Bab 21

4.8K 219 4
                                    

~NATE~

Sejak malam saat aku kehujanan di depan rumah Anna seminggu lalu, aku langsung demam dan sakit. Bahkan, sekarang aku sampai dirawat di rumah sakit. Sudah seminggu aku dirawat di rumah sakit. Dan sampai sekarang, dokter belum juga mengizinkanku pulang.

"Kau harus makan, Nate. Jika kau tidak makan, bagaimana kau akan sembuh?", ibu membujukku.

Entah sudah berapa kali ibu membujukku agar mau makan, namun aku terus menolaknya.

"Aku tidak berselera makan.", jawabku dengan tidak bersemangat.

"Kau belum makan sejak tadi pagi."

"Aku tidak lapar, Mom. Aku tidak ingin makan. Aku tidak menginginkan apapun. Aku hanya menginginkan Anna. Aku ingin bertemu dengan Anna.", kataku tanpa menoleh pada ibu. Aku menatap dan menerawang jauh ke arah jendela yang ada di ruang perawatanku. Sungguh, aku sangat merindukan Anna.

"Jika kau ingin bertemu dengan Anna, kau harus sehat. Sedangkan, saat ini kau masih sakit. Oleh karena itu, kau harus makan agar cepat sembuh. Setelah itu, kau bisa bertemu dengan Anna lagi.", kali ini ayah yang berbicara.

Aku diam. Namun, dalam hati aku membenarkan perkataan ayah. Aku harus segera sembuh agar aku bisa menemui Anna lagi.

"Baiklah. Aku akan makan sekarang.", kataku mengalah.

Ibu tersenyum lega kemudian mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutku.

***

Aku sudah dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Dan kemarin, aku baru diperbolehkan pulang. Hari ini, aku akan menemui Anna. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke rumahnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku sudah sampai di rumah Anna. Aku memberhentikan mobil lalu keluar dan berjalan ke arah pintu rumahnya. Aku menekan bel beberapa kali hingga tidak lama kemudian pintu rumah Anna terbuka. Ternyata, Mrs. Taylor yang membuka pintu untukku.

"Selamat siang, Mrs. Taylor.", aku menyapa ibu Anna dengan sopan.

"Selamat siang, Nate. Mari, silahkan masuklah.", Mrs. Taylor menyambutku dengan ramah.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Terimakasih, Mrs. Taylor."

"Silahkan duduk.", katanya padaku.

Mrs. Taylor duduk lebih dulu di salah satu sofa di ruang tamu. Lalu, aku menyusulnya duduk di sofa yang ada di seberangnya.

"Saya datang ke sini karena saya ingin bertemu dengan Anna, Mrs. Taylor. Apakah sekarang Anna sedang berada di rumah?", aku menyampaikan tujuanku pada Mrs. Taylor.

"Maaf, Nate. Anna sedang tidak berada di rumah. Kemarin, Anna baru saja pergi liburan.", jawab Mrs. Taylor.

"Liburan? Kalau boleh tahu, kemana Anna pergi liburan, Mrs. Taylor? Dan berapa lama dia akan pergi liburan?"

"Anna pergi liburan ke Eropa. Dia hanya mengatakan bahwa dia ingin liburan mengelilingi negara-negara di sana selama beberapa minggu. Aku juga tidak tahu berapa lama dia akan berada di sana.", jawab Mrs. Taylor.

Aku merasa kecewa dalam hati. Seharusnya, aku datang menemuinya kemarin sebelum Anna pergi ke Eropa. Sekarang, dia sudah pergi. Dan aku tidak tahu kapan dia akan kembali.

"Begitu rupanya.", balasku dengan memaksakan tersenyum pada Mrs. Taylor.

"Apakah kau ingin aku menghubungimu jika Anna sudah kembali ke New York nanti?", Mrs. Taylor menawarkan padaku.

"Saya akan sangat berterimakasih jika Anda menghubungi saya saat Anna sudah kembali nanti, Mrs. Taylor.", kataku menerima tawarannya.

"Kalau begitu, nanti aku akan menghubungimu saat Anna sudah kembali.", kata Mrs. Taylor seraya tersenyum tulus.

Aku balas tersenyum padanya. Namun, dalam hati aku juga merasa malu karena Mrs. Taylor masih saja bersikap sangat baik padaku.

"Baiklah. Sekarang, saya permisi dulu, Mrs. Taylor.", aku berkata pada Mrs. Taylor.

Mrs. Taylor mengangguk.

Kemudian, aku berdiri dari sofa lalu berjalan keluar dari rumahnya.

***

Sudah hampir tiga minggu aku menunggu Anna pulang dari Eropa. Bahkan, dalam seminggu ini hampir setiap hari aku menghubungi orang tua Anna hanya untuk bertanya apakah Anna sudah kembali ke New York atau belum. Namun, jawabannya tetap sama. Anna masih belum pulang. Dia masih menikmati liburannya di Eropa.

Sedangkan, aku mulai merasa frustasi. Aku frustasi karena menunggu Anna yang tidak kunjung kembali. Selain itu, rasa sesal dan bersalah juga semakin menggerogotiku. Aku selalu teringat dan terbayang-bayang tentang perlakuanku dulu yang sangat kejam pada Anna. Aku sangat menyesal karena telah salah paham dan memperlakukannya dengan sangat buruk. Apalagi, saat Anna mengalami keguguran akibat perbuatanku. Itu adalah kesalahan terbesar yang membuatku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Karena begitu stress dan frustasi, selama seminggu ini yang kulakukan hanyalah minum minuman keras. Hanya minuman keras yang dapat dapat membantuku melupakan sejenak rasa bersalahku. Setiap hari, aku minum sampai mabuk. Bahkan, tidak jarang juga sampai pingsan.

Aku tidak lagi peduli dengan hal-hal yang lain. Bahkan, aku juga tidak peduli dengan urusan perusahaan. Sejak aku keluar dari rumah sakit beberapa minggu yang lalu, aku tidak lagi berangkat ke kantor. Yang kulakukan di rumah hanyalah berdiam diri sambil minum minuman keras. Dan setiap malam, aku juga selalu menangis karena menyesali semua perbuatanku pada Anna.

Yang kuinginkan saat ini hanyalah Anna. Aku ingin bertemu dan meminta maaf padanya. Aku juga ingin memohon agar dia memberiku kesempatan kedua. Aku tidak peduli apakah aku harus berlutut atau bersujud di depannya sekali pun. Karena aku akan melakukan apapun asalkan Anna memaafkanku dan mau kembali lagi bersamaku.

***

Revenge MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang