Pohon Angker

86 11 3
                                    

Mata ini seperti memaksa untuk tidak berkedip dan menahan untuk tidak melihatnya. Semakin lama semakin jelas tampak bayangan hitam meliuk-liuk di sekitar pohon besar itu. Kali ini aku seperti terkuras energi yang begitu besar sehingga gumpalan seperti asap hitam itu seperti menarik aku ke sana.

Sungguh, energiku sudah habis semua dan tubuhku juga ikut melemah hingga semuanya menjadi gelap.

"Sayang, kamu udah bangun?"

"Ma, Mama buka matanya, Ma!"

"Ma, kenapa tiba-tiba pingsan, Pa?"

"Kok, Mama nggak jawab, Pa?"

Aku ternyata pindang dan tidak sadarkan diri beberapa menit. Terdengar olehku di serentetan pertanyaan dari Beni, Andin, dan Andita.

"Aku, nggak apa-apa, kok, Sayang." Aku menatap wajah Beni dan kembali tersenyum padanya.

"Andin, Andita. Makasih karena kalian udah  menunggu Mama dari tadi di sini. Mama nggak kenapa-kenapa, kok, Sayang. Sini peluk Mama!" Aku mencoba membuat hati kedua putri ku tenang dan tidak tertekan karena situasi.

"Oh, iya. Tadinya kita mau jalan-jalan ya, Sayang?" tanyaku mengingatkan rencana kita sekeluarga.

"Sayang, udah. Jangan pikirin itu dulu, yang penting kamu sehat dulu dan ngga lemah kondisinya kayak gini," jawab Beni sembari meraih segelas air putih untukku.

"Iya, Ma. Andin nggak apa-apa kok, kalo nggak jadi jalan-jalan hari ini. Andin mau mama cepat sembuh," ucap Andin dengan penuh perhatian yang terlihat dari mata polos itu.

"Andita juga nggak mau Mama pingsan lagi," timpal Andita yang manja dari tatapannya.

"Ya, udah. Yuk Andin, Andita, Sayang! Kita keluar dulu. Biar Mama bisa istirahat dan cepat sembuh, Ya?" Beni mengajak kedua putri kembar ku demi membiarkan aku--istrinya beristirahat. Mungkin ia tahu kalau aku harus mengembalikan kekuatan dan energi fisik yang melemah tanpa daya ini.

Esoknya, aku tidak menyangka kalau seluruh tubuhku sudah segar kembali dan kepala juga sudah tidak pusing seperti kemarin. Sembari mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, aku tiba-tiba teringat kejadian kemarin. Sepertinya aku harus mencari tahu fakta di balik pohon besar nan tinggi di belakang halaman rumah ku.

Perlahan langkah ini kugerakkan hingga ke arah ruang tengah rumah ini. Di sana terlihat Beni dan juga si kembar sedang tertawa dan saling berkejaran. Aku melanjutkan langkah ke arah meja makan dan melihat semangkuk bubur ayam yang tertata di alasi kain putih. Beni memang seperhatian itu padaku.

Selesai makan, aku melangkah lagi ke arah pintu depan dan keluar melihat-lihat sekeliling berharap ada seseorang warga daerah di sini yang melintas pagi ini.

"Sayang, aku berangkat ke kantor dulu, ya? Kamu nggak apa-apa kan, aku tinggal?" ucap Beni beberapa menit setelah aku keluar menuju halaman.

"Iya, Sayang. Aku nggak apa-apa, kan, ada si kembar yang jaga aku di rumah." Aku menanggapi ucapan Beni dengan tersenyum kecil padanya.

"Oke, Sayang. Hati-hati kalian, Ya?" Beni melangkah setelah mengecup hangat keningku.

Kemudian suamiku mengendarai mobil dan berlalu hilang dari pandangan.

Sembari menikmati udara pagi hari ini, terlihat ada seorang perempuan paruh baya  berjalan ke arah pintu pagar rumahku. Kutaksir usianya sekitar 45 tahun kurang lebih.

"Mampir, Bu?" Aku memberanikan diri duluan menegur perempuan itu.

"Oh, Iya, Neng. Terima kasih," jawabnya dengan senyum yang lumayan ramah.

"Kenalin saya Adinda, Bu. Saya dan keluarga baru pindah ke rumah ini." Aku memperkenalkan diri secepat mungkin.

"Panggil saja Bu Rubi," jawab perempuan itu menjabat tanganku.

"Maaf sebelumnya, Neng Adinda. Maksud kedatangan saya ke sini karena ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada Neng," lanjut Bu Rubi yang tampak serius terlihat dari mimik wajahnya.

"Emangnya ada apa ya, Bu?" tanyaku penasaran.

"Saya cuma mau bilang, kalau Neng mau lama dan betah tinggal di sini, tolong jangan sekali-kali mendekati pohon angker di halaman belakang rumah, ya, Neng?" Bu Ruby tiba-tiba memperingati aku dengan tatapan matanya mengarah pada pohon besar di sana.

"Pohon angker?" tanyaku ingin memastikan fakta yang baru saja kudengar.

"Iya, warga sini menyebutnya 'pohon angker'. Beberapa bulan lalu ada salah seorang anak warga yang meregang nyawa diganggu oleh penunggu pohon angker itu. Dan semenjak kejadian itu, orang-orang tidak berani lagi melewati tempat ini terlebih malam hari." Bu Rubi berbicara sembari melihat lurus ke arah halaman belakang.

Setelah kami mengobrol beberapa menit, akhirnya perempuan itu kembali ke rumahnya yang terletak tidak terlalu jauh dari sini.

Sekarang, rasa kecurigaanku terhadap penunggu pohon itu terbukti juga. Pantas aku bisa merasakan keanehan yang berbeda di rumah ini.

Karena matahari mulai menanjak, aku segera masuk ke rumah dan menghampiri kedua putri kesayanganku.

"Ma, tadi Kak Andin nggak mau ganti channel film Unicorn ....Ma," rengek Andita padaku dengan polosnya.

"Iya, Sayang. Sabar sebentar lagi juga selesai tuh, acara favorit Kak Andin." Aku mencoba memberikan pengertian pada Andita berharap mau menurut.

"Iya, deh, Ma. Andita akan sabar nungguin Kak Andin," jawab putriku yang mulutnya terbuka dan menampakkan giginya padaku.

"Ya, udah. Mama ke dapur dulu, ya, Sayang?"

"Iya, Ma!" jawab Andin dan Andita serempak. Lantas melanjutkan menonton.

Tak terasa hari menjelang magrib akan tetapi, Beni juga belum pulang dari kantor. Mungkin suamiku ada lembur lagi malam ini.

Sementara aku masih sibuk di sini menyiapkan makan malam untuk keluarga kecil yang sangat berharga. Aku bersyukur karena aku memiliki mereka dalam hatiku dan bisa menikmati setiap keindahan pagi hari adalah hal begitu berarti dalam kehidupanku.

Selesai menaruhnya di atas meja, aku mencoba memanggil kedua putri ku. Astaga! Kemana mereka?

"Andin, Sayang!"

"Andita! Kalian di mana, Sayang?"

Aku kaget ketika mendapati mereka tidak ada di kamarnya. Aku berusaha mencari dan terus memanggil si kembar ke seluruh ruangan rumah. Namun, hasilnya nihil.

Pikiranku tidak keruan dan seluruh jiwa ini dipenuhi kecemasan. Aku menarik napas sejenak dan mengembuskannya perlahan. Sampai Indra pendengaran menangkap suara cekikikan Andin dan Andita. Dan itu berasal dari halaman belakang tepatnya mendekati pohon angker.

Tanpa peduli gerak syaraf dari kakiku, yang pasti secepat mungkin kupacu terus berlari ke arah suara. Hingga sebuah pemandangan mengejutkanku dan ternyata itu bukan suara si kembar melainkan suara sosok penunggu pohon angker itu.

Dengan cepat aku memeluk kedua putriku ketika menyadari bahwa perempuan mengerikan itu mulai mendekati mereka dengan segala aura menakutkan darinya.

"Mama, kenapa lari-lari begitu? Kami lagi main sama Tante Maya tadi. Katanya dia  tinggal dekat rumah kita, lho, Ma." Aku kaget mendengar ucapan Andin barusan.

Apa, Maya?

Apa jangan-jangan nama hantu di pohon angker itu Maya?

Bersambung ...

Nantikan kisah selanjutnya. Semoga bisa menghibur.

Jangan lupa vote dan komentar kalian untuk cerita ini yah. Makasih



Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang