D.9

11.5K 1.9K 182
                                    

Sorry for typo(s)





Kaki telanjang Jaemin menapak pada sebuah lantai dingin yang asing, perlahan kepalanya mendongak kemudian mengamati keadaan rumah yang tampak asing dalam pandangan. Dari cat rumah, tatanan sofa bahkan letak tangga juga berbeda. Furniture yang ada di sana pun terlihat jadul, kening si bungsu Choi berkerut.



Pemuda manis itu sadar bahwa dia sedang berada di dimensi lain. Ini pertama kalinya terjadi dalam hidup Jaemin, ia merasa takut. Tidak ada Haechan yang akan menemani.



Indera pendengarnya menangkap sebuah suara seperti pintu terbuka, refleks saja anak itu berlari kemudian bersembunyi dibalik dinding yang bersebelahan dengan tangga rumah tersebut. Manik Jaemin membulat ketika melihat sosok laki-laki yang tak asing. Seragam sekolah yang dipakai juga sama.



"Hyung..." gumamnya.



Dengan langkah yang tak menimbulkan suara, Jaemin mengikuti Minhyung dari belakang yang sedang membawa sebuah nampan. Mereka menaiki tangga dan si bungsu melihat sebuah pintu yang telah terbuka. Manik anak itu menyipit menyadari ada sebuah kursi roda yang menghadap ke arah jendela. Sosok anak laki-laki lainnya duduk tak berdaya di sana.



"Lihat, Hyung membawa apa?" Minhyung mengerucutkan bibirnya saat mendengar respon, "Aku memang tidak bisa memasak, tapi untuk membuat roti untukmu juga bisa ya!"



Terdengar tawa kecil di sana, Jaemin mengerutkan kening ketika merasa tak asing dengan suara tersebut.




"Aku potong rotinya, minum susunya dulu," pemuda yang lebih tua itu memerintah dengan lembut.



Sebuah tangan kurus mengangkat gelas yang berisikan susu, pemandangan di sana membuat hati Jaemin menghangat. Mungkin, Minhyung memang begitu baik dan ramah padanya dari kecil. Namun, ketika melihat sosoknya dari semasa hidup rasanya begitu berbeda.



Senyum yang ditorehkan pun sangat berbeda, suaranya yang lembut dan sikap yang gentleman mengurus adiknya di sana.



"Hyung pulang lebih sore nanti, sebentar lagi ujian. Doakan Hyung, ya?"



Kedua tangan Jaemin terangkat menyentuh telinganya, mengapa ia tidak bisa mendengar adik dari Minhyung itu bersuara. Kakinya pun tak bisa berjalan untuk lebih mendekat.



"Eh, sebentar lagi ulang tahunmu, ya? Apa yang kau inginkan?"


Jika hening seperti ini, Jaemin bisa menebak bahwa adik dari Minhyung itu sedang berbicara. Manik si bungsu selalu memperhatikan ekspresi wajah pemuda yang lebih tua itu. Kepalanya mulai menunduk dengan jemari yang menggenggam tangan sang adik.



"Mengapa kau seperti ini? Mengapa kau memiliki hati yang baik? Hewan saja masih melindungi anak-anaknya dari musuh, mengapa manusia yang diberikan hati dan akal pikiran justru menelantarkan?" monolog Minhyung seraya menempelkan jemari adiknya di pipi, "Aku selalu merasa bersalah, kenapa kau lahir di keluarga yang sudah hancur ini? Tapi di sisi lain, aku akan merasakan sakit yang luar biasa karena tidak memiliki adik sepertimu. Mengapa bersyukur harus semenyakitkan ini?"


Manik Jaemin mengerjap untuk mengusir rasa panas yang tiba-tiba datang, bukan saatnya untuk menangis.



Atensinya kembali pada Minhyung yang sedang menyunggingkan senyum lebar. Dari gerakan yang dilihat, pemuda itu sedang memegang wajah sang adik.



"Aku tidak akan pernah lelah menjadi kakimu. Hyung akan bekerja keras, kita akan keluar dari rumah ini. Kita tidak membutuhkan orang tua, oke?"



Dovana✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang