D.5

13.8K 2.4K 222
                                    

Sorry for typo(s)




Haechan & Jaemin: 13 tahun




Gedung sekolah yang dilihatnya tampak berbeda dari pertama ia masuk. Kedua alisnya bertaut sembari melihat ruang kelas. Bukankah kemarin warna catnya cream, mengapa sekarang yang dilihat adalah putih?



Sejenak, ia berhenti kemudian menunduk. Maniknya membulat ketika melihat sepatu yang dipakai ternyata beda. Namun, langkahnya tak berhenti sampai ia menemukan ruang kelas tempat sang adik belajar. 


Ketika sampai, ia memasuki dan menemukan wajah-wajah baru di dalam sana.


"Nana?"


Haechan mengerutkan dahinya ketika tak ada suara yang keluar dari bibir itu, si sulung Choi juga baru menyadari bahwa seragam sekolah yang dipakai selama dua tahun terakhir berubah. Sangat lusuh dan tidak modern.



Beberapa saat ia menyadari sesuatu, Haechan berlari menuju ke kaca kelas. Manik anak itu membulat ketika melihat bahwa bukan wajahnya yang ada di sana.



Tubuhnya seakan terdorong ke depan dan berpindah pada tepi tangga sekolah, Haechan terkejut melihat ada tubuh yang tergeletak di bawah sana. Beberapa anak dan guru datang dengan berteriak.



"Haechan?"



Suara tersebut membuat ia menoleh ke belakang dan dalam sekejap yang dilihat oleh Haechan adalah ruangan putih. Jemarinya refleks bergerak dan merasakan ada yang mengisi ruang kosong di sana. Senyumnya terukir melihat sang adik setia menunggu.


Tangan Jaemin terulur menyentuh dahi yang sudah penuh keringat, "Demamnya sudah turun," bibir si bungsu mengerucut menatap Haechan, "Sudah kubilang kan kalau sakit tidak usah sekolah! Jadi pingsan seperti tadi!"



Dilihatnya ruang kesehatan sekolah, hanya ada dirinya dengan Jaemin di dalam. Manik Haechan melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Padahal seingatnya, tadi masih berada di pelajaran ke dua. Lama sekali waktunya tak sadarkan diri.



Kejadian sebelum pingsan, Haechan tak mengingatnya sama sekali. Tiba-tiba mimpi itu muncul, akan tetapi sudut maniknya menangkap satu sosok anak laki-laki yang memakai seragam sekolah lusuh serta wajahnya penuh darah. Sama persis dengan anak yang dimimpikannya tadi.



"Mau minum?" tawar sang adik.



Anggukan lemah menjadi jawaban si sulung Choi lalu ia berjalan menuju pada salah satu meja. Tangan si bungsu terulur mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Tak menoleh barang sedikitpun pada sosok yang tak terlihat di sampingnya. Namun, Haechan menyadari gerak-gerik Jaemin. Tarikan napas yang diambil mengisyaratkan perasaannya yang gelisah.


"Pasti ada ya?" tubuh si bungsu Choi berbalik, mengamati ruangan dengan sorot mata yang penasaran, "Sedih, leherku rasanya sakit," gumamnya.




"Kemari," ajak Haechan yang langsung diturutinya.



Kemampuan Jaemin ditutup setelah apa yang menimpanya di taman kanak-kanak dulu, sang ayah yang bersikeras menginginkan hal tersebut. Namun, Kakek pernah mengatakan bahwa hadiah yang diberikan Tuhan sejak lahir tidak akan bisa dihilangkan begitu saja. Setelah memasuki usia remaja ini, kepekaan sang adik mulai terasa kembali meskipun hanya perasaan saja.



Setelah meneguk air putih itu, Haechan menggenggam tangan adiknya. Mereka duduk saling berhadapan, raut wajah Jaemin tampak berbeda. Emosi sosok tersebut berhasil memasukinya.


Dovana✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang