20. Khawatir

1.5K 230 37
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Aku tak peduli padamu, tapi entah kenapa hati ini masih terasa sakit saat melihat air matamu.

Sakha Abi Baskara

~ Full Of Secret ~

***

Pukul 19.45 WIB, Sakha keluar dari kamarnya untuk mengambil air minum di dapur. Tepat saat ia di depan kamarnya, saat itu juga ia melihat Safa yang baru masuk ke unit apartemennya. Dari mana perempuan itu, malam-malam seperti ini? Sejak kapan Safa keluar dari apartemen? Hingga ia tidak tahu.

Yang semakin membuat Sakha kebingungan adalah saat melihat kekhawatiran di wajah Safa yang tampak pucat, ia juga melihat ada bekas air mata. Tak hanya itu, ia bisa mendengar deru napas Safa yang ngos-ngosan, seperti habis berlari. Ada apa dengan perempuan itu sebenarnya?

“Kamu dari mana?” tanya Sakha, masih dengan aura dinginnya ketika berhadapan dengan Safa.

Bukannya menjawab, Sakha malah melihat perempuan itu meneteskan air matanya.

“Kamu kenapa?”

“Safa habis cari Alfi di sekeliling apartemen ini, tapi Safa nggak berhasil menemukan Alfi. Safa bingung harus cari Alfi ke mana lagi, Alfi tiba-tiba hilang. Tadi sore Safa ke kamar dan tinggalin Alfi sebentar di ruang TV, tapi pas Safa keluar lagi Alfi udah nggak ada. Safa udah cari di luar, tapi Alfi nggak ketemu juga. Safa khawatir sama Alfi, takut diculik. Alfi juga masih kecil, dia mana ngerti jalan pulang ke sini,” jelas Safa panjang lebar dengan air mata yang terus menetes. Sangat terlihat jelas sekali bagaimana kekhawatiran Safa kali ini.

“Untuk apa kamu cari Alfi sampai ke luar apartemen segala?”

“Safa takut jika tadi Alfi keluar sendiri, makanya Safa keluar cari Alfi.”

“Sebelum cari keluar, kamu bisa cari di dalam dulu, ‘kan?” tanya Sakha yang dibalas dengan anggukan Safa.

“Tadi Safa udah cek setiap ruangan yang ada di sini, tapi Alfi nggak ada.”

“Tapi kamu nggak cek ke kamar saya.”

“Karena nggak mungkin Alfi masuk kamar, Mas.”

“Nggak mungkin? Kenapa? Tapi, nyatanya Alfi ada di kamar saya,” ujar Sakha masih dengan nada suara dinginnya itu.

“Huh?”

“Alfi sudah tidur di kamar saya.”

Saat itu juga, Safa berjalan cepat menghampiri Sakha. Ia menggigit bibir bawahnya, sebelum ia memberanikan diri untuk bertanya, “Boleh Safa masuk?”

Sakha tak menjawabnya, hanya saja ia bergeser agar tak menghalangi pintu kamarnya. Safa tak membuang waktu lagi untuk masuk, ketika Sakha mengizinkannya meski bukan lewat kata-kata.

Ia masuk ke kamar Sakha yang lebih luas dari apa yang ia bayangkan, dan lebih luas dari kamar yang ditempatinya. Safa melihat Alfi yang tertidur di kasur king size milik Sakha dengan nyaman, ia menatap dalam Alfi. Lega rasanya saat melihat Alfi baik-baik saja di sana.

Tubuh Safa meluruh ke bawah dekat kasur, ketika kakinya terasa lemas. Sudah lebih dari 2 jam, ia berlari ke sana, ke sini untuk mencari Alfi di luar sana. Ia mengira jika tadi Alfi keluar sendiri dari apartemen, ia takut terjadi sesuatu pada Alfi. Apalagi, Alfi masih kecil, belum mengerti apa-apa.

Suara isak tangis mulai terdengar di kamar itu, saat Safa sudah tak bisa menahannya lagi. Ia bersyukur Alfi ada di sana, karena jika Alfi benar-benar hilang. Ia tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Safa meraih tangan Alfi, lalu menggenggamnya dengan erat. Kemudian berkata, “Alfi maafin, Bunda. Tadi Bunda sempat lupa kalau Alfi masih ada di ruang TV, Alfi marah sama Bunda, ya? Jadi, kaburnya ke kamar Om Sakha. Padahal, tadi Bunda cuma nyuruh Alfi buat pakai baju. Supaya nggak masuk angin.”

Sakha yang melihat itu, hanya diam di pijakannya. Ia berusaha untuk tidak peduli, meski sebagian hatinya menyuruhnya untuk mendekat pada Safa dan menenangkan perempuan itu untuk tidak menangis lagi.

“Tunggu apa lagi? Samperin dia, tenangin dia, peluk dia. Bilang sama dia, untuk tidak nangis lagi. Bukankah lo paling nggak suka lihat dia menangis sejak dulu?” – Sisi baik Sakha.

“Halah ngapain? Biarin aja dia nangis, nggak ada urusannya juga sama lo. Lo nggak usah peduliin dia, lo harus ingat. Dia pernah tinggalin lo, dan mengkhianati lo selama ini. Paling sekarang dia cuma lagi cari perhatian, supaya lo mau maafin dia. Setelah itu, dia buat lo kecewa lagi!” – Sisi jahat Sakha.

“Ikuti apa kata hati lo paling dalam, Sak. Lo lihat sendiri tadi, ‘kan? Gimana takut dan khawatirnya dia ketika nyari Alfi, jadi ayo tenangkan dia.” – Sisi baik Sakha.

“Alfi jangan pernah pergi tinggalin, Bunda. Karena Bunda nggak bisa jauh dari Alfi, selama ini kita melewati masalah sama-sama, ‘kan? Yang buat Bunda kuat hadapi semua masalah, karena ada Alfi di sisi Bunda. Alfi kekuatan Bunda, untuk itu jangan pernah pergi dari, Bunda.”

“Kalau Alfi marah sama Bunda, Alfi bisa langsung marah. Bunda nggak apa-apa, asalkan Alfi jangan pergi tanpa kasih tau, Bunda.”

Menghela napas panjangnya, Sakha pun melangkahkan kakinya untuk menghampiri Safa. Namun, ia tidak mengikuti apa yang sisi baiknya katakan padanya. Ia tidak memeluk Safa untuk menenangkannya, karena Sakha hanya berdiri saja di samping perempuan itu berlutut.

“Udah, ‘kan? Alfi nggak kenapa-kenapa, jadi kamu nggak usah nangis-nangis kayak gitu. Dia bisa bangun kalau dengar suara tangis kamu,” ujar Sakha masih terdengar dingin.

Mendengar itu, Safa melepaskan genggamannya pada Alfi, dan bangkit dari posisinya untuk kembali berdiri. Lalu, ia meraih tangan Sakha dan menggenggamnya erat, membuat Sakha mematung di pijakannya.

“Makasih, Mas. Makasih udah jagain Alfi, Safa nggak tau gimana jadinya kalau ternyata Alfi benar-benar pergi dari sini dan hilang. Safa nggak bisa kehilangan Alfi, karena Alfi amanah paling besar yang harus Safa jaga. Alfi sudah seperti nyawa Safa. Jika Alfi nggak ada, maka Safa juga nggak akan bisa hidup dengan tenang,” kata Safa yang membuat sebagian hati Sakha terasa nyeri saat mendengarnya. Entah karena ia tak suka melihat Safa menangis, atau karena Safa begitu peduli pada anak yang Ayah kandungnya sendiri pun tak mau bertanggung jawab.

“Saya tidak berbuat apa-apa, Alfi hanya main saja di sini tadi. Lalu, ketiduran. Jadi, nggak usah berterima kasih,” balas Sakha.

“Tapi tetap aja, Mas udah mau jaga Alfi. Untuk itu, Safa bilang makasih.”

“Ya, sudah, kamu bisa keluar dari kamar saya sekarang. Biarkan saja dia tidur di sani, kalau kamu memindahkannya. Bisa-bisa dia terbangun.” Safa menganggukkan kepalanya, dan melepaskan tangan Sakha dari genggamannya. Kemudian, Safa berjalan meninggalkannya sambil menghapus air matanya. Perasaannya sudah lega, karena ternyata Alfi baik-baik saja.

Sakha melihat kepergian Safa, ada sesuatu yang menyentil hatinya. Dadanya ikut sesak ketika melihat perempuan itu menangis, haruskah ia mengalami itu? Sedangkan, perempuan itu pernah membuatnya kecewa.

“Kalau aja kamu nggak pernah mengkhianati aku, mungkin sekarang kita nggak akan kayak gini,” batin Sakha.

***

Full Of Secret ✓ [TERBIT : LOTUS PUBLISHER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang