***
Jiyong mulai bekerja setelah Lisa sudah benar-benar terlelap. Gadis itu berbaring dengan cantik di ranjang, terlelap dengan begitu tenang hingga Jiyong tidak bisa menahan dirinya. Ia cium wajah kekasihnya beberapa kali sebelum kemudian meninggalkannya ke luar kamar. Jiyong merasa begitu beruntung memiliki Lisa di sisinya. Gadis itu membuatnya merasa diinginkan, gadis pencemburu yang untungnya hampir tidak pernah membuat keadaan buruk terlalu berlarut-larut. Selain pertengkaran perkara bayi waktu itu, rasanya mereka tidak pernah sungguh-sungguh bertengkar sampai hampir putus.
Baik Lisa maupun Jiyong, tidak ada yang pernah memakai putus sebagai ancaman. Sebab keduanya tahu, mereka akan hancur jika salah satu dari mereka mengiyakan ancaman itu. Mereka sudah cukup dewasa tidak bermain dengan hal yang sangat berpotensi membuat mereka terluka.
Malam baru sampai di jam sebelas ketika Jiyong memutuskan untuk merapikan rumahnya. Di rumah itu hanya ada dua ruangan utama, ruang tengah sampai ke dapur dan semua isinya, lalu kamar tidurnya. Sebenarnya ada kamar lain di rumah Lisa yang asli, namun Jiyong tidak pernah masuk ke dalam kamar-kamar itu, jadi ia tidak punya ingatan apapun tentang ruangan lainnya. "Seandainya pintu ini bisa di buka," gumam Jiyong menatap sebuah pintu yang hanya pajangan di sana. Jangankan terbuka, bahkan kenop pintunya saja tidak bisa di sentuh– alias hanya gambar.
Lantas, karena ia tidak punya ruangan lain, ia padatkan ruang tengahnya. Ia geser beberapa sofanya, mejanya, kemudian membuat spot kecil di sudut ruang tengah dekat jendela dengan meja makan. Jiyong tidak punya banyak meja di rumahnya. Ia pakai meja makannya untuk meletakan peralatan bermusiknya. Sembari membongkar koper yang Lisa bawa, pria itu terkekeh. Sebab di sana ia menemukan sebuah microphone merahnya– tanpa pengatur frekuensinya. Benar-benar hanya microphone tanpa kotak penyimpanannya. Gadis itu pasti menemukan microphone ini di atas meja dan memasukannya begitu saja tanpa berfikir lebih dulu. Padahal biasanya Jiyong menyimpan microphone-microphonenya di dalam kotak masing-masing di lemari penyimpannya.
"Bertahun-tahun dia berkencan denganku tapi dia masih tidak tahu peralatan kerjaku," canda Jiyong sembari menikmati barang-barang yang Lisa bawakan untuknya. Gadis itu bahkan memasukan sebuah dompet Gucci berisi USB-USB demo lagu yang anak pelatihan berikan padanya. Demo lagu yang biasanya diberikan pada Jiyong untuk dinilai kualitasnya. "Dia pasti berfikir isinya lagu-laguku," gumam pria itu sembari mengingat-ingat milik siapa setiap USB itu. Rasanya menyenangkan mengingat-ingat kehidupannya sebelum datang ke desa orang yang hilang itu.
Setelah selesai merapikan rumah, di pukul tiga dini hari, Jiyong duduk di kursi meja makannya. Ia membiarkan tiga kursi lainnya di dapur, di sandarkan pada dinding agar tidak menghalangi jalan sebab ia belum punya tempat lain. Sementara satu kursinya ia bawa ke meja kerjanya yang baru– meja kerja ala-ala dari sedikit perabot yang ia punya. Kalau di awal kedatangannya ia membayangkan rumahnya sendiri, ia pasti punya banyak perabot sekarang. Terlalu banyak sampai ia sendiri kesulitan untuk menghafalnya.
Jiyong duduk di kursi, menatap mejanya yang penuh dengan beberapa music pad. Sepintas pria itu berfikir untuk membuat meja baru. Ia bisa meminjam peralatan Thomas untuk membuat meja, bahkan kalau beruntung, Thomas mungkin bersedia untuk membantunya. Dengan tangannya, ia raih gitar yang Lisa bawa. Itu salah satu gitar kesayangannya, sebuah gitar akustik yang ia beli di Praha, di kencan pertamanya dengan Lisa. Mereka pernah berada di situasi harus berkencan diam-diam, ke tempat yang jauh dari reporter.
Mengingat semua itu, Jiyong jadi merasa sesak. Ia tidak akan bisa melakukan semua itu kalau tubuhnya di temukan. Ia sungguh-sungguh akan pergi dari Lisa kalau tubuhnya di temukan. Dengan hati yang sesak, Jiyong lantas meletakkan gitarnya. Ia melangkah masuk ke kamar, lantas berbaring di sebelah Lisa dan memeluk gadis itu tanpa aba-aba. Setelah semua kebahagiaan kecil yang Lisa bawakan, kenangan lama mengikat leher Jiyong, membuat pria itu sesak kemudian membutuhkan Lisa sebagai obatnya.
Tanpa mengatakan apapun, pria itu memeluk Lisa, mendekap pinggang gadis itu kemudian membenamkan wajahnya di bahu Lisa. Ia dan sikap tiba-tibanya mengejutkan Lisa saat itu. Membuat Lisa merasa menjadi seorang ibu yang tiba-tiba didatangi anaknya yang baru saja bermimpi buruk. Sembari mengerang karena bingung dan kantuk, Lisa mengusap rambut Jiyong, bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada pria itu dengan mata yang masih setengah terpejam.
"Oppa? Apa yang terjadi? Ada apa?" tanya Lisa, membuat Jiyong menjawabnya dengan sebuah gelengan. Lisa kegelian karena gelengan kepala itu, pasalnya rambut Jiyong menggelitik dagunya saat ia menggeleng. Jadi, karena kegelian gadis itu bangun.
Lisa tidak benar-benar duduk, ia masih berbaring, menyamping kemudian menahan berat tubuhnya dengan satu tangannya. Jiyong masih memeluknya, namun kepalanya tetap jatuh di ranjang. Perlahan pria itu berbalik kemudian menatap Lisa dengan pandangan sedihnya. "Aku tidak ingin berpisah lagi denganmu," tutur pria itu. Sekali lagi, Jiyong mengeratkan pelukannya. Ia buat tubuh mereka menempel dengan wajahnya yang hampir sejajar di dada kekasihnya. Dagu pria itu menyentuh payudara Lisa yang masih tertutup jaket dan kaos olahraganya. Sedang Lisa harus sedikit mendongak sebab dagunya menyentuh kepala Jiyong.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, oppa... Jangan khawatir," bisik Lisa, sembari mengusap-usap punggung Jiyong yang memeluknya.
Jiyong bisa mempercayainya. Jiyong tahu Lisa tidak akan meninggalkannya. Tapi yang justru Jiyong takutkan justru karena ia yang akan meninggalkan Lisa– nanti kalau tubuhnya di temukan. Sembari bersedih dengan gelisah, Jiyong menimbang-nimbang, haruskah ia memberitahu Lisa tentang kenyataan itu? Ia tidak ingin menempatkan Lisa dalam rasa khawatir yang sama sepertinya. Ia ingin Lisa menemaninya tanpa melakukan apapun namun pria itu yakin Lisa tidak akan melakukannya. Lisa hanya akan melakukan apa yang menurutnya benar.
"Kenapa oppa tiba-tiba khawatir? Kalau aku berencana meninggalkanmu, untuk apa aku mencarimu? Jangan khawatir, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
"Tapi bagaimana kalau aku yang harus meninggalkanmu lagi?"
"Oppa mau mati ya? Kalau oppa meninggalkanku, aku akan mengikutimu. Akan ku ikuti oppa sampai oppa marah lalu mengusirku... Jangan khawatir," tuturnya– membuat Jiyong ingat kalau ia sudah lama mati. "Bagaimana bisa oppa mati kalau sekarang oppa masih memelukku? Oppa masih hidup, buktinya oppa bisa berbaring di sebelahku, memelukku. Buktinya, aku juga masih bisa menyentuhmu. Mungkin aku juga bisa menciummu, aku ingin mencobanya," ucap Lisa setelah Jiyong mengeluh kalau ia sudah mati. Diam-diam, Lisa masih belum menerima kenyataan kalau Jiyong sudah mati– seperti bagaimana Jiyong dan Thomas menerimanya.
Dengan sedikit menggeliat, Lisa melepaskan dirinya dari pelukan Jiyong. Gadis itu kemudian duduk di ranjang, tepat di sebelah tubuh Jiyong yang masih menyamping karena tadi memeluknya. Dengan berani, Lisa mendorong Jiyong, membuat pria itu berbaring di ranjang kemudian naik ke atas tubuh pria itu. Kelihatannya, Lisa memang duduk di atas perut Jiyong namun sebenarnya gadis itu masih menahan berat tubuhnya dengan lututnya sendiri. Jiyong mungkin akan muntah kalau Lisa langsung duduk di atas perutnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu kemudian. Secara naluriah, tangan Jiyong langsung memegangi paha Lisa begitu sang kekasih naik ke atas tubuhnya.
"Memastikan oppa masih hidup," santai Lisa. "Tapi sebelum kita mulai, aku ingin memastikan sesuatu. Bagaimana cara wanita itu memuaskanmu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku menemukan pakaian dalam wanita di kamar mandi. Aku yakin itu bukan milikku karena aku tidak pernah memakai yang seperti itu. Oppa pernah bilang kau tidak menyukai g-string yang terlalu seksi, terlalu kecil dan hampir tidak menutupi apapun, seleramu yang berubah? Atau seseorang ingin aku salah paham?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Place I Can't Find
FanfictionK-Drama "Missing: The Other Side" fanfic version. Kemana kamu pergi? Kenapa tidak ada kabar apapun darimu? Dengan hati yang sesak, aku mencoba meneleponmu. Tak lagi terhitung, berapa banyak yang ku tulis kemarin. Walau tulisanku terlihat jelek, ak...