D.11

11.7K 2K 214
                                    

Sorry for typo(s)


Hidup berdampingan dengan makhluk tak kasat mata telah diterima dengan baik oleh Haechan dan Jaemin. Mereka bukan tipe yang penasaran atau membanggakan atas kemampuan tersebut, si kembar hanya menerima bahwa memang mungkin inilah takdir mereka. Sewaktu kecil, si sulung Choi masih belum memahami apa yang dilihatnya, mengapa mereka datang dan meminta tolong pada anak yang belum genap sepuluh tahun.


Berbicara tentang hal tersebut, Jaemin yang selama ini hanya merasakan energi kini dengan beraninya melakukan perjalanan astral sendiri. Ya, setelah dua hari tidak sadarkan diri justru si bungsu mengulangnya kembali. Namun, kali ini ia bisa bangun lebih tepat di pagi hari. Ah, tidak sendiri tadi maksudnya tanpa ada Haechan. Tentu saja, Minhyung berada di sana menemani.

"Ih, Hyung. Seram tempatnya!" lirih si bungsu yang berdiri di belakang tubuh tinggi Minhyung. Maniknya mengawasi bangunan rumah kayu yang tampak kotor dan penuh debu, "Rumahku dulu seperti ini, Hyung?"

"Iya, ini sudah lama sekali. Kau pernah mengatakan telah mendengar suara wanita di dekat kolam renang?"

"Huum! Echan juga, tapi katanya tidak usah."

"Dia memang sensitif, kemarin Lucas dibuat babak belur."

Kening anak itu berkerut, "Lucas Hyung tidak diajak ke sini? Ih, kalau galak kenapa aku diajak?!" keluhnya dengan kesal.

Wajah Minhyung berbalik sembari terkekeh, "Kan ada Hyung, selama ini kau ingin menjadi seperti Haechan dan Renjun, kan?"

Raut wajah si bungsu berubah, bibirnya mengerucut seraya menganggukkan kepala. Ingin sekali Jaemin membantu mereka yang terjebak dalam dunia atau hanya mendengar kisah pun tak apa. Namun, Haechan selalu melindunginya dengan menjauhkan mereka yang ingin mendekat. Minhyung juga tidak setuju.

"Tapi kenapa Hyung justru membawaku seperti ini? Kan sama saja bahayanya."

Pertanyaan tersebut membuat senyum Minhyung hilang seketika dari wajahnya, sorot mata pemuda itu membuat Jaemin tertegun. Maniknya hanya mengerjap sembari menunggu respon.

"Karena ada aku."

Hanya itu alasan yang diberikan, Jaemin tidak ingin membantah. Yang pertama, tentu saja mereka sudah berbeda alam maupun kekuatan. Si bungsu Choi juga tidak ingin mengusik perasaan Minhyung yang tenang ini. Pernah sekali ia melihatnya marah ketika dirinya sakit, hampir saja pemuda itu ingin mencelakai Haechan jika tidak dicegahnya.


Benar kata sahabatnya, Minhyung sangat berbahaya bagi mereka manusia meskipun memiliki kekuatan. Rasa benci dan dendam jika sudah menguasai siapapun, tak ada yang bisa meredakan selain dirinya sendiri.


Langkah mereka berhenti di sebuah ruangan yang cukup besar tetapi begitu gelap. Samar-samar, Jaemin mendengar sebuah isakan kemudian maniknya menangkap sosok yang duduk di tengah ruangan. Surai hitam serta baju dengan warna senada telah robek di bagian lengan.

Ketika mereka berhenti, tangisan itu juga.

Kedua tangan Jaemin mengepal untuk menahan rasa takut, apalagi ketika wanita itu menoleh dengan air mata yang membasahi pipi. Namun, anehnya bibir hantu itu tersenyum ketika bersitatap dengan si bungsu.

"Nana-ya."

Suara yang begitu berat itu menyambutnya, tubuh Jaemin membeku dengan bulu kuduknya berdiri. Maniknya bergulir menatap Minhyung yang hanya tersenyum kecil kemudian berkata, "Kalau tidak bisa membantu secara tindakan, jadi pendengar yang baik adalah pilihan lainnya."

Dovana✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang