D.23

8.2K 1.6K 227
                                    


Sorry for typo(s)



Kelas pagi yang dilaksanakan pukul sembilan membuat Haechan sudah meninggalkan adiknya yang masih terlelap. Kedua tangannya merapikan surai cokelat yang masih berantakan karena tadi terburu-buru, ia juga percaya diri membawa bekal makanan serta botol minuman di tangan dari sang ibu. Belum lagi harus berjalan menuju gedung kampus 2 yang lumayan jauh.



Langkahnya berhenti ketika mendengar suara rusuh dari mahasiswa yang sudah menunggu di luar kelas. Ada alasan mereka berada di sana, karena kebetulan sebuah tragedi memang telah terjadi pada ruang kelas tersebut. Bukan kasus menakutkan seperti bunuh diri atau pembunuhan, melainkan pada kelas berlangsung ada seorang mahasiswa yang meninggal di tempat. Laporan yang diberikan pada kampus ialah mendiang sudah dalam keadaan sakit saat masuk.



Hanya saja, orang-orang sudah memodifikasi cerita tersebut supaya lebih menyeramkan. Si sulung Choi sendiri belum melihat sosok tersebut.



"Chan!"



Sebuah tangan melambai pada dirinya, Haechan berjalan mendekati teman satu jurusan tersebut yang langsung merangkul pada bahunya.



"Mandi, kan?"



"Tentu saja, Yangyang!" sentaknya yang kemudian berjalan memasuki kelas.



Akan tetapi, lengan Haechan ditahan oleh pemuda yang lebih pendek darinya dengan tatapan horor, "Eh, nanti saja menunggu dosen datang sekalian!" ujarnya lebih menuntut, Yangyang mencondongkan tubuh kemudian berbisik, "Kau tahu kan kisahnya ruangan ini?"



Bola mata Haechan berotasi, maniknya mengamati deretan teman satu kelas yang benar-benar menunggu di lorong kampus seperti ini layaknya anak TK yang akan berbaris.



"Aku ingin makan, tidak ada apa-apa juga di dalam. Selama ini juga sering dijadikan ruang rapat, kan?"



Tanpa menunggu temannya itu bersuara, Haechan membuka ruangan tersebut. Memang jika dilihat orang awam, terlihat bersih dan tidak menakutkan. Namun, yang ada di hadapannya saat ini ruangan tersebut tidaklah kosong.



Haechan mengalihkan pandangan, bergegas untuk duduk pada meja barisan pertama nomor tiga sedangkan Yangyang seakan mengendap-endap takut memasuki ruangan. Indera si sulung Choi menangkap suara jemari yang mengetuk permukaan meja dengan tempo lambat.



"Kenapa hawanya berbeda sekali, ya?" celetuk Yangyang yang sudah duduk di samping Haechan, tangannya terulur menyendok nasi dari bekal temannya.



Sudut mata Haechan menangkap seorang pemuda pucat yang sedang menunduk pada bangku di ujung dekat dengan pintu masuk. Salah satu tangannya tampak memegang perut sembari merintih kesakitan. Dan samar-samar, si sulung Choi mendengar sebuah kalimat dari sosok yang tidak terlihat tersebut.




'Aku harus lulus, aku harus lulus, aku harus lulus.'



Lagi lagi sebuah penyesalan sekaligus belum menerima tentang kematian. Haechan bisa merasakan depresi yang dialami oleh pemuda tersebut. Belajar tanpa henti karena mengejar beasiswa justru membuat kesehatannya menurun.



"Kenapa orang meninggal harus gentayangan, ya?"



"Yangyang," tegur Haechan dengan tatapannya, "Tidak usah dibahas."



Bibir pemuda bermarga Liu itu terkatup, ia fokus kembali pada makanan yang dibawa oleh Haechan. Padahal sudah jelas dibentak karena porsi yang dibawa sedikit. Namun, percuma saja kalau Yangyang memang tidak bisa dicegah jika sudah menyangkut makanan.




Dovana✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang