Selang menunggu hampir lebih dari tiga puluh menit, akhirnya nama nomor Intan di panggil membuat wanita itu langsung beranjak dari duduknya. Nadin pun juga menemani. Bodyguard hanya duduk diam memantau keadaan yang sejauh ini terlihat baik-baik saja.
Entahlah berapa lama mereka berkonsultasi dengan dokter sampai akhirnya keluar juga dengan wajah sebening embun. Intan melakukan konsultasi kehamilan.
"Sudah selesai nona? Ayo kita pulang," ucap bodyguard dengan nada tegas dan pandangan menunduk. Intan dan Nadin hanya mengangguk. Namun ada satu orang yang membuat dunia Intan menjadi teralihkan.
Orang yang ia kenal dekat. Orang yang seharusnya berada di kantor namun malah berada di jajaran resepsionis.
"Ayo kita kesana dulu," Intan berjalan menghampiri gadis yang tegah berbicara pada resepsionis. Sepertinya ada masalah dalam dirinya. Gadis itu datang sendirian tanpa siapapun disana.
"Nuriza."
Suara Intan membuat sang empu terkejut. Gadis yang awalnya tengah mengisi data, langsung terhenti dengan aktivitasnya. Ia menatap lekat wanita bercadar yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Kamu nggak bekerja? Ngapain disini?"
"Eh Intan, emm ... gue gue gue―"
"Mbak, apa anda sudah selesai mengisi data kemoterapinya?" ucap seorang resepsionis wanita yang baru saja berjalan mendekati meja utama. Ia menatap lekat Nuriza yang pucat sementara Intan hanya bisa diam tak bisa berkata-kata.
"Nona, apa yang anda bilang tadi? Kemoterapi? Maksudya?" Intan menatap lekat resepsionis wanita di hadapannya. Sementara Nuriza hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Wajah gadis itu tidak memakai make-up dan terlihat pucat.
"Ya nona. Mbak Nuriza ini sudah menjalani kemoterapi kurang lebih selama tiga tahun,"
ucapan yang benar-benar membuat shok. Intan menatap Nuriza lekat. Sementara sang empu hanya bisa menundukan kepalanya.
"Sakit apa?" Intan tidak bisa berpikir jernih.
"Kanker paru-paru stadium tiga," bumi serasa di guncang ketika mendengar penuturan dari resepsionis cantik itu. Tubuh Intan seperti di hempaskan dari lantai atas menuju lantai bawah. Ia menatap Nuriza dengan tatapan menyalang.
"Ija? Kenapa nggak ngomong?" Tanya Intan dengan suara tegas. Wanita itu mencoba menahan bulir-bulir kristal dari kedua bola matanya. Nuriza hanya bisa terdiam, menunduk mencoba mencari jawaban yang benar-benar pas dan cocok.
"Gue nggak mau bikin repot," gadis itu menatap lekat manik coklat Intan.
"Om dan tante tau?" Jawaban yang di dapatkan dari Nuriza hanyalah gelengan pelan, membuat Intan menghela nafasnya gusar. Hey, ini adalah masalah yang serius, kenapa diam saja sih? Pikir Intan.
"Jadi yang waktu baru keluar dari rumah sakit itu?" Intan menatap lekat manik Nuriza. Gadis di hadapannya tentu saja langsung menganggukan kepalanya.
"Iyaa, waktu itu gue kumat. Hidup gue udah nggak lama Tan, makannya gue nggak mau berdiam diri di rumah sakit," ucapan Nuriza sukses membuat kristal jatuh dari mata Intan. Nadin dan bodyguard hanya bisa diam, menyimak pembicaraan. Resepsionis pun diam.
"Parah banget sih Ja. Seharusnya bilang. Kamu masih bisa hidup kok," Intan menyeka air matanya kemudian menyentuh kedua lengan sang sahabat yang tertunduk.
"Nona, berapa peluang kanker paru-paru stadium tiga untuk sembuh?" Tanya Intan pada sang resepsionis. Ia menatap lekat wanita d balik meja.
"Dua puluh enam sampai tiga puluh enam persen nona," balas Resepsionis membuat Intan menelan salivanya sendiri. Tapi angka tersebut bukanlah jadi masalah. Itu hanya hitungan dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhti Girl Love Story
Romance[ T E R B I T ] Cerita ini aku tulis waktu SMP. Tulisan nya gak terlalu bagus. Maklumin ya. Versi Wattpad dan cetak, berbeda ya. (Versi novel lebih rapi PUEBI nya, dan gak bingung.) -Author. Intan, adalah gadis bercadar bahkan suka memakai niqab, d...