15. Air Mineral

78 11 3
                                        

Happy reading
___________

“Sebelum menghina, utama kan mengaca. Nggak punya kaca? Sini gue beliin!”

'ChandraDira'
_______________

Tak terasa, sudah lima bulan Chandra dan Dira menjadi murid SMA Alexandria. Hubungan mereka masih sama, sebagai sahabat. Dira dan Satria juga semakin dekat. Bahkan kedekatan keduanya hampir sama seperti kedekatan Dira ketika bersama Chandra.

Hal itu yang membuat Chandra sering kesal. Namun, Chandra selalu menahan amarahnya supaya Dira tidak merasa tertekan ketika bersamanya. Waktu Chandra dengan Dira juga sedikit berkurang. Setelah acara bazar lima bulan yang lalu, Risky menyuruh Chandra masuk OSIS tanpa seleksi.

Chandra awalnya menolak. Namun lagi-lagi Dira yang membujuknya. Chandra selalu lemah jika bersama Dira. Entah lah, Chandra sendiri juga bingung.

Chandra dan Dira tengah berada di kelas. Hanya mereka berdua yang masih di kelas. Murid lain sudah berhamburan menuju kantin. Chandra dan Dira bercerita tentang apa pun hingga menimbulkan tawa keduanya.

“Chandra, jangan bikin ketawa mulu dong,” ujar Dira disela tawanya.

“Aku nggak ngapa-ngapain. Humor kamu aja yang receh.”

“Enak aja. Chandra juga ketawa tadi. Berarti Chandra juga receh.” Memang Chandra ikut tertawa sedari tadi.
Atensi mereka teralih kan suara seseorang.

“Woe!”

Dengan cepat, Chandra dan Dira melihat ke arah pintu. Terlihat seseorang tengah berdiri dengan coklat di tangannya.

“Abang!” Dira beranjak dari duduknya. Menghampiri seseorang yang ia panggil abang itu. Dia adalah Alvan.

Dira berhambur ke pelukan Alvan. Dengan senang hati, Alvan membalas pelukan adiknya.

“Dira kangen Abang.”

Alvan mengelus rambut Dira dengan lembut. Kepalanya ia tumpukan pada kepala Dira. “Abang juga kangen Dira.”

Mereka sama-sama merasakan rindu yang cukup berat. Padahal ketika di rumah, mereka selalu bertemu. Namun, waktu Alvan dengan Dira berkurang cukup banyak. Ketika di rumah saja, mereka jarang mengobrol. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang melihat keduanya. Terpancar sorot kebencian di mata orang itu.

***

Siang ini terasa panas sekali. Apalagi jika berada di tengah lapangan. Rasanya seperti matahari yang tengah berada di atas kepala.

Dira memperhatikan Alvan yang tengah berlatih basket bersama timnya. Terlihat jelas jika cowok itu kelelahan. Keringat sudah membasahi bagian wajah serta leher cowok itu. Dira yang melihatnya merasa kasihan dan berniat membelikan minum. Ia beranjak dari duduknya.

Dira berjalan menjauhi area lapangan. Gadis itu berjalan di koridor sendirian tanpa adanya Chandra. Cowok itu sedang kumpul bersama OSIS lain. Entah apa yang mereka bahas kali ini. Dira sedikit takut ketika harus melewati kelas kosong. Ia takut sendiri.

Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Dira memegang lehernya. Di belakangnya terdengar suara langkah kaki. Merasa ada yang mengikutinya, Dira menghentikan langkahnya. Ia berbalik badan, namun tidak ada siapa pun di koridor sepi ini. Ia kembali melangkah menjauhi tempat itu. Namun lagi-lagi suara langkah kaki di belakangnya terdengar kembali.

Dira mempercepat langkahnya menuju kantin. Dengan segera, Dira membeli air mineral. Setelah membayarnya, Dira keluar dari kantin. Gadis itu menghentikan langkahnya ketika mengingat kelas kosong tadi. Ia sebenarnya tidak berani melewati sana. Namun, untuk sampai di lapangan tempat Alvan berlatih, ia harus melewati kelas itu.

Dira meyakinkan dirinya agar tidak takut. Ia mulai berjalan kembali. Ketika hampir sampai di depan kelas kosong itu, tiba-tiba ada yang menutup mulutnya. Dira mencoba melepaskan tangan orang itu. Namun susah sekali. Orang itu menyeret Dira ke arah toilet yang tidak jauh dari kantin.

Ketika sudah berada di toilet, orang itu melepaskan tangannya dan mendorong Dira dengan kasar. Hingga membuat tubuh Dira terbentur dinding.

“Lo masih berani, ya, deketin Alvan!” ujar seseorang. Dari nadanya, terdengar jelas itu suara perempuan.

Dira yang tadinya menunduk, mencoba mendongakkan kepalanya. Melihat wajah orang itu.
“Kak Nadya?” lirihnya.

“Kenapa? Lo nggak ada kapok-kapoknya, ya. Setelah waktu itu gue sebarin tentang bokap lo, lo masih aja santuy. Malah sekarang udah berani deketin Alvan lagi.” Orang itu memang Nadya. Terpancar sorot kebencian dari matanya. Dira sendiri bingung harus bagaimana.

Kakinya bergetar karena ketakutan. Meskipun Nadya sendiri—tanpa adanya dua sahabat yang biasanya ikut dengannya— tetap saja Dira takut. Dira pikir hanya di novel saja adanya pembullyan.

Nadya melihat tangan Dira yang memegang air mineral. Sebuah senyuman terbit di bibirnya. “Itu minuman buat siapa?” tanya Nadya.

“Bu-buat aku sendiri, Kak.” Dira menggenggam erat botol minuman itu.

“Gue boleh minta?” Tanpa persetujuan, Nadya langsung saja merebut air mineral itu dengan kasar. “Lama!” ujarnya.

Nadya memutar-mutar botol itu. “Emm, pasti lo belum mandi 'kan?”

Dira menundukkan kepalanya. Tangannya meremas roknya hingga terlihat lusuh. Tiba-tiba kepalanya terasa basah dan dingin. Ternyata Nadya menyiramkan air mineral dingin itu ke kepala Dira.

“Ups, sorry, nggak sengaja,” ujar Nadya setelah air mineral itu habis. Nadya menjatuhkan botol itu asal hingga menimbulkan sebuah suara.

Tangan Nadya mencengkeram dagu Dira dengan kuat. Hingga Dira merasa, kuku panjang milik Nadya ada yang tertancap pada kulitnya.
“Gue peringatin sama lo. Jangan pernah deketin Alvan lagi.” Setelah mengatakan itu, Nadya melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar. Hingga suara seseorang membuat Nadya membalikkan badannya.

“Lo nggak berhak ngelarang orang lain deketin Alvan,” celetuk orang itu.

“Ngapain lo ke sini?”

***

Hai, apa kabar? Semoga baik-baik aja ya.

Authornya lagi males ngetik banyak-banyak.

Babay. Sampai jumpa di part selanjutnya.

14, November 20
naa_

3F • (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang