Happy reading
Bilqis masih menunduk di sepanjang koridor. Kepala mungil itu enggan menegakkan wajahnya menatap lurus jalanan. Hatinya kacau, perasaannya galau, pikirannya balau.
Hah ….
Embusan napas lelah terdengar untuk yang kelima kali. Matanya menyorot, menatap marmer putih yang sedang ia pijak. Hati kecilnya mengatakan agar ia memaafkan Bakti. Tapi, pikirannya memberontak menolak mentah-mentah pemikiran kecil tersebut. Mendadak gadis dengan seragam abu-abu itu mengalami dilema. Ia bingung harus melakukan apa.
"Jadi pusing sendiri kan, gue!" ungkap Bilqis memainkan ujung rok, memilinnya dengan pelan.
"Bilqis!" Teriakan menggema seperti terompet sangkakala yang sedang ditiup malaikat.
Bilqis menoleh sebentar. Menatap malas sang pemanggil. "Iya?" tutur Bilqis dengan suara ogah-ogahan. Ia sangat malas untuk sekarang ini berbicara. Tapi, tidak sopan rasanya jika mengabaikan sang pemanggil.
"Bentar gue narik napas dulu. Pengap!" terang gadis kuncir satu dengan mata yang sedikit besar. Napasnya terdengar putus-putus. Mungkin, ia sedang habis berlari.
"Ck, lama," decak Bilqis dengan kesal. Ia sedang terburu-buru hendak pergi dari tempat keramaian. Ralat, lebih tepatnya sedang menghindari Bakti.
"Lu tau gak? Anu …," pungkas Niki—gadis bermata besar tersebut berbicara dengan kalimat yang ambigu.
"Anu, anu, gimana? Yang bener elah ngomong. Lama lu mah!" kelit Bilqis dengan tidak santainya. Niki terlihat berbelit-belit dalam berbicara.
"Santai bos. Lemaskan dahulu," gurau Niki—Niki Sandrina. Gadis keturunan darah campuran Indonesia dengan Korea. Gadis yang selalu menjadi bahan olokan karena matanya sangat besar jika dibanding dengan warga Indonesia pada umumnya. Padahal, jika dilihat dari sisi fisik. Niki itu cantik ia juga manis dengan kulit yang lebih pucat dari warna kulit orang Indonesia.
"To the point woi!" gertak Bilqis. Gadis sipit ini selalu saja bisa membuat Bilqis mendadak tinggi darah. Sifatnya yang menyebalkan itu ingin sekali Bilqis tendang ke Antartika. Jika tidak mengingat Niki adalah sahabatnya.
"Bakti berantem!"
Polosan kalimat tersebut sukses membuat mata Bilqis membola. Bakti tipikal orang yang menghindari adu jotos. Ia lebih suka hidup damai. Apa yang membuat Bakti berkelahi.
"Kok bisa?" beo Bilqis. Terselip nada khawatir terhadap lelaki itu. Sejahat apapun Bakti. Tetap saja ia tunangan Bilqis. Mau bagaimana pun dirubah hasilnya adalah sama.
Raut wajah Niki terlihat panik. Keringatnya ikut luruh. "Mana gue tahu. Dari pada lu nanya, mending lu samperin gih! Buruan!" saran Niki menyenggol lengan Bilqis. Menyuruh tunangan Bakti itu segera menyusul.
Bilqis mengangguk, ia berjalan dengan langkah cepat. Di sepanjang jalan hanya satu yang menghalang pikirannya. Apa yang menyebabkan Bakti berkelahi. Ini nampak janggal. Ada sesuatu yang tidak beres. Mempercepat langkah menuju lapangan. Kenapa Bilqis tahu baku hantam terjadi di lapangan? Karena terlihat manusia yang berbondong-bondong menuju arah sana. Realistis saja, tidak mungkin manusia semut ini tidak tergesa-gesa ke lapangan kalau tidak terjadi apa-apa yang menarik penglihatan mereka.
Kaki mungil Bilqis terhenti di ujung lapangan. Siluetnya menangkap Bakti yang sedang melayangkan pukulan. Apa Bakti punya musuh? Setahu Bilqis, Bakti adalah manusia yang jarang mempunyai musuh.
Mata Bilqis masih terpaku ke arah depan. Ia hendak menghentikan kegiatan. Tapi, tertahan karena kalimat yang keluar dari mulut Bakti.
"Lu itu cowok atau cewek hah!? Berani banget mainnya sama cewek. Cantika itu cewek bro!? Kalau lu berani, sini lawan gue!" Teriakan menggema dari Bakti sangat kentara. Emosinya terlihat kuat.
Bilqis memegang dada yang terasa nyeri. Perasaan apa ini. Ada gejolak yang membuat berdenyut. Sesuatu tajam yang tak kasat mata menusuk punggung. Perasaan yang tidak bisa didefinisikan.
"Jadi lu berantem cuman karena Cantika!?" Bilqis mengabaikan rasa sesak. Matanya menyorot sendu. Bahasa tubuhnya kaku.
"Sesakit ini gue ngecintai lu? Kelakuan lu buat gue ragu, Bak. Buat gue ragu apa lu cinta gue atau … hanya gue yang terlalu berharap?" cetus Bilqis memegangi dada, ia meremas bagian tersebut dengan kuat. Bilqis tidak menangis. Tapi, rasa sesak mengelabui semuanya.
"Gue gak masalah lu mau ngapain aja. Tapi, sekali aja. Hargain gue sebagai pasangan lu, Bak. Gue gak kuat kaya di novel yang rela dijadikan yang ke berapa. Gue gak sekuat itu. Gue cuman cewek yang minta cowoknya jaga perasaan buat pasangan!" tutur Bilqis menatap Bakti yang membabi buta.
Rasa kecewanya lebih besar dibanding rasa cemburu yang keluar. Buliran bening turun. Bilqis menyeka dengan kasar. Ia tidak boleh menangis. "Hari ini gue kecewa sama lu. Benar-benar kecewa." Bilqis berlalu, meninggalkan lapangan bersama perasaan yang penuh kekecewaan.
•••
Yang dilakukan Bilqis sedari tadi melamun. Menopang dagu dengan tangan. Menyandarkan badan ke tepi kaca bening. Ia tidak berniat untuk ke luar kelas. Bilqis perlu waktu menenangkan diri. Tatapan matanya kosong menyiratkan luka yang begitu mendalam.
"Qis." Tepukan di bahu terasa. Sang penepuk berambut cokelat dia Lulu, Lulu Magdalena. Sahabat Bilqis selain Niki.
Bilqis menatap Lulu dengan pandangan yang sulit diartikan. Hari ini Bilqis lebih banyak diam. Jika biasanya dia hiperaktif maka hari ini dia mendadak berubah menjadi seorang yang pasif dan introvert.
Lulu duduk di tepi samping Bilqis. "Kenapa? Dia lagi?" tebak Lulu yang sangat paham dengan permasalahan sahabatnya yang membuat galau tujuh keliling ini.
Sang empu mengangguk. Membuat Lulu menghela napas kasar. "Mau nangis? Sini, bahu gue ada buat lu," imbuh Lulu menepuk bahunya.
Bilqis tersenyum tipis. Ia membenamkan wajahnya di pelukan Lulu. Hanya Lulu yang mampu memberi tempat ternyaman untuk bersandar. Rasa hangat menjalar di pelukan.
"Mau cerita?" tawar Lulu mengelus surai rambut Bilqis.
Lagi-lagi anggukan kepala terlihat. "Gue lelah, Lu. Gue mau mundur. Gue capek, ini beban buat gue. Mau nangis rasanya udah percuma tapi tetap aja gue nangis. Bodoh, ya, gue? Mencintai orang yang belum tentu mencintai gue," pungkas Bilqis dengan lemah. Kalimatnya terdengar pasrah. Seolah ini adalah yang terakhir.
Lulu diam. Ia membiarkan Bilqis melanjutkan sesi curhatnya. "Dia sayang gue gak, ya? Melihat sikap dia. Gue … menjadi ragu. Gue cemburu, Lu. Tau kan gimana rasanya liat pasangan dekat sama yang lain. Mungkin keliatan lebay. Tapi, batas sabar yang gue ciptakan selama kurang lebih dua tahun udah mulai menipis, Lu. Apa kurang dua tahun gue biarin dia gitu aja? Gue capek. Gue mau nangis, mau teriak sekuat-kuatnya. Mau bilang bahwa gue, bahwa gue mau nyerah." Bilqis menjeda kalimatnya, nada bicara sudah bergetar. "Di saat semua pasangan bisa saling menguatkan. Gue berbeda. Gue cuman bisa berada di belenggu bayang-bayang rasa cemburu," cicit Bilqis dengan pilu. Ia sudah muak dengan semua ini.
Marahnya orang sabar bukan menghancurkan barang-barang di sekitar, bukan pula memaki-maki banyak orang, apalagi sampai melakukan kegiatan fisik. Tapi, marahnya orang sabar ketika ia mengucapkan kalimat lelah dengan diiringi tangisan yang begitu menyesakkan. Tingkat batas di mana orang sabar adalah ketika ia merasa bahwa ini waktu untuk menyerah, ini waktu yang tepat untuk mundur. Sabar tidak ada batas tapi ada sebuah benteng pengukur sekuat apa sabar diuji. Sabar satu kalimat mudah diucapkan tapi sulit untuk diterapkan.
•••
Yok. Balik lagi dan ketemu lagi dengan saya. Bagaimana kabarnya? Baik? Wah, syukurlah.
Kalau saya? Di antara baik dan tidak baik. Hahaha lupakan.
Selamat membaca dan semoga suka 🧡🧡🧡
Salam dari saya
Makhluk Mars yang tersesat di Bumi🌍✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret boyfriend☑️
Teen Fiction[FOLLOW DULU YUK, SEBELUM BACA!] Bakti Wirya Danuarta. Lelaki dengan seribu pesona, lelaki idaman wanita sejagat SMA Rajawali. Bakti-tubuh kekar, tegap, menjulang tinggi seperti tiang listrik. Bakti itu keren, Bakti itu Ketua OSIS paling WOW. Menyeb...