24

888 127 14
                                    

***

Lisa duduk di bengkel kerja Thomas, di bagian belakang cafenya. Tempat itu hanya sebuah ruangan dengan dinding batu yang penuh perkakas, namun terlihat begitu nyaman untuk dipakai bekerja. Di dalam sana, Lisa duduk di atas sebuah kursi goyang, bersantai sembari menikmati segelas wine yang Yuri berikan padanya– wine buatan Yuri, yang sudah di simpan bertahun-tahun. Yuri bilang ia ingin memberikan wine itu untuk jamuan resepsi pernikahan Lisa minggu depan. Rasanya semua orang bekerja keras untuk pernikahan itu dan Lisa menyukainya. Rasanya seperti seluruh dunia tengah melimpahkan semua cinta padanya.

"Aku tidak pernah membayangkan akan menikah dengan gaun buatan Jiyong oppa," gumam gadis itu sembari memperhatikan Jiyong di meja jahitnya. Meja jahit buatan lama yang sudah tidak lagi diproduksi. Thomas bilang mesin jahit itu sudah ada sejak tujuh puluh tahun lalu. Thomas pernah memakainya untuk membuat balon udara– untuk Yuna. "Thomas, apa yang tidak bisa kau lakukan? Sepertinya kau bisa melakukan segalanya," komentar Lisa, setelah ia melihat semua perabot di cafe itu– yang katanya buatan Thomas. Bersama Jiyong, Thomas tengah menggunting kain untuk dijadikan tuksedo siang ini. Dua pria itu sibuk bekerja sementara Lisa hanya duduk dan menonton.

"Menggambar," jawab Thomas. "Mereka bilang aku tidak bisa menggambar, padahal menurutku gambarku tidak terlalu buruk," cerita Thomas, yang tanpa sadar justru membuat Jiyong kesal.

"Bisakah kalian berdua diam? Aku tidak bisa berkonsentrasi kalau kalian terus bicara," keluh Jiyong, sembari memasang beberapa renda di gaun yang akan ia berikan pada Lisa. Pria itu berjanji akan menyelesaikan gaunnya besok, tapi sampai hari ini– setelah ia sibuk di bengkel selama satu minggu penuh– gaunnya belum juga selesai. Jiyong terlalu detail sampai ia tidak ingat kalau waktunya terbatas.

"Santai saja oppa," balas Lisa. "Aku tidak mengharapkan sebuah gaun yang luar biasa... Jangan terlalu memaksakan dirimu, buat saja yang sederhana, kau bahkan bukan penjahit," komentarnya, sedikit kasihan karena Jiyong sudah beberapa kali tertusuk jarum, terjepit mesin jahit sampai tersayat gunting kain karena gaun itu.

Namun berapa kali pun Lisa menyuruhnya untuk tidak memaksakan Jiyong, jiwa perfeksionis pria itu tidak bisa tinggal diam. Jiyong ingin semuanya sempurna, bahkan walaupun ia harus memaksakan dirinya. Toh ia tidak akan mati dua kali, ia tidak akan mati karena kelelahan.

"Ya! Pergi saja kalau kau hanya berkomentar di sini," usir Jiyong, melampiaskan rasa kesalnya pada Lisa. Thomas mengomeli Jiyong, sebab menurutnya Lisa tidak melakukan apapun selain duduk dan menikmati gerakan kursi goyangnya. Namun sebelum Jiyong membalas omelan Thomas, Lisa sudah lebih bicara.

"Tidak apa-apa Thomas, dia memang memintaku duduk di sini untuk diomeli. Yang seperti ini sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Dia selalu butuh orang untuk di marahi saat bekerja. Duduk dan dimarahi adalah caraku membantunya, iya kan oppa?" cicit Lisa, masih santai di kursinya. Jiyong mengabaikannya, dan Lisa hanya menunjukkan senyum puasnya pada Thomas. Menyindir Jiyong selalu jadi cara terbaik untuk menghentikan omelan pria itu. "Oh? Kenapa langit di luar?" tanya Lisa, sebab langit di luar tiba-tiba saja menggelap, dengan beberapa semburat warna aurora.

"Ada yang datang," jawab Thomas, yang kemudian menyuruh Jiyong melanjutkan pekerjaannya sementara ia berjalan keluar untuk melihat siapa yang datang.

"Oppa, boleh aku keluar? Aku ingin melihat juga," ucap Lisa, sebab selama ini ia tidak pernah melihat aurora juga arwah baru yang datang.

"Bukankah aku sudah menyuruhmu keluar sejak tadi?" tanya Jiyong dan Lisa terkekeh karenanya. Gadis itu meletakan minumannya di atas meja, mengecup Jiyong di pipinya kemudian melarikan diri untuk melihat siapa yang datang.

Saat Lisa keluar dari bengkel yang masih ada di bangunan yang sama dengan cafe, gadis itu melihat Thomas dan seorang gadis keluar dari ruangan yang sama. "Oppa, fansmu yang datang," ucap Lisa, sedikit tiba-tiba. Gadis itu kembali masuk ke dalam bengkel saat melihat seseorang yang datang bersama Thomas. Lisa hanya mengintip dari pintu sebab ia ragu– harus muncul di sana atau tidak.

"Apa katamu? Sejak kapan kau hafal siapa fansku?" balas Jiyong, masih tidak tertarik dengan ucapan Lisa. Ia sudah melihat banyak fansnya di sana. Orang-orang yang datang, mengaku menyukainya, menangis karena melihat Jiyong di sana, lalu pergi lebih dulu sebab tubuh mereka sudah lebih dulu di temukan.

"Fans yang ini hafal," ucap Lisa, mengatakan kalau gadis yang baru saja datang adalah anak sekolah yang membantunya menyebarkan selebaran. Anak sekolah yang menyukai Jiyong dan bersedia membantu mencari pria itu meski ibunya mengomel. "Ibunya pernah memarahiku karena ia pikir aku memaksa anaknya," cerita Lisa, hampir bersamaan dengan datangnya Thomas ke bengkel kerja itu. Pria itu datang, meminta Lisa atau Jiyong membuatkan teh chamomile untuk warga baru di desa mereka. 

Tidak lama berselang, Lisa menghampiri Thomas dengan anak berseragam itu. Ia bawakan dua cangkir teh chamomile dan sepiring biskuit. Lisa dan kedatangannya membuat si arwah yang baru saja tiba di desa itu terkejut, sangat terkejut hingga ia berdiri dan tidak sengaja menjatuhkan kursi di belakangnya.

"Eonni... Apa kau juga-"

"Uhm... Ya," potong Lisa, agar ia tidak perlu memberikan penjelasan apapun.

"Bagaimana bisa kau ada di sini? Eonni bunuh diri juga?" gugup gadis itu, membuat Lisa langsung menaikan alisnya, menatap tidak percaya pada anak yang dilihatnya itu.

"Apa maksudmu bunuh diri?" tanya Lisa, tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan padanya.

Nama anak itu Yeri, entah apa nama belakangnya, Lisa tidak tahu. Ia bunuh diri beberapa jam lalu, itu yang Thomas katakan. Sementara dari Yeri, Lisa tahu kalau ada banyak hal yang membuat Yeri ingin melarikan diri. "Ayah dan ibuku bertengkar. Entah karena apa. Tapi mereka tidak ingin bercerai karenaku. Mereka bilang itu demi aku, karena mereka tidak ingin aku jadi anak broken home. Tapi... Untuk apa semua itu kalau mereka tetap bertengkar di rumah?  Kalau memang mereka tidak ingin bercerai demi aku, harusnya mereka tidak bertengkar di depanku. Harusnya mereka tidak membuatku mendengar semua pertengkaran mereka. Aku tidak tahu, mereka tidak bercerai karenaku, atau karena ego mereka sendiri. Mereka bilang, mereka tidak bisa bercerai karenaku, demi aku, sekarang aku sudah mati, jadi mereka bisa bercerai bukan? Berpisah, berhenti bertengkar dan berbahagia. Karena aku sudah tidak ada, karena aku sudah tidak lagi menghalangi kebahagiaan mereka," cerita Yeri, membuat Lisa harus menahan diri untuk tidak memarahi Yeri. Apapun alasannya, bunuh diri tetap bukan hal yang Lisa setujui.

"Kau tahu kan kalau itu salah? Bunuh diri tidak akan memberimu apapun, iya kan?" tanya Lisa kemudian. "Asal kau tahu, bisa hidup saja itu hadiah yang sangat mahal untukku. Aku hampir gila karena membutuhkan kehidupan itu tapi tidak bisa mendapatkannya." Karena gadis itu, Lisa mengingat kembali bagaimana rasa sakitnya sebab Jiyong tidak bisa kembali hidup bersamanya.

"Tapi bagaimana eonni bisa ada disini?" tanya gadis itu kemudian, menghancurkan ingatan Lisa akan rasa sakitnya sendiri. "Eonni sudah menemukan Jiyong oppa?" susulnya dan kali ini Lisa mengangguk.

Lantas, seperti sebuah adegan dalam film, langkah kaki Jiyong terdengar di saat yang tepat. Pria itu melangkah mendekati meja tempat Lisa duduk kemudian berucap– "Lisa, kemari lah, aku perlu mengukur-"

"Kita sudah mencarinya sekian lama, tapi ternyata dia ada di sini," potong Lisa, menjelaskan kehadiran Jiyong yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan gadis bunuh diri yang datang itu. Bahkan walaupun Lisa bilang gadis itu fansnya, Jiyong tidak bisa merasa senang. Di saat seperti ini– di saat ia benar-benar sedih karena entah kapan ia harus meninggalkan Lisa– pria itu tidak punya tenaga untuk memuaskan fansnya, apalagi orang yang hanya mengaku sebagai fansnya.

"Bagaimana bisa-"

"Kalau kau bisa tiba di sini, kenapa aku tidak bisa?" potong Jiyong, ia sengaja menghentikan langkahnya di depan meja bar, berdiri di sana sembari menatap kekasihnya yang tengah memijat jemarinya sendiri– menahan kesal. "Aku tidak bisa menilai keputusanmu. Tapi apa kau tahu, kalau sekarang kau membuat seseorang sangat marah? Ada orang yang sangat menginginkan kehidupan. Dia sangat menginginkannya, tapi kau membuang milikmu, bisa kau bayangkan bertapa irinya dia? Jadi mengertilah kalau dia marah padamu."

"Eonni... Marah?"

"Aku yang marah. Aku yang iri," ucap Jiyong sebelum Lisa sempat menjawab pertanyaan itu. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, kau pun tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hanya tidak ingin mendengar keluhanmu, jadi... Bagaimana kalau kita perlu tidak membiarkannya lagi? Toh, kau juga tidak bisa menarik lagi keputusanmu. Kau- aku- kita semua tidak bisa kembali hidup."

***

A Place I Can't FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang