D.18

9K 1.6K 99
                                    


Sorry for typo(s)




Terkadang menjadi baik tidak menjamin untuk dibalas dengan tindakan yang sama, atau mungkin sudah menjadi pelajaran dalam hidup bahwa tidak semua makhluk akan memiliki pemikiran yang seperti itu. Sulit, terasa tidak adil. Akan tetapi, beginilah roda kehidupan yang terus berputar. Jangan sampai kehilangan jati diri karena perbuatan seseorang.


Satu hari kemarin, ponsel Jaemin selalu penuh dengan notifikasi dari sang kakak. Awalnya, Haechan ingin menceritakan kejadian di kampus pada Ayah dan Mama tetapi si bungsu memohon untuk tidak melakukannya. Bisa jadi, tidak akan masuk kuliah selama satu minggu.



"Iya, Echaaan! Aku tidak akan menoleh ketika mendengar suara aneh lagi," ada suara Haechan yang bertanya lagi, "Kelas siangku dibatalkan lagi, di mana aku menunggu?"



Kepala Jaemin mengangguk ketika mendapatkan jawaban, lantas sudah berpamitan si bungsu mengakhiri panggilan tersebut. Pandangannya harus fokus ke depan sembari memijat telapak tangan, kebiasaan yang diajarkan Renjun untuk menjaga kesadaran.



Langkahnya santai melewati gedung-gedung dengan airpods yang tersambung ke telinga. Kasus kemarin membuat Jaemin menjadi bahan omongan, entah perbuatan bunuh diri, cenayang aneh dan kata-kata buruk lainnya. Beruntung saja hanya sekitar fakultasnya sehingga Haechan tidak tahu dan jangan sampai juga ia mendengar.



"Permisi..."



Tubuh si bungsu berbalik ketika mendapat sentuhan tiba-tiba di bahunya, ia melepas tudung jaket yang dipakai dengan tatapan terkejut.  Sosok laki-laki di depannya menyunggingkan senyum, dilihat dari penampilannya Jaemin yakin bahwa dia bukan mahasiswa. Garis wajah yang dewasa juga tampak asing menjadi dosen di sini.


"Anda mahasiswa fakultas arsitektur? "



"Maaf, bukan," sahutnya lembut.



Raut wajah laki-laki itu tampak kecewa, ia menghela napas panjang sembari memalingkan wajah. Tangannya terangkat menyilakan surai hitam ke belakang kemudian menunduk untuk melihat layar ponsel yang menyala.



Kedua alis Jaemin terangkat ketika tak sengaja melihat wallpaper ponsel laki-laki tersebut, "Jeno?"



Mereka saling menatap dengan terkejut, manik lelaki itu membulat dengan bibir senada. Tangannya terulur memegang kedua bahu Jaemin dan menuntut sebuah jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan, "Kau! Temannya Jeno, kan?"



Jaemin hanya menganggukkan kepala, lelaki itu tersenyum  tampak kesenangan. Sadar bahwa tingkahnya mungkin mengejutkan, laki-laki itu melepas pegangan pada bahu sembari berdeham lalu menegakkan tubuh dengan memasang wajah serius, "Maaf, namaku Doyoung kakaknya Jeno. Dia sudah bercerita tentang kau dan teman-temannya yang lain," jelasnya.



"Ahh! Kakaknya Jeno!" si bungsu tertawa kecil sembari mengulurkan tangan, "Namaku Choi Jaemin! Eh, Hyung sudah makan? Kita mengobrol di kantin saja, ayo?"



"Kebetulan, tadi dari bandara aku langsung ke sini. Boleh."



Keduanya berjalan menuju ke kantin fakultas tersebut, memilih di meja yang kosong. Jaemin memesan makanan serta minuman di sana untuk sosok yang lebih tua. Mereka mengobrol, tetapi lebih tepatnya lelaki yang lebih tua itu bercerita tentang bagaimana Jeno mengenalkan teman-teman padanya lewat pesan singkat dan email. Jarak Seoul ke Jepang memang cukup jauh, ia tidak berani untuk bertanya mengapa si bungsu Lee itu ditinggal sendiri di sini.



Dovana✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang