06. Ketika Tidak Bersama

140 27 25
                                    

Pagiii, apa kabar kalian yang menunggu sebuah harapan?
___________

"Terkadang, sendiri itu hanya menimbulkan tangis."

'ChandraDira'
______________

Tak terasa, hampir dua minggu Chandra dan Dira bersekolah di SMA Alexandria. Setelah perbincangan Chandra dan Alvan di lapangan waktu itu, tidak ada perubahan di antara mereka. Chandra masih terus bersama Dira, bahkan Alvan juga ikut berangkat bareng dan mengantar Dira sampai di kelas. Meskipun Alvan merasa dirinya sebagai kambing congek ketika bersama Dira dan Chandra. Tentu saja itu semua tak luput dari pandangan orang-orang.

Bahkan, semakin banyak yang membicarakan Dira. Tentang Dira yang terlalu lebay dan harus dikawal Chandra serta Alvan. Namun tidak semua siswa-siswi menghujatnya, ada juga yang mendukung mereka.

Sampai-sampai ada yang mengira bahwa Chandra dan Dira berpacaran. Chandra hanya mengacuhkan semua itu. Alvan pun juga sama seperti Chandra, tidak pernah mau menggubris semua orang.

"Nggak seharusnya Chandra nyuruh Dira pakai headset," ujar Dira yang kini telinganya sudah terpasang headset.

Memang selama ini Chandra memasangkan headset di telinga gadis itu tiap pagi saat hendak ke kelas. Niatnya supaya Dira tidak mendengarkan hujatan-hujatan dari orang-orang yang membencinya. Ketika pulang, Chandra selalu mengajak pulang belakangan. Chandra sudah membicarakan semua ini dengan Alvan tentunya.

"Udah, nggak usah bantah!" celetuk Alvan yang kini berdiri di samping kanannya.

"Ayo ke kelas," lanjutnya.

Mereka bertiga berjalan bersisian. Tentu saja Dira di tengah, seperti ratu yang didampingi dua pengawal tampan serta idaman para gadis. Bagaimana tidak idaman? Dua cowok itu selalu memperlihatkan keperdulian dan kasih sayang mereka ke Dira secara terang-terangan. Serta bersifat acuh kepada gadis yang berusaha mendekati keduanya.

Baru beberapa langkah, mereka bertiga terpaksa berhenti karena panggilan seseorang. Alvan lebih dulu membalikkan badannya, melihat orang itu.

"TUNGGU WOE!" Terlihat seorang cowok yang baru saja datang. Siapa lagi jika bukan Dimas.

"Gue ikut, siapa tau nanti gue dapet cewek di kelas sepuluh," lanjutnya dengan cengengesan.

Mereka kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba Dimas teringat akan tugasnya beberapa hari yang lalu.

"Oh, iya. Gue baru inget, mumpung kalian ada di sini. Jadi, rencananya Osis mau ngadain bazar dan mau mengajak tim basket bekerja sama. Terus, senior yang waktu di aula itu, nyuruh gue ngajak lo buat ikutan mengurusi acara bazar ini." Alvan dan Chandra melirik sekilas.

"Nggak!" sahut mereka bersamaan. Ternyata yang mereka pikirkan kali ini sama. Jika nanti mereka fokus ke acara bazar, lantas siapa yang menjaga gadis itu?

"Ayo, lah. Bantuin gue ...." Belum sempet selesai berbicara, Chandra dan Dira sudah masuk ke kelas. Sedangkan Alvan sudah berbalik arah meninggalkan Dimas.

"Kenapa coba harus gue yang dapet tugas buat ngerayu tuh dua gembel," gumamnya.

Dimas memijit pelipisnya yang terasa pusing memikirkan agar Chandra dan Alvan mau ikut berpartisipasi di acaranya.

Di sisi lain, Chandra dan Dira tengah asik mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan hingga membuat senyum itu terbit dari wajah cantiknya. Apalagi lesung di pipinya menambah kesan manis membuat Chandra tidak tahan menahan senyum.

"Chandra ngeselin. Sini handphonenya!" Dira meraih ponsel milik Chandra dan segera menghapus foto hasil jepretan cowok itu.

"Orang tetep cantik juga."

Obrolan mereka harus terhenti ketika seorang gadis berambut sepinggang yang berdiri di dekat pintu memanggil nama Chandra. "Chandra, lo dipanggil sama Kak Risky. Di tunggu di aula."

"Oke."

Risky adalah ketua osis di SMA Alexandria. Firasatnya mengatakan bahwa ini ada hubungannya dengan omongan Dimas tadi.

Chandra melihat Dira. "Aku mau ke aula. Kamu ikut?" Jika nanti Chandra dimarahi hanya karena mengajak Dira, ia tidak perduli.

"Nggak. Dira di kelas aja. Sekarang waktunya Chandra sendiri, Dira nggakpapa kok." Dira menampilkan senyum manisnya yang bisa meluluhkan seorang Chandra. Cowok itu menghembuskan napasnya kasar.

"Oke. Kalo ada apa-apa, langsung telfon aku." Chandra beranjak dari duduknya. Sebelum pergi, cowok itu mengacak rambut Dira pelan.
Tak lama setelah Chandra keluar, bel masuk berbunyi. Membuat siswa-siswi berhamburan kembali ke tempat duduknya.

"Selamat pagi anak-anak. Ada yang tidak masuk?" ujar seorang wanita paruh bayu yang merupakan salah satu guru di SMA ini. Guru satu ini memang di kenal guru yang paling tertib. Buktinya, bel baru saja berbunyi dan guru itu sudah tiba di kelas.

"Pagi, Bu. Tidak ada," sahut seluruh murid kelas tersebut.

Wanita dengan nama Resa, atau kerap disapa Bu Resa itu melihat sekeliling kelas IPA 1. Hingga tatapannya jatuh pada gadis yang duduk sendirian. Setahunya, murid IPA 1 itu genap, tidak mungkin ada yang duduk sendirian.

"Dira, kemana Chandra?" tanya wanita itu.

"Lagi di aula, Bu. Katanya suruh nemuin Kak Risky," jawab Dira. Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya paham.

"Oke, kita mulai pelajaran pagi ini. Langsung saja buka buku kalian halaman 34." Bu Resa mendudukkan dirinya di kursi guru. Ia memang seperti itu, datang mengucapkan salam dan langsung menyuruh membuka buku yang tersedia.

Tiba-tiba Dira merasa kebelet pipis. Karena tidak mau menunggu Chandra kembali, Dira berinisiatif untuk ke toilet sendiri. Lagipula tidak ada salahnya jika gadis itu sendirian.

Dira mengacungkan jarinya. "Bu, izin ke toilet."

"Oke, jangan lama-lama."

Dira beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kelas. Dira melewati koridor yang menghubungkan ke toilet. Dira sebenarnya takut, namun gadis itu mencoba melawan rasa takutnya itu. Dira tidak boleh bergantung dengan Chandra. Apalagi jika keadaan seperti sekarang ini. Koridor terlihat sangat sepi karena memang jam pelajaran sudah mulai. Dira memasuki salah satu bilik toilet perempuan.

Namun saat keluar dari bilik, terlihat tiga gadis dengan pakaian yang cukup ketat serta olesan make up yang cukup tebal sedang berdiri di depan cermin yang berada di toilet tersebut. Dira melirik badge yang terdapat di lengan mereka. Ternyata mereka kelas dua belas, seniornya di SMA ini.
Pikiran tentang kakal kelas yang kejam, suka melabrak dan menindas adik kelas seperti di novel yang ia baca muncul di benaknya. Dira meyakinkan dirinya jika mereka tidak seperti itu.

"Eh, Nad. Itu kan cewek yang waktu itu," ujar salah satu dari mereka yang lebih dulu menyadari kehadiran Dira.

Gadis yang tadinya fokus memoles bibirnya itu pun mengalihkan tatapannya. "Oh, jadi lo yang buat sekolahan heboh?"

***

Halooo, gimana kabarnya?

Masih nungguin cerita ini? Jadi bagaimana dengan part ini?

Kasih krisar sekalian ya hehe. Lup lup buat kalian yang masih mau nunggu cerita ini.

Babayy.

25 Oktober, 20
naa_

3F • (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang