Sorry for typo(s)
Bukan suatu kewajiban untuk membuat setiap orang menyukai maupun memihak pada kita. Waktumu akan terbuang sia-sia hanya untuk berharap pada milyaran manusia yang tentu saja memiliki berbagai sifat atau karakter. Namun, ketika hidup dengan hati yang perasa dan tidak bisa mengabaikan adalah sesuatu yang sulit.
Haechan tidak pernah menyalahkan adiknya untuk hal itu, akan tetapi ia merasa pada kasihan pada orang-orang yang merendahkan. Mereka tidak menyadari telah menghina diri sendiri — ciptaan Sang Kuasa. Setelah mendengar cerita dari mulut Jaemin sendiri, si sulung Choi mulai paham bahwa sebaik apapun orang itu, selembut hatinya mereka, tidak ada yang bisa menerima suatu hinaan.
"Dua jus buah persik telah siap dibawa pulang," ucap seorang penjual sembari memberikan dua cup pada Haechan dengan senyuman.
"Terima kasih, Paman!"
"Hati-hati, Nak!"
Langkah si sulung berjalan menuju sang adik yang duduk di salah satu meja dan bangku kosong. Kelas mereka berakhir pada jam yang sama. Si kembar Choi memilih untuk menghabiskan waktu bersama dan kedai jus yang tak jauh dari area kampus menjadi pilihan mereka.
Gurat kesedihan di wajah Jaemin masih terlihat. Pemandangan tersebut membuat si sulung tidak disukainya. Jemari Haechan terulur menyentuh dagu sang adik, "Usia tidak membuat kita harus menyelesaikan masalah sendiri. Kalau memang ingin bercerita, lakukan saja," Haechan memecah keheningan di antara mereka.
Bibir si bungsu mengerucut, kepalanya masih tertunduk karena seakan telah mendapat teguran dari kakak kembarnya.
"Tugasmu banyak, aku tidak mau membebanimu, Chan," sahutnya lembut.
Manik Haechan bergulir menatap sosok yang berdiri di dalam kedai, sudut bibir si sulung terangkat ketika menyadari satu hal yang selama ini hampir dilupakannya. Dari kecil memang Jaemin selalu memendam, hanya satu sosok yang akan menjadi tempat curahannya tanpa ada rasa sungkan.
"Tapi pasti Minhyung tahu, ya?"
Pertanyaan tersebut membuat tubuh Jaemin tersentak, maniknya membola. Jika tadi yang ditunjukkan adalah ekspresi kesedihan kini rasa bersalah menutupinya. Si bungsu beranjak dari kursi dan berpindah di samping Haechan disertai rengekannya.
"Echaaan, maaf!" tuturnya sedih sembari menggenggam jemari kakaknya.
Senyum tipis terukir di bibir Haechan, sempatnya masih melirik pada sosok Minhyung yang sudah menghilang dari dalam kedai dan kembali menatap adiknya, "Aku tahu dia bisa berada di sampingmu setiap saat. Pernah sepintas aku memikirkan, bagaimana aku dan Minhyung bertukar tempat?" gumamnya lirih yang membuat sang adik semakin menampilkan mimik kesedihan.
Genggaman tangan Jaemin semakin erat bagi Haechan di sana seraya menggelengkan kepala berkali-kali.
"Maaf, Haechan. Aku minta maaf! Aku janji tidak akan seperti itu lagi! Nanti setiap jam ya, aku akan mengirimimu pesan laporan keadaanku. Sungguh!"
Kali ini, Haechan yang membalikkan keadaan dengan menggenggam tangan adiknya. Wajah mereka begitu dekat, si sulung berusaha menyunggingkan senyumannya.
"Jika kau selalu berasumsi bahwa aku akan merasa terbebani karena keluh kesahmu. Aku juga akan berbalik mengasumsi bahwa kau tidak menyayangiku. Kita sudah hidup bersama selama belasan tahun. Kenapa kita masih salah paham seperti ini? Karena kita tidak bisa berkomunikasi dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dovana✓
FanfictionKisah si kembar, Haechan dan Jaemin yang terhubung dengan dunia lain. ©piyelur, Oktober 2020