Tinggal bersama, di satu atap yang sama. Bukan berarti perasaan kita masih sama.
~ Full Of Secret ~
***
"Semalam lo ke mana? Kok, nggak pulang?" tanya Fitri saat bertemu Luna di ruang istirahat karyawan resto.
"Semalam aku kehujanan waktu diajak jalan sama Sakha, karena tempat tinggal dia dekat dengan tempat kencan kita. Jadinya, aku dibawa ke apartemennya. Aku nunggu hujan reda untuk pulang, tapi hujan nggak berhenti-berhenti sampai malam. Sampai aku nggak sadar ketiduran di apartemen Sakha," jelasnya, membuat Fitri terus menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Terus kenapa lo nggak telepon gue? Seenggaknya kasih gue kabar biar nggak khawatir sama lo."
"Ponsel aku semalam habis baterai, waktu di charger juga nggak aku hidupin. Maaf, udah buat kamu khawatir," ujar Luna dengan menunjukkan ekspresi rasa bersalahnya.
"Kok, gue merasa lo beda, ya," ungkap Fitri yang membuat dahi Luna menyerinyit.
"Beda gimana?""Ya, beda aja. Semenjak lo jadian sama Sakha, lo jadi suka pulang lebih malam dari gue. Padahal, gue pulang kerja jam 10 malam. Lo pergi ke mana aja sama Sakha sampai selalu pulang larut malam? Kalau sekali dua kali nggak masalah, ini lo hampir tiap hari. Gue pernah ditegur sama Ibu kost, katanya bilangin sama lo kalau pulang jangan sampai tengah malam. Apalagi, di antar sama cowok, nggak enak kalau ada warga yang lihat."
"Maaf, Fit. Aku -"
"Fit, kerja!" ucap seseorang yang membuat ucapan Luna terhenti.
"Gue kerja dulu," ujar Fitri, lalu pergi meninggalkan Luna yang kini terdiam memikirkan ucapan Fitri.
***
Sakha berhenti tepat di depan pintu unitnya, yang diikuti oleh Safa yang menggendong Alfi karena tertidur. Pagi ini, mereka mulai pindahan ke apartemen Sakha. Lelaki itu, memasukkan password pada tombol apartemennya, tidak perlu lama. Setelah ia menekan tombol beberapa digit angka dengan benar, ia bisa langsung membuka pintunya dengan mudah.
Ia pun masuk dengan membawa barang bawaannya, yang diikuti oleh Safa dari belakang. Sakha meletakkan barang bawaannya di depan pintu kamar, lalu ia kembali keluar untuk mengambil sisa barang yang lain dan membawanya masuk.
"Itu kamarmu." Safa mengikuti arah tunjuk Sakha pada salah satu kamar, dan ia tidak merasa asing lagi dengan kamar itu. Bahkan, apartemen itu memang sudah tak asing lagi baginya. Dulu ia pernah datang ke sini beberapa kali, tidak ada yang berubah dari isi apartemen itu. Semuanya masih terlihat sama. "Dan, yang itu adalah kamar saya."
Safa mengalihkan pandangannya ke arah Sakha, setelah lelaki itu menunjuk kamar yang satunya lagi sebagai kamarnya. Maksud Sakha apa, menunjuk kamar berbeda untuk mereka tempati?
"Maksud kamu kita pisah ka-"
"Ya! Dan, saya nggak suka ada orang lain masuk ke kamar sembarangan, jadi kamu jangan pernah masuk kamar tanpa izin dari saya," sela Sakha.
"Tapi kenapa kita harus pisah kamar segala?" tanya Safa tak mengerti, bukankah sekarang mereka sudah menjadi suami istri? Lalu, kenapa sekarang Sakha tak ingin satu kamar dengannya?
"Saya pernah berkata pada kamu, 'kan? Saya menikahi kamu karena terpaksa, bukan karena masih cinta. Meskipun sekarang kita tinggal bersama, di satu atap yang sama, tapi perasaan kita sudah berbeda. Tidak ada lagi cinta di hati saya untukmu, jadi jangan berharap lebih atas diri saya. Tapi kamu nggak perlu khawatir, saya akan tetap menafkahi kamu berupa uang untuk keperluan kamu dan anakmu. Selebihnya, jangan berharap mendapatkan apa pun dari saya," jelas Sakha yang begitu menyentak hatinya. Segitu bencinya Sakha padanya, hingga tak bisa memberikan kesempatan sedikit saja untuknya?
"Jika kamu terpaksa, kenapa kamu tidak lebih kuat lagi berusaha untuk menolaknya? Bahkan, kamu bisa pergi dan tidak hadir di acara pernikahan kita, kalau kamu benar-benar merasa terpaksa dan tak mau menikahiku. Kamu bisa merencanakan apa pun, 'kan, untuk menggagalkan pernikahan itu. Lalu, kenapa kamu tidak melakukannya? Dan, kenapa kamu malah memilih meneruskan pernikahan itu?" tanya Safa.
"Karena saya hanya mengikuti alur takdir saja, dan saya ingin tau. Setelah ini, siapa yang akan terluka. Saya atau kamu?" Safa terdiam mendengar itu, apakah Sakha berniat balas dendam padanya? Tentu bukan ini yang diinginkan Safa, ia menikah bukan untuk mengikuti permainan Sakha. Ia menikah karena untuk ibadah, bukan untuk mengikuti permainan Sakha.
"Kamu tidak perlu melakukan itu semua untuk membuat aku terluka, karena sejak 3 tahun lalu pun aku sudah merasa terluka dan hancur. Sekarang jika kamu benar-benar tak bisa memaafkan Luna, tak bisakah kamu menganggapku Safa? Orang yang berbeda dengan Luna, anggap saja aku adalah orang lain. Bukankah selama ini yang kamu kenali itu adalah Luna, bukan Safa. Untuk itu, izinkan Safa untuk melakukan segala kewajiban sebagai seorang istri. Karena bagaimanapun, Safa menikah untuk ibadah."
Dan, ya, tanpa Sakha berniat untuk melihat siapa yang akan terluka, Safa sudah merasakan luka itu sejak tiga tahun lalu. Bahkan, luka itu sampai sekarang tak habis-habisnya membuat ia tersiksa. "Terserah, saya tidak peduli." Setelah mengatakan itu tanpa melihat ke arah Safa, Sakha masuk ke kamarnya. Ia harus bersiap-siap sebelum pergi ke tempatnya kerja.
Sedangkan, Safa hanya bisa menghela napasnya berat, sikap Sakha terlalu dingin padanya. Dan, sikap lelaki itu akan menghangat jika berada di depan orang tua mereka. Rasanya aneh ketika Sakha bersikap dingin padanya, karena ia tahu betul bagaimana sikap Sakha yang sebenarnya. Namun, semua sudah berubah, dan Safa tahu apa yang membuat sikap laki-laki itu berubah.
"Aku akan menebus segala kesalahan Luna, Mas. Aku akan berusaha menghilangkan rasa benci dan kecewa kamu pada Luna, mungkin akan terasa sulit. Tapi aku nggak akan nyerah, sampai kamu bisa memaafkan Luna. Karena aku nggak pernah bisa tenang, jika suatu saat nanti aku harus pergi. Dan, kamu masih belum memaafkan Luna," batin Safa, lalu ia berjalan menuju kamar yang ditunjuk Sakha tadi. Sekarang ia hanya bisa mengikuti apa keinginan Sakha. Mungkin, karena memang saat ini Sakha belum bisa benar-benar menerima kehadirannya kembali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Of Secret ✓ [TERBIT : LOTUS PUBLISHER]
Romance[Repost] • Pemenang GMG Hunting Writers 2021 kategori Best Branding • Happy Reading • Hal yang Sakha benci di dunia ini adalah seseorang yang pergi tanpa pamit. Lalu, apa jadinya jika orang yang paling ia cinta, melakukan hal...