(28) Luka dan duka

7.2K 626 10
                                    

Koridor panjang sudah di depan mata. Bau rumah sakit menusuk hingga kedalam otak. Obat dimana-mana.

Banyak manusia yang tengah duduk di kursi besi, langsung beralih menatap ke atah dua orang yang baru saja datang. Seorah pria tampan dengan wanita memakai niqab berwarna hitam. Tangan mereka saling bertautan satu sama lain.

"Nona, dimana ruang rawat inap?" Tanya Intan pada resepsionis. Wanita yang berada di belakang meja itu terkejut dengan kehadiran orang penting ini di hadapannya.

Wajahnya benar-benar tampan jika di lihat secara langsung dari pada hanya dibalik layar kaca. Wanita itu juga melirik kea rah Intan sekilas, ia benar-benar takjub melihat bulu mata Intan yang lentik dan alis mata yang tebal. Pasti di balik niqab itu terdapat wajah cantik mempesona. Pikirnya.

"Mbak? Kenapa mbak? Dimana letak ruang rawat inap?" Intan menyadarkan kembali resepsionis tersebut.

"Eh iya, maaf nona. Ada di lantai lima, lift di sebelah sana," resepsionis itu menunjuk ke arah sebelah kirinya.

"Terimakasih," Intan dan Ivan langsung saja berjalan menuju lift.

Sepanjang koridor tatapan mata tak henti-henti menerjang kedua insan yang tengah panik memikirkan keadaan mamah Karina dan ibu Tantri.

Semoga saja kedua wanita itu baik-baik saja. Disana ada papah Herman yang berjaga-jaga. Dan juga bodyguard.

Ivan memencet tombol lift, menuju lantai lima. Tadi, ia sudah menelpon sang papah mertua untuk menanyakan nomor kamar.

Kini kedua manusia itu sudah berada di depan pintu yang dimana terdapat dua orang penjaga dengan baju serba hitam, berdiri di sisi kanan dan sisi kiri pintu. Itu adalah bodyguard yang Ivan kirim.

"Silahkan tuan, nona," ucap salah satunya sambil membukakan pintu. Kedua insan yang saling mencintai langsung saja masuk tanpa permisi. Mereka mendapati para orang tua tengah terbaring.

"Mamah, ibu? Ya Allah," Intan memeluk kedua manusia itu secara bergantian. Untungnya mereka terlihat segar.

"Mamah sama Ibu nggak papa kan? Ada yang luka nggak?" Intan menatap kedua wanita paruh baya yang berada di atas ranjang terpisah. Kedua wanita itu tersenyum lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Tenang saja nak. Mamah mu dan ibu mu baik-baik saja kok. Alhamdulillah orang yang tadi nggak sempat menikam kami karena mamah Katrina menendang nya hingga tersungkur. Lalu kami keluar rumah mencari pertolongan----" ibu Tantri menggantungkan kalimatnya membuat Intan dan Ivan semakin penasaran saja.

"Terus kepala kami berdua di pukul pakai kayu hingga jatuh. Dan untungnya papah Herman datang, dia langsung saja berteriak, dan manusia itu lari terbirit," sambungnya membua Intan menghela nafasnya gusar ketika mendengar cerita menyakitkan itu.

"Kenapa dia bisa menyerang ya?" Papah Herman menatap lekat Ivan yang berdiri di sampingnya. Pria itu langsung menoleh, menatap lekat pria paruh baya yang tingginya lebih pendek darinya. "Apa kamu punya musuh Ivan? Atau ada masalah?"

"Ada orang yang berniat jahat pada Intan. Dan tentu saja aku melindungi wanita ku dengan sepenuh hidup ku. Tapi sekarang sepertinya kalian semua dalam bahaya juga. Orang itu sudah gila. Sangat gila karena berani sekali berurusan dengan ku," Ivan mengepalkan tangannya, rahang pria itu sudah mulai mengeras jika mengingat tentang manusia yang menjadi ancaman dalam hidupnya.

"Apa dia seorang wanita?" Ivan berharap mendapatkan jawaban dari papah Herman. Jawaban yang pasti.

"Papah tidak tau. Dia memakai topeng yang menutupi rambut dan wajahnya. Ia juga terlihat seperti pria, namun untuk apa dia menganggu mu dan Intan?" Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya bingung. Kalau itu adalah seorang pria, untuk apa melakukan hal itu? Berarti jelas ini bukan ulahnya Carla.

Ukhti Girl Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang