Bab 32 : Awal

23.8K 1.4K 632
                                    

Happy reading

Budayakan follow, vote, dan koment🌈

Bakti mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kelas. Saat ini nampak sepi karena yang lain sudah pulang sekolah hanya tertinggal ia seorang diri.

Melihat sesuatu yang ada di atas mejanya. Kertas. Lagi-lagi sebuah gumpalan kecil yang tidak jelas asal usulnya datang dari mana. Bakti diam, setelah berperang dengan pikiran ia memutuskan untuk duduk sebentar membuka lembaran tersebut secara perlahan.

"Kita sama, sama-sama tak mengerti perihal rasa." Mulutnya membuka, membaca dengan terbata-bata tulisan tegak bersambung seperti ceker ayam tersebut.

Kali ini, bukan hanya sebuah kertas. Namun, ada setangkai mawar putih di samping kertas tersebut. "Siapa, sih yang ngirim? Sumpah dah gue kepo banget," aku Bakti melihat, mengamati secara saksama kata perkata yang tertulis di kertas sobekan tersebut.

Ada sesuatu yang masih janggal. Di bawah kolong meja, ada sehelai kertas yang lebih besar ukuran dengan tulisan yang masih sama. "Kamu adalah doa yang aku amini. Sedangkan aku? Aku adalah doa yang tak pernah kau ingini." Bakti kembali mengeja huruf-huruf tersebut dengan mengerutkan keningnya bingung.

"Gue gak paham, kagak ngerti, dan kagak tau," kesalnya dengan menaruh kasar kertas beserta anteknya, bunga mawar.

Tak ingin berlama-lama di dalam kelas, Bakti menuju rumah untuk pulang. Saat Bakti sudah pergi, seseorang datang dengan pakaian yang sama, berjaket abu-abu.

Ia tersenyum di balik tudung. "Hai Romeo, sudah lama aku tidak bertukar pesan," serunya dengan pelan. Setelah berkata tersebut ia pergi begitu saja.

•••

Bilqis tersenyum tipis, kakinya perlahan menginjakkan jalan penuh kerikil. Tempat yang paling membuat beban Bilqis terasa ringan. Tempat untuk berkeluh kesah, ketika lisan tak sanggup berkata. Tempat sepi yang cocok untuk mengasingkan diri.

Apalagi kalau bukan kolong jembatan. Tempat paling nyaman ketika Bilqis merasa lelah. Gadis tersebut menundukkan diri ke pinggir sungai sesekali melihat pantulan bayangan di permukaan air.

"Hallo, apa kabar? Udah lama gue gak ke sini," sapanya pada bayangan sendiri.

"Masih setia buat bahagia? Harus, dong. Lu mau tanya gak kabar gue? Kabar gue gak baik-baik aja. Tapi, gue berusaha buat terlihat sedang tidak terjadi apa-apa," tukas Bilqis tersenyum dengan paksa.

"Maaf, ya. Gue selalu ke sini ketika gue cuman ada masalah. Maaf gue jarang ngunjungin lu," sesalnya kembali menatap bayangan diri sendiri.

"Lu tau gak apa yang paling gue benci?" Bilqis sedikit menjeda karena menarik napas. "Gue. Gue benci diri gue sendiri."

Menghela napas, merebahkan diri ke atas rerumputan, menatap terik matahari yang terlihat menyilaukan. "Hari ini. Hati gue terasa damai. Ntah lah kenapa. Mungkin gue udah ngerelain sesuatu yang emang enggak harus untuk gue. Ataukah ini cuman definisi karna gue sudah lelah?" Bilqis berbicara pada diri sendiri, mulai mencari jawaban dari segala yang ia tanyakan.

"Gimana lu bisa bangkit. Jika penyebab sedih lu masih terus lu pelihara dengan mengingatnya setiap hari," celetuk seseorang dari arah belakang.

Bilqis terkejut. Kenapa dia ada di sini? Bukankah yang tahu tempat ini hanya dirinya seorang. Apakah dia menguntit? Mengikuti dirinya? Dan tadi apa yang dia bilang? Penyebab sedih? Bahkan, penyebab Bilqis sedih adalah dia yang berbicara seperti itu.

Matanya sedikit melotot. "K–kok lu bisa ada di sini?"

Dia mengangkat bahu acuh, duduk di samping Bilqis lalu ikut merebahkan diri. "Kita sering menyembunyikan rasa cinta kepada orang yang kita sukai, padahal kita sangat ingin menyatakannya."

Secret boyfriend☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang