Selamat dan semangat pagi buat reader's dari ChandraDira
_________"Bahagiaku ketika melihatmu tersenyum. Meskipun sebabnya bukan aku.”
'ChandraDira'
______________"Hei," ujar seseorang mengagetkan seorang gadis yang sedang duduk sendirian di kursi yang berada di bawah pohon rindang.
"Ah, Chandra ngagetin Dira aja." Gadis yang sedari tadi melamun itu memang Dira.
"Mikirin apa, hmm? Ada yang gangguin kamu?" Chandra duduk di samping Dira dan mengusap puncak kepala gadis itu.
"Ah? Enggak kok. Pulang yuk!" Dira beranjak dari duduknya. Chandra yang melihat segera mengikutinya dan menuju ke parkiran.
***
"Chandra mau mampir?" Chandra melihat Dira yang sudah turun dari motornya.
"Sekarang enggak dulu, ya. Aku mau jemput Kak Safa." Safa adalah kakak satu-satunya yang Chandra punya.
"Yaudah, hati-hati." Chandra mengangguk sebagai jawaban. Ia melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Dira.
Dira memasuki rumahnya ketika Chandra sudah tidak terlihat dari pandangannya. Ia mencium pipi mamanya yang sedang duduk di ruang tamu.
“Assalamualaikum, Mama,” sapa Dira. Gadis itu duduk di samping wanita paruh baya yang kini mengelus rambutnya.
“Wa'alaikumsalam, kenapa nih? Kayaknya seneng banget,” ujar Karin kepada putrinya.
“Nggak pa-pa, Ma. Dira ke kamar dulu, ya.” Gadis itu beranjak dari duduknya. Menaiki tangga satu per satu.
Dira meletakkan tasnya di meja belajar yang berada di sudut ruangan. Ia memikirkan laki-laki yang tadi bertemu dengannya. Dira cukup penasaran dengan orang itu, tapi ia juga bingung kenapa tadi ia bisa seakrab itu dengan orang baru. Ketika sedang memikirkan orang itu, sebuah ketukan pintu membuatnya tersadar.
“Dek,” panggil orang yang ada di balik pintu bercat pink.
“Masuk aja, nggak Dira kunci,” sahut Dira sedikit berteriak.
Pintu terbuka, menampilkan sesosok lelaki dengan seragam basket melekat di badannya. Jangan lupakan keringat yang bercucuran di pelipisnya. Orang itu berjalan mendekati Dira dan duduk di samping gadis itu. Namun, secara refleks Dira bergeser duduknya.
“Kamu marah sama Abang?” tanya Alvan menatap adiknya intens.
“Enggak,” terang Dira melihat ke arah lain, membuat Alvan mengernyitkan alisnya.
“Terus kenapa?”
“Kenapa apanya?” tanya Dira balik. Ia merasa bingung dengan pertanyaan Alvan barusan.
“Kamu kenapa ngejauh dari Abang? Sekarang udah nggak mau bareng Abang lagi.”
“Perasaan Abang aja kali. Dira nggak marah kok. Lagian baru tadi pagi enggak bareng, itu pun Abang yang duluan,” jelas Dira tanpa memberitahukan sifat kakak kelasnya beberapa hari yang lalu. Lagi pula yang Dira katakan tadi memang benar.
“Terus itu tadi ngapain geser pas Abang duduk sini?” tanya Alvan.
“Ya karena Abang itu bau. Bang Alvan nggak sadar? Lihat noh bajunya, kayak habis mandi tau!” Dira menunjuk ke arah badan cowok itu dengan tatapan matanya. Sedangkan Alvan, kini menyengir tidak jelas.
“Ya udah, nih,” ujar cowok itu memberikan kantung plastik yang sedari tadi Alvan bawa tanpa Dira sadari.
“Tadi Abang mampir beli martabak. Jangan lupa dimakan. Abang mau mandi,” lanjutnya.
Dira dengan senang hati menerima kantung plastik itu. “Terima kasih, Abang.”
Sebelum Alvan keluar, cowok itu hendak mengacak rambut adiknya namun pergerakannya dihentikan Dira.
“Eitsss, mau ngapain? Jangan sentuh Dira, ya. Inget! Abang bau!” tolak Dira sembari menutup hidungnya.
“Iya-iya.” Cowok itu keluar dari kamar Dira meninggalkan gadis itu dengan martabat spesial.
Dira membuka bungkus yang menutupi martabak tersebut. Ia mengambil satu potongan yang paling kecil. Dira yang hendak menggigit martabat itu pun harus terhenti ketika benda pipih yang ada di sakunya bergetar.Dira melihat layar ponselnya yang menampilkan foto dirinya terpampang sebagai foto profil si penelepon. Tanpa pikir panjang, Dira menggeser tanda hijau dan menempelkan benda itu di telinganya.
“Iya, halo?” tanya Dira setelah berhasil menggigit martabaknya.
“Lagi ngapain?” tanya orang di seberang sana.
“Makan martabak.”
“Beli sama siapa?”
“Dibeli in Abang.” Dira cukup tahu dengan sifat Chandra. Cowok itu selalu melarang dirinya pergi sendiri. Padahal Dira sudah SMA.
“Mau ke pasar malam?” tawar orang itu yang tak lain adalah Chandra.
“Kapan?”
“Kalau mau nanti jam tujuh aku jemput.”
Tanpa sadar Dira menganggukkan kepalanya semangat. “Mau!”
Dira mematikan teleponnya dengan Chandra. Ia segera membereskan acara makan martabaknya. Namun, aktivitasnya terhenti ketika mengingat kakak kelasnya yang bernama Nadya itu.
“Waktu itu, Kak Nadya Cuma ngelarang aku bilang ke Chandra kan, ya?” tanyanya pada diri sendiri. Ketika semua perkataan Nadya teringat dengan jelas oleh Dira, gadis itu tersenyum.
“Ah iya kok. Cuma nggak boleh ngomong. Ngapain Dira kemarin ngediemin Chandra? Eh tapi Kak Nadya ngelarang Dira deketan sama Abang. Lah mana bisa? Dira udah nyoba tetep aja nggak bisa. Kan Bang Alvan kakaknya Dira.” Gadis itu menjawabnya sendiri pula.
Dira memijit pelipisnya pelan. Pusing juga ternyata memikirkan kakak kelas seperti Nadya. Lebih baik ia mandi saja supaya lebih fresh.
***
Maaf ya kalo ceritanya absurd. Masih stay kan? Dukung terus cerita mereka ya.
Lup lup buat kalian.
Babay
30 Oktober, 20
naa_

KAMU SEDANG MEMBACA
3F • (END)
Teen Fiction"Chandra, Dira mau ke toilet. Chandra tunggu di kelas aja." "Nggak! Gue anterin." ____________________ Di mana ada Dira, di situ ada Chandra. Itulah kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan dua remaja yang selalu pergi bersama-sama itu. Menurut C...