part 3

1K 215 20
                                    

Hari ini Nara berangkat cukup siang. Itu dikarenakan oleh menunggu Ryan mandi yang seperti menunggu Indonesia bebas dari penjajahan Belanda.

Benar dugaannya, kelas sudah cukup ramai. Nara melangkahkan kakinya menuju bangkunya tanpa memperdulikan gerombolan para siswi di meja Deva. Sementara Deva, ia hanya melirik kearah Nara tanpa menyapa seperti biasanya.

"Eh Dev lo nggak takut apa duduk sebelahan sama makhluk macem dia?" Celetuk salah satu siswi setelah melihat Nara duduk di bangkunya.

"Iya, hati-hati loh Dev. Banyak rumor serem tentang dia" timpal siswi yang lainnya. Deva hanya diam tanpa menyahut. Hanya saja sesekali cowok itu menoleh ke samping kirinya. Memperhatikan Nara yang tengah fokus dengan ponselnya, tanpa terganggu oleh poni yang semakin hari semakin panjang.

"Gue jadi sanksi sendiri, jangan-jangan dia muka rata, makanya ditutupin pake rambut"

"Wah parah banget Lo, haha"

"Ya kalo dia punya muka harusnya nggak usah ditutupin dong. Malu apa mukanya jelek? Tinggal terima takdir aja apa susahnya sih"

Gebrakan dimeja membuat acara ghibah para siswi tersebut terhenti. Semua pasang mata menatap kearah Deva sang pelaku, tak terkecuali Nara. Walaupun dirinya fokus dengan ponselnya, tetapi ia mendengar semua perkataan tidak mengenakan tersebut.

"Masih mending orang yang menurut kalian 'muka rata' atau 'jelek' daripada kalian yang ngaku cantik tapi kelakuan ampas. Emang bener yah kata pepatah 'tong kosong berbunyi nyaring', kalian pembuktian dari pepatah itu"

Semua pasang mata menatap Deva tidak percaya. Deva sang princenya SMA Lesmana, kini tampak mengerikan saat mengeluarkan kata-kata pedas dengan ekspresi datarnya. Tidak ada lagi Deva yang terkenal ramah dan murah senyumnya itu.

"Dev kok Lo gi--"

"Udah kelakuan ampas, nggak punya otak lagi. Kalo mau ngomongin orang itu seenggaknya dipikir dulu, itu orang denger apa nggak. Situ lagi ngerumpi apa ngajak ngobrol?" Potong Deva sebelum salah satu siswi melanjutkan bicaranya.

Deva menghela nafas sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan kelas dalam keadaan hening. Mereka semua terlalu terkejut mendapati sosok Deva yang tidak seperti biasanya.

Beberapa saat kemudian kelas berubah menjadi gaduh. Mereka semua mempertanyakan apa yang membuat Deva sampai seperti itu. Siswi yang tadi menggerombol di meja Deva hanya diam. Matanya memandang Nara dengan tatapan, marah?

"Gara-gara dia, gue kan pengen ngedeketin si Deva, malah kena marah" gerutu salah satu dari keempat siswi itu dengan kesal.

Sementara itu, Nara terdiam. Melihat apa yang dilakukan oleh Deva barusan, membuat ia berpikir. Kenapa Deva sampai segitunya? Padahal dirinya saja tidak terlalu memperdulikan ucapan dari siswi yang tidak ia ketahui namanya itu.

***

Bel tanda pulang sudah berbunyi. Saat ini Nara tengah membereskan buku-bukunya kedalam tas. Ia melirik sekilas pada Deva.

Cowok itu, setelah keluar dari kelas menjadi tidak banyak bicara. Bahkan raut wajahnya yang biasanya cerah bak matahari terbit itu, hari ini terlihat datar tanpa ekspresi.

Nara jadi berpikir, apa yang harus ia ucapkan pada Deva?. Apakah terima kasih? Namun, bagaimana kalau ternyata cowok itu berucap demikian bukan untuk membela dirinya, namun karena ia pernah mengalami nasib yang sama dengan Nara?

Nara menghembuskan nafas gusar. Jika saja Deva tak ambil pusing perkataan dari para siswi tadi pagi, ia tidak akan pusing memikirkan hal yang sebenarnya tidak penting ini.

"Deva!" Panggil Nara setelah melihat cowok itu hendak beranjak pulang.

"Ya?" Deva membalikkan badannya, menatap Nara yang ia tidak tau sedang menatapnya balik atau tidak.

Si Aneh Dan SebelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang