13. Sah?

1.7K 237 20
                                    

Safa duduk terdiam dengan perasaan campur aduk, tangannya terasa dingin karena ia gugup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Safa duduk terdiam dengan perasaan campur aduk, tangannya terasa dingin karena ia gugup. Sedari tadi juga jantungnya tak berhenti berdetak begitu kencang, ia sudah beberapa kali mencoba tenang untuk menormalkan kembali detak jantungnya. Namun, sampai sekarang belum berhasil.

Kali ini Safa berada di dalam ruangan yang ada di dalam gedung tempat pernikahannya dilaksanakan, ia akan berada di sana sampai ijab kabul selesai. Ia ditemani oleh Ana dan juga 2 sepupu perempuannya di dalam sana.

"Teteh teh meuni geulis pisan," ucap Cucu, sepupunya.

Safa terlihat elegant, saat memakai kebaya putih jahitan ibunya. Kebaya putih itu, sangat pas digunakannya. Wajahnya juga terlihat cantik dan bercahaya, dengan riasan make up tipis dan sederhana. Karena Safa tidak suka dandan yang berlebihan. Namun, aura kecantikan Safa begitu terpancar.

Jika kata Erna tadi, mau pakai make up atau tidak. Safa terlihat cantik dan bercahaya, karena wajahnya sering terbilas air wudu. Selama ini juga, Safa tak pernah perawatan kecantikan. Tak punya waktu dan sayang uang jika menghabiskannya hanya untuk perawatan. Jadi, ia merawat wajahnya dengan ala kadarnya, dibantu dengan bilasan air wudu setiap ia hendak melaksanakan salat.

"Kamu bisa aja, Cu. Kalian bertiga juga cantik-cantik, bahkan cantikan kalian," ujar Safa sambil tersenyum.

"Panangan Teteh meuni tiis kieu, deg-degannya?" tebak Ana yang langsung diangguki Safa, sedari tadi tangannya memang sudah dingin.

"Tadi abi ninggal calon salaki Teh Safa, meuni kasep pisan. Jiga artis, Teteh bisa kenal jeung itu ti mana? Abi oge hoyong atuh, gaduh salaki jiga Aa' itu," kata Rima dengan senyum menggoda pada Safa.

Safa hanya tersenyum menanggapinya, ia belum bertemu sama sekali dengan calon suaminya itu. Jadi, ia tak tahu wajahnya seperti apa. Jangankan wajahnya, namanya saja Safa belum tahu siapa. Selama persiapan pernikahan, ia tak melakukan apa pun. Bahkan, untuk sekedar menyebar undangan saja, Safa tak memiliki kesempatan. Karena semuanya sudah diatur oleh kedua orang tuanya, dan dua orang tua calon suaminya. Safa dilarang melakukan apa pun oleh mereka, padahal ia ingin sekali membantu.

Ia pernah berniat untuk menanyakan nama calon suaminya itu, tapi tak pernah memiliki kesempatan. Kedua orang tuanya sibuk mengurus ini, itu. Jadi, jangan salahkan dirinya jika nanti ia tak tahu siapa nama suaminya sendiri. Karena tak ada yang memberitahu Safa, dan mungkin Sekar lupa memberitahu kepadanya. Karena terlalu sibuk dan senang menyiapkan semuanya.

"Acaranya udah mau dimulai," ujar Cucu yang membuat tubuh Safa menegang.

"Aku mau ngintip, ah," kata Ana yang berjalan ke arah pintu ruangan itu, diikuti dengan sepupunya. Dan, meninggalkan Safa yang duduk di kursi sendirian.

Safa menghela napas panjangnya, jantungnya semakin berdetak kencang. Ia memilih untuk menutup kedua matanya sambil berdoa di dalam hati, meminta kelancaran untuk acara pernikahannya. Ia tak bisa mendengarkan apa pun yang ada di luar sana, karena rasa gugupnya membuat ia tak bisa fokus selain terus berdoa. Hingga ...

"Teh, ayo keluar," ajak Ana tiba-tiba, membuat Safa membuka kedua matanya dan menatapnya linglung.

"Huh?"

"Sekarang Teteh udah boleh keluar, Teteh udah sah jadi istri orang," ujar Cucu, yang semakin Safa bingung. Kapan ijab kabulnya? Kenapa ia tidak mendengar apa pun?

"Beneran?" tanya Safa masih linglung.

"Iya, Teh. Ayo, itu suami Teteh udah nunggu," jawab Rima dengan nada menggoda.

Safa pun bangkit dari duduknya, dan berjalan keluar dari ruangan itu yang diiring oleh ketiga pager ayu yang sedari tadi menunggunya. Saat pintu itu terbuka, dan kakinya melangkah keluar. Saat itu juga, ia merasakan menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di dalam gedung itu.

Bukan hanya tatapan, ia juga mendengar berbagai pujian dari orang-orang. Membuatnya menundukkan kepalanya, ia tak nyaman menjadi pusat perhatian orang, ia juga tak senang dipuji. Karena terkadang, pujian orang bisa membuat kita sombong, dan lupa.

Jantung Safa semakin berdetak kencang saat jaraknya sudah dekat dengan seseorang yang kini telah menjadi suaminya, ia belum bisa melihat wajahnya. Karena terus menunduk sepanjang ia berjalan.

"Duduk di sini, Teh," bisik Ana, saat mereka sampai.

Safa menurut, ia duduk di samping suaminya yang masih menundukkan kepala di tempatnya. Hingga setelah Safa benar-benar sudah nyaman duduk di sana, ia melihat suaminya menggerakkan kepala menoleh ke arahnya. Dan ...

Deg!

Jantung Safa rasanya berhenti berdetak, tubuhnya mematung, dan aliran darahnya seperti ikut berhenti begitu saja. Tak hanya itu, tiba-tiba ia tidak bisa mendengar suara orang-orang di sekitarnya. Seolah, di gedung itu hanya ada dirinya dan sosok laki-laki yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Sakha?" batin Safa, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Tiba-tiba saja kedua matanya memanas, bagaimana bisa ini terjadi? Kenapa Sakha yang menjadi suaminya?

"Kenapa Sakha, Ya Allah?"

"Kok, pada tatap-tatapan? Safa cium tangan suaminya." Ucapan itu, membuat Safa tersadar dari lamunannya.

Dengan tangan sedikit bergetar, Safa meraih tangan kanan Sakha. Lalu, ia mencium punggung tangan Sakha dengan lembut.

"Aku jadi punya mimpi," ujar Sakha yang membuat gadis yang duduk di sebelahnya menautkan sebelah alisnya.

"Mimpi apa?"

"Kamu cium tangan aku setelah ijab kabul, dan setelah para saksi berkata 'sah'."

Air mata Safa menetes begitu saja, saat sepenggal ingatan itu tiba-tiba berputar di otaknya. Ada rasa sesak yang tiba-tiba dirasakan dadanya, apalagi saat mengingat kejadian 3 tahun lalu. Air mata Safa terus menetes, apalagi saat ia merasakan ada tangan hangat yang menyentuh ubun-ubunnya serta doa yang diucapkan Sakha untuknya.

"Allahumma inni as'aluka min khairihaa wa khairimaa jabaltahaa 'alaihi. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaihi."

Artinya : "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau tetapkan atas dirinya.

Setelah itu, Safa mendongkakkan kepalanya dan melepaskan tangan Sakha darinya. Dan, digantikan oleh Sakha yang menangkup wajahnya dan mencium kening Safa dengan lembut.

"Setelah itu, aku mencium kening kamu, deh."

"Kok, tiba-tiba ngebahas itu?"

"Karena aku pengin sama kamu bukan hanya sekarang, tapi nanti, dan selamanya. Di dunia dan di akhirat."

Lagi dan lagi, air mata Safa kembali menetes saat sepenggal kenangannya dulu berputar diotaknya.

"Mimpi kamu sudah tercapai, Sak. Tapi apakah mimpi kamu saat itu, dan saat ini masih sama?" batin Safa.

***

Full Of Secret ✓ [TERBIT : LOTUS PUBLISHER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang