***
Beberapa hari setelah G Dragon menghilang.
Jiyong menatap ke sekeliling Hawaii Cafe, memperhatikan arsitekturnya yang begitu klasik. Pria itu duduk di depan meja bar, dengan Seokcheon di sebelahnya juga Thomas di depannya– di balik meja bar. Thomas si pemilik cafe menyajikan segelas teh hangat untuk menenangkan Jiyong, tapi pria itu tetap terlihat gugup. Jiyong sangat tidak nyaman berada di sana.
"Jadi aku benar-benar sudah mati?" tanya pria itu dengan suara yang bergetar. "Kau juga, hyung? Kau juga? Semua orang yang ada disini sudah mati?" susul pria itu, menatap Seokcheon dan Thomas bergantian.
"Ya, dengan catatan tubuhnya belum ditemukan," jawab Seokcheon. "Ku harap Pak Jang dan Wook bisa menemukan- oh? Apa yang terjadi padaku? Mereka menemukan tubuhku?" susul pria plontos itu saat tubuhnya perlahan-lahan jadi transparan.
Jiyong terkejut melihatnya. Ia melompat dari kursinya, membuat kursi tinggi itu jatuh ke lantai karena gerakan tiba-tibanya, kemudian menjauhi Seokcheon– bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi para pria itu.
"Tidak apa-apa," ucap Seokcheon, menenangkan Jiyong yang terlihat begitu ketakutan. "Mereka sudah menemukan tubuhku. Tidak apa-apa, aku bisa pergi sekarang. Terimakasih, Thomas... Selamat ting-" tanpa sempat menyelesaikan salam perpisahannya, sang koki bintang itu menghilang bagai semburat cahaya warna warni yang kemudian bergabung bersama udara dan tidak lagi terlihat.
"Sudah lama Tuan Hong menunggu hari ini, sekarang ia bisa pergi dengan senyuman," ucap Thomas namun sama sekali tidak membantu Jiyong dengan rasa terkejutnya. Pria itu tetap ketakutan, tetap panik dan khawatir. "Sepertinya kau lelah, bagaimana kalau ku antar pulang saja?" tawar Thomas kemudian.
Begitu keluar dari Hawaii Cafe, Jiyong bertemu sebuah taman bunga yang rapi dan indah. Beberapa anak bermain di taman itu, tidak terlalu peduli dengan kehadiran Jiyong di sana. Beberapa wanita tengah duduk di bangku-bangku besi, tersenyum sembari memperhatikan anak-anak di taman. Ada banyak sekali orang di sana, tapi tidak banyak yang menyadari kehadiran Jiyong. Beberapa orang menyapa mereka, memberi semangat pada Jiyong yang kebingungan. "Aku tahu ini berat, tapi bertahanlah," ucap mereka yang menyapa setelah berbasa-basi.
"Semua orang di sini sedang menunggu tubuh mereka ditemukan?" tanya Jiyong, setelah mereka melewati taman dan masuk ke jalan setapak yang sepi. Pohon-pohon rindang tumbuh di kanan dan kiri jalannya, namun sinar matahari membuat jalan itu tidak seberapa gelap.
"Ya," jawab Thomas. "Mereka yang tubuhnya belum ditemukan berkumpul dan tinggal disini. Bukan seperti hantu yang bisa menghantui manusia, kami hidup, makan dan tidur di sini seperti manusia. Matahari akan terbit dan terbenam seperti biasanya, hanya saja kita tidak bisa meninggalkan desa ini. Manusia juga tidak bisa menemukan desa ini. Beberapa hari lalu ada dua manusia yang bisa melihat dan datang ke desa ini, tapi sekarang tidak ada lagi." Pria itu menjelaskan dengan tenang, melewati sederet rumah-rumah kayu yang terlihat sepi.
Ada sekitar lima rumah yang berjajar, saling menempel satu sama lainnya mirip seperti unit-unit vila kecil di tepi pantai. Ada jalan setapak yang mengarah ke tiap pintu utamanya, dengan petak-petak bunga penuh warna di sebelah jalannya. Di tiap rumah yang bermodel minimalis dengan ornamen kayu itu, ada dua kursi kayu dengan meja yang juga kayu di teras kecilnya. Semuanya terlihat kecil dan manis namun begitu Thomas berbicara, mengatakan kalau rumah paling ujung– di depan mereka– adalah rumah Jiyong, sebuah papan nama keluar dari tanah. Nama Kwon Jiyong terukir di papan nama itu dan pintu yang awalnya terlihat seperti kayu berubah menjadi pintu apartemen berwana hitam.
"Mari masuk," tawar Thomas, yang perlahan membuka pintunya kemudian mempersilahkan Jiyong untuk masuk ke dalam rumah itu. "Perlahan-lahan, rumah yang ada di ingatanmu akan muncul. Beristirahat lah dengan nyaman di rumahmu sendiri," tutur Thomas, bersamaan dengan beberapa perabot yang muncul bagai sihir.
Rumah kecil itu terasa begitu luas saat mereka masuk. Ruang kosong berukuran lima kali lima meter itu perlahan-lahan berubah menjadi apartemen mewah dengan tiga kamar tidur di dalamnya. Ruang tengah yang luas, dapur mewah dengan jendela-jendela berpemandangan kota muncul di hadapan mereka.
"Wah... Rumah seorang bintang memang lur biasa," komentar Thomas, menjelaskan rumah yang ada dalam kepala Jiyong.
"Ini rumah kekasihku," jawab Jiyong. Perlahan-lahan ia berjalan ke sofa, mengusap sofa itu dengan tangannya, begitu lembut seolah takut akan melukai sofa beludru berwarna abu itu. "Sudah lama sekali aku ingin datang kesini, tapi tidak pernah datang. Aku tidak menyangka akan datang kesini setelah mati."
Ada banyak hal yang Jiyong pikirkan. Kenyataan itu, tergambar jelas dalam raut wajahnya. Jadi, dengan tenang Thomas berpamitan, meninggalkan Jiyong sendirian di rumah dalam ingatannya itu. Begitu pintu tertutup, Jiyong tidak lagi bisa menahan tangisnya. Semuanya terasa seperti batu saja terjadi kemarin. Ia bersenang-senang dengan kekasihnya, lalu hanya dalam beberapa jam pertengkaran hebat itu terjadi. Suara ranjang rumah sakit yang ia tendang terdengar begitu jelas dalam ingatan Jiyong, seperti sebuah film sedih yang terus berputar dalam kepalanya.
Mereka belum berbaikan. Mereka belum berdamai. Bahkan setelah beberapa minggu bertengkar mereka belum kembali bicara. Tapi disaat Jiyong seharusnya melakukan semua itu– berbaikan, berdamai dan bicara dengan Lisa– ia justru terjebak dalam kematian. Ia tidak lagi bisa menemui kekasihnya, bahkan tidak bisa berharap agar kekasihnya datang ketempat itu juga. Kalau tahu semuanya akan secepat ini– kematiannya– Jiyong tidak akan mengatakan kata-kata jahatnya waktu itu. Ia akan tetap menemui Lisa apapun kesalahan wanita itu.
Jiyong tidak ingat berapa lama ia menangis di sofa itu sampai akhirnya pingsan karena terlalu depresi. Kini, saat ia membuka matanya, matahari masih bersinar sangat terang. Mungkin ia belum lama menangis dan pingsan, mungkin hanya satu atau dua jam. Namun kemungkinan-kemungkinan itu tidaklah penting lagi, sebab Jiyong harus keluar untuk membukakan pintu rumahnya bagi seseorang yang tengah mengetuk. Thomas yang datang, dengan sebuah keranjang piknik di tangannya.
"Kita memang tidak bisa mati dua kali, tapi kelaparan sama sekali tidak menyenangkan. Jadi aku mengantarkan ini untukmu," ucap Thomas, meletakan keranjang piknik itu di atas lantai, di dekat kaki Jiyong. "Beberapa orang penasaran tentangmu, mereka ingin berkenalan dengan super star yang kemarin datang, denganmu. Kalau kau sudah merasa lebih baik datanglah ke cafe, bicara atau minum-minum dengan seseorang mungkin akan membuatmu merasa lebih baik, aku punya minuman bagus di cafe," susul Thomas demi sebuah ucapan terimakasih. Jadi hari sudah berganti– pikir Jiyong.
"Bertahanlah, hal yang baik akan segera terjadi," ucap Thomas sebelum akhirnya ia berpamitan dan meninggalkan Jiyong sendirian– lagi.
Begitu Thomas pergi, Jiyong membungkuk, meraih keranjang piknik yang Thomas berikan kemudian menutup pintu rumahnya. Sepintas matanya menemukan seorang wanita yang tidak asing baginya. Namum pria itu tidak terlalu ambil pusing. Pening akibat depresinya saja sudah cukup membuatnya hampir gila. Ditemani suara pintu yang tertutup, Jiyong melangkah kembali ke ruang tengah. Ia tidak berani masuk ke dalam ruangan lain di rumah itu. Ia tidak berani masuk ke kamar Lisa, sebab ia tahu Lisa tidak ada di sana. Ia pun tidak berani masuk ke ruang lain, sebab tidak ada seorang pun di sana selain dirinya sendiri. Lisa yang ia rindukan tidak ada di sana. Gadis itu tidak boleh ada di sana. Meski Jiyong sangat merindukannya, Lisa tidak boleh mati dan menghilang seperti dirinya saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Place I Can't Find
FanfictionK-Drama "Missing: The Other Side" fanfic version. Kemana kamu pergi? Kenapa tidak ada kabar apapun darimu? Dengan hati yang sesak, aku mencoba meneleponmu. Tak lagi terhitung, berapa banyak yang ku tulis kemarin. Walau tulisanku terlihat jelek, ak...