirup udara sejenak bukan sesak seperti ini. Tak kupedulikan lagi suara Neni memanggil namaku. Hening mungkin bisa buatki lebih tenang di sini.

Dasar lelaki emosional! Tak bisa apa mencoba mengerti situasi saat ini sedikit saja. Terlebih Andin yang baru saja celaka karena cakaran aneh menyakiti bagian tubuhnya. Tak bisa kah sedikit ada rasa iba? Sungguh anrh dengan sikap Beni kadang baik kadang menyebalkan. Entah apa yang ada dipikirannya itu.

Di teras rumah ini aku mencoba menenangkan diri sejenak berharap dalam sunyi aku bisa berpikir jernih dan bisa memaafkan kelakuan suamiku tadi. Meski kadang rasa saki di hati masih membekas. Terasa sekali hingga ke tulang saat semilir angin menerpa wajah dan juga seluruh tubuhku. Aku menghirup udara malam selama beberapa menit rasanya melegakan seluruh isi pikiran ini.

"Dulu ketika malam tiba, kamu nggak pernah mau ngelepasi  diri dari pelukan aku," ucap Beni yang tiba-tiba datang dan ikut duduk di sebelah ku.

"Ngapain ke sini? Mau ajak ribut lagi?" Entah, saat mendengar suara suamiku--aku langsung tak bisa menahan amarah.

"Dinda, Sayang. Maafin sikapku tadi, Ya? Jujur,  aku merasa kehilangan perhatian dari kamu, Sayang," ujar Beni menyentuh jemari tanganku dan mengusap samping pipiku. 

"Hmm ... Iya, aku maafin. Besok-besok gitu lagi, gitu terus." jawabku acuh karena sebenarnya masih kecewa hati ini dibuatnya. Beni pikir hatiku terbuat dari plastik apa bisa seejak saja tolak tarik begitu.

Saking susah rasanya menahan amarah yang nyaris membuat diri murka, perlahan aku beranjak dari tempat duduk dan berdiri sejenak mengembuskan napas selepas yang kubisa.

Tiba-tiba aku merasakan sentuhan hangat di punggungku. Iya, Beni bangkit memelukku dan mendekati mulutnya ke telingaku dan berkata, "Sayang, idah lama lho kota nggak bisa lagi menikmati saat terindah seperti ini, "iya, Sayang. Maafin aku juga, ya, karena aku melupakan kamu sebagai orang yang selalu di hatiku."

***

Paginya, aku terbangun dan perlahan aku memindahkan tangan kokoh Beni yang masik memelukku erat karena semalam kami melewati malam yang begitu indah dan berarti. Berkat itu semua kini hubungan kami jadi lebih harmonis dari sebelumnya.

Meski Beni termasuk lelaki emosional tingkat tinggi. Namun, sisi lembutnya tak dapat kuelakkan walu hanya sesaat. Sungguh rasa cinta ini telah menguasai hati untuk selamanya.

Lepas dari Beni akhirnya aku leluasa turun dari ranjang dan melangkah ke luar menuju kamar putri kembar ku. Pagi ini waktunya Andin ganti perban karena dari kemarin belum diganti.

Aku bisa mengganti sendiri karena begitu kata dokter. Jadi lebih mudah bagi Andin tidak kecapekan bolak balik klinik berobat.

"Sayang, bangun! Ini waktunya kamu harus ganti perbannya, ya?" Aku berusaha membangunkan Andin yang masih terlelap dalam mimpinya.

"Mama, Andita haus, Ma." Sesaat kulihat Andita bangun dan kehausan lalu aku ambil  segelas air putih lalu membantu gadis kecil itu minum.

"Sayang, bangun!" Aku berseru sekali lagi kali ini kuguncangkan bagi mungil Andita agar segera bangkit.

Akhirnya si gadis kecil penyuka bando ini bangun juga. Segera kuangkat sedikit baju yang menempel di bagian punggung Andin dan kubuka lipatan perban kain kasa lanjut mengolesi betadin sedikit di atasnya. Kemudian kulepaskan perban awal yang dipakai oleh dokter dan langsung kutempelkan tepat di bagian lukanya.

"Selesai deh," ucapku sembari tersenyum kecil menatap mata polos putri ku.

Seperti biasa, setelah sarapan, si kembar main bersama di ruang televisi sedang Beni ke kantor untuk bekerja. Rutinitas sehari-hari terkadang jika selalu sama membuat rasa sedikit bosan bukan?

Untuk mengatasi rasa bosan, aku biasanya membersihkan rumah dan juga halaman depan. Tak terasa aku kembali seperti tertarik ke arah pohon besar di halaman belakang. Sekilas terlewat bayangan tak kasat mata yang tertangkap oleh penglihatan batinku.

Sebagian dari mereka muncul bahkan di siang hari tanpa permisi. Akan tetapi lucu juga bukan jika dedemit mau menampakkan diri minta izin dulu, haha. Rasanya seperti tekocok isi perut ini. Kenapa yang seharusnya menakutkan serasa berubah menjadi komedi begini.

Ah, dasar dedemit sialan! Aku mengumpat begini bukan tanpa alasan, melainkan seorang sahabat dulu mengingatkan aku kalau seandainya mahluk tak kasat mata muncul tiba-tiba di depan kalian. Langsung maki saja agar ia kabur dan menghilangkan dirinya dari kita.

Benar saja umpatan itu ternyata berhasil juga membuat si dedemit itu kabur. Semoga kali ini ia tak berani lagi menunjukkan wujud hancur itu padaku.

"Mama! Ma .... Astaga! Itu kan suara si kembar manggil-manggil. Aku harus segera masuk melihatnya.

Bersambung ....

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang