8

689 129 7
                                    

***

Hampir lima belas jam Lisa terlelap di rumah Jiyong– di kamarnya. Kini kira-kira pukul tiga sore, wanita itu membuka matanya dan mendapati kalau dirinya ada di dalam kamarnya. Jiyong pikir gadis itu akan merasa tenang karena berada di dalam kamarnya sendiri, namun ternyata Jiyong salah. Lisa justru ketakutan saat berada di dalam kamar itu. Pasalnya, ia ingat kalau semalam ia masuk ke dalam sebuah cafe. Lisa juga ingat kalau kamarnya di rumah tidak lagi terlihat seperti kamar lamanya. Perabotan di kamarnya– meja rias, lampu meja, penyejuk ruangan, vas bunga, lukisan dan beberapa perabot lainnya sudah lama ia jual.

"Ini pasti mimpi," gumam Lisa, begitu ia duduk di atas ranjang tempatnya berbaring. Tubuhnya kini berbalut pakaian yang begitu familiar– sweater kuning dengan hoodie dan celana olahraga berwarna abu gelap. "Tentu saja ini mimpi, tidak mungkin ada kamar yang persis seperti kamarku," gumam gadis itu sembari melangkah meninggalkannya ranjang, berjalan mendekati meja rias dengan sederet alat make up yang persis seperti miliknya dulu. "Ini hanya mimpi, semua ini hanya mimpi," yakin gadis itu yang akhirnya berjalan mendekati pintu. Ia geser pintu kamar itu kemudian menemukan rumahnya di sana. Rumah yang tentunya berbeda dengan rumah yang ia tinggalkan kemarin. Perabot-perabot yang sebelumnya sudah ia jual secara ajaib muncul lagi di tempatnya.

Namun dari semua pemandangan asing itu, sosok orang-orang yang duduk di meja makan lah yang membuatnya paling terkejut. Lisa langsung menutup kembali pintu kamarnya begitu menyadari orang-orang itu. Rasa takut menjalar di sekujur tubuhnya.

Ada seorang wanita yang tidak ia kenal di meja makan. Wanita itu tengah menjahit sebuah kemeja biru di sana. Di depan wanita itu, dengan posisi yang memunggungi Lisa, Jiyong duduk di sana. Jiyong tengah menikmati beberapa sendok makanan, tanpa sadar kalau Lisa melihatnya dari pintu kamar tidur. Lisa langsung mengenali Jiyong hanya dari tato di belakang lehernya. Tidak hanya mereka berdua, di sebelah Jiyong juga duduk seorang pria berambut pirang yang tidak asing baginya. Lalu di dekat lemari es ada gadis lain yang sedang mencari sesuatu.

Melihat orang-orang itu membuat Lisa takut. Ia tidak mengenal mereka semua, namun yang lebih membuatnya takut adalah Jiyong yang memunggunginya. Setiap kali memimpikan Jiyong, Lisa selalu merasa takut. Ia selalu takut, khawatir Jiyong akan menyalahkannya dalam mimpi. Namun belum sempat Lisa merasa semakin bingung pintu kamarnya sudah lebih dulu terbuka. Jiyong berada di sana, melangkah masuk ke dalam kamar kemudian menutup kembali pintunya. Pria itu membuat Lisa membeku di tempatnya berdiri sekarang.

"Lisa-ya, oppa sangat merindukanmu," ucap Jiyong, membuka percakapan diantara mereka. "Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Dua tahun? Kau baik-baik saja kan? Oppa- aku- aku minta maaf, karena harus pergi tanpa mengatakan apapun padamu," susul Jiyong, dengan suaranya yang mulai bergetar.

"Ini hanya mimpi, kan?" tanya gadis itu, dengan suara yang sama bergetar.

"Bukan, tapi melihatmu ada di sini juga terasa seperti mimpi bagiku," jawab Jiyong, memecahkan tangis Lisa, langsung saat itu juga.

Setelah hampir satu jam Lisa menangis bersama kekasihnya. Gadis itu akhirnya bangkit. Ia meraih tangan Jiyong, menariknya untuk mengajaknya pulang. Lisa tidak tahu desa apa itu, ia tidak tahu kenapa Jiyong ada di sama sementara seluruh negeri mencarinya. Namun tanpa ingin tahu lebih banyak lagi, gadis itu menarik Jiyong, mengajak Jiyong pergi meninggalkan desa ditengah hutan itu dan pulang bersamanya.

Saat berjalan, Jiyong tahu kalau Lisa kebingungan memilih arah. Ia tahu kalau beberapa orang memandang iba pada mereka. Ia tahu kalau mereka sudah melewati tempat yang sama dua kali. Namun alih-alih memberontak, Jiyong mengikuti Lisa sampai akhirnya mereka tiba di perbatasan, di sebuah jalan setapak yang membelah deretan tanaman chamomile. Bunganya yang kecil, putih dengan tengah berwarna kuning menghiasi tanah luas itu. Nanti di ujung jalannya, Jiyong tidak akan bisa melintas. Seolah ada dinding kaca transparan yang menahannya, Jiyong tidak akan bisa melewati batas itu. Jiyong tahu itu, sebab sudah ratusan kali ia berusaha melewati batas itu dan tetap saja gagal.

"Kenapa bisa begini?" tanya Lisa, menatap takut pada Jiyong yang tidak bisa mendekat padanya, juga menatap pakaiannya yang kini berubah menjadi kemeja robek semalam. "Oppa? Ada apa ini? Kenapa oppa tidak mengikutiku lagi? Kenapa pakaianku- oppa ayo pulang, oppa, ayo pulang, jangan membuatku takut-"

"Maafkan aku," balas Jiyong, menatap gadis yang bergetar hebat di depannya. Gadis yang luar biasa ketakutan hanya karena Jiyong tidak bisa menghampirinya. "Kalau aku bisa melewati batasnya, aku pasti sudah menemuimu sejak lama, maafkan aku, aku tidak bisa melewati batasnya," jelas Jiyong, memaksakan dirinya untuk tersenyum pada gadis yang kembali jatuh, terduduk di tanah dan menangis sebab tidak bisa membawa kekasih yang selama ini ia cari pulang.

"Kenapa aku bisa tapi oppa tidak? Oppa... Ini sama sekali tidak lucu, jangan bercanda seperti ini, ayo pulang... Kumohon, ayo pulang... Aku- kalau oppa marah karena bayi kita, aku tidak berencana mengugurkannya... Sungguh, jangan marah lagi. Aku tidak sengaja melakukannya, aku kehilangannya, aku tidak sengaja kehilangannya. Aku tidak- oppa maafkan aku... Hm? Maafkan aku, ayo pulang, jangan melakukan ini padaku, ayo pulang," bujuk Lisa, merengek bahkan berlutut dan memohon agar pria yang berdiri di hadapannya itu sedikit melunak padanya.

Jiyong ingin pergi, Jiyong ingin pulang, Jiyong ingin meninggalkan desa itu. Tapi sebesar apapun keinginan Jiyong, sebesar apapun usahanya, ia tetap tidak bisa meninggalkan desa itu. Pergi dari sana, bukan sesuatu yang bisa Jiyong usahakan. Ia bahkan tidak tahu siapa yang berkuasa, ia tidak tahu siapa yang bisa membantunya untuk keluar, ia tidak tahu kepada siapa ia harus memohon agar diizinkan keluar dari desa itu. Satu-satunya yang Jiyong tahu, ia baru bisa meninggalkan desa itu setelah tubuhnya di temukan. Itu pun bukan berarti ia bisa kembali hidup seperti Lisa dan hidup bersamanya. Entah surga atau neraka, Jiyong baru bisa benar-benar meninggalkan dunia itu begitu tubuhnya ditemukan.

"Maafkan aku," ucap Jiyong setelahnya, berulang-ulang sebab ia tidak akan bisa mengabulkan permintaan Lisa sekeras apapun ia berusaha. "Maafkan aku, Lisa, maafkan aku," mohon pria itu walau ia tidak berharap kekasihnya itu akan memahami situasinya.

***

A Place I Can't FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang