(46) Singkat namun melekat

5.4K 471 10
                                    


Waktu terus bergulir. Clifton sudah kembali. Nasywa dan Emmanuel. Nuriza dan Noah, baru saja selesai bersalaman dengan para tamu yang hadir disana. Pelaminan yang ada disana benar-benar besar karena kedua nya menjadi satu. Memang benar-benar enak melakukan pernikahan seperti ini.

Dikejauhan, terdapat seorang pria tengah duduk manis, menikmati dentuman musik pop yang tercipta, di nyanyikan dengan yang mendalam. Sangat mewakili perasaan Clifton yang campur aduk sekarang.

"Ya Allah, kesabaran ku tidak seperti kesabaran Ayyub ketika ia sakit. Tasbih ku tak seperti tasbih Yusus ketika berada di dalam perut ikan besar. Keimanan ku tak seperti keimanan Ibrahim ketika di lempar kedalam kobaran api. Dan keyakinan ku terhadap-Mu tidak seperti keyakinan nabi Muhammad SAW. Ya Allah, kelemahan ku ini, kesalahan ku, dan dosa-dosa ku bahwa tiada daya dan upaya ku kecuali dari-MU," gumam Clifton yang hanya dirinya saja yang bisa mendengarnya.

"Kenapa masalah ku berat sekali sih."

"Tanpa di ungkapkan, Allah tahu kau kecewa dengan sebagian keputusannya. Dan tugas mu sekarang hanyalah bertahan pada tasbih, bukannya pergi lantaran kecewa dan bersedih," celetuk seorang manusia yang tiba-tiba mendudukan bokongnya di samping Clifton.

"Kau siapa? Sepertinya kau adalah orang yang waktu itu muncul membantu ku pada saat aku hendak mualaf," ucap Clifton dengan manik berkerut.

Mata hazel pria itu menelusuri setiap inci wajah pria dengan jubah dan sorban putih di kepalanya. Wajah pria itu benar-benar tampan.

"Aku? Hanya tamu undangannya. Jadi kamu tengah bersedih kan?" Pria dengan jubah putih itu mengusap punggung Clifton. Sang empu hanya menganggukan kepalanya dengan lesu, seperti kehabisan energi.

"Oh ya, terimakasih karena waktu itu muncul dan membantu ku pada saat saya mau menjadi seorang mualaf," ucap Clifton, mendapat anggukan dari pria itu.

"Tak apa santai saja," ucap manusia tampan itu.

"Kau terlihat bersedih sekali sepertinya. Terkadang takdir yang menghapus senyuman mu, menjatuhkan air mata yang di tekankan oleh rasa kekecewaan yang mendalam. Jangan berprasangka buruk. Kau tak mengetahui masa depan kelak. Tuhan yang maha Esa adalah maha membolak-balik hati. Tapi, bukankah Allah tak patut untuk di ragukan lagi skenarionya. Jangan berpikir bahwa semesta tengah menjahati mu. Seharusnya kau mengedahkan kedua tangan, mengencangkan do'a dari pada keluh kesah mu," sambungnya membuat Clifton terdiam. Kedua bola mata pria itu saling bertemu satu sama lain.

"Jantung ini masih berdetak, maka jangan pernah coba-coba untuk melupakan Allah ya. Kau tak perlu bersedih lagi. Hamparan langit terbentang luas, dan Allah melihat mu dari sana. Tuhan juga tak percaya dengan senyuman bibirmu yang palsu itu. Tatapan mu kosong menyiratkan sesuatu. Jadi apa kau benar-benar menderita?" Tanya pria tampan itu lagi. Kini dia duduk tepat di sebelah Clifton.

"Begitulah kehidupan. Cepat atau lambat, aku akan merasakan pahitnya kehilangan tiba-tiba, bahkan semesta belum sempat bertanya siap atau tidak. Namun mau tak mau aku harus siap," balas Clifton membuat pria berjubah itu tersenyum.

"Ombak saja melakukan pasang surut bukan? Pertemuan dan perpisahan ibarat bintang dan bulan, sepasang benda langit yang selalu bersinar di tengah gelapnya malam. Mereka akan berpisah begitu sang fajar bangun dari alam mimpinya. Cepat atau lambat kita akan mencapai bab-bab kehilangan tanpa mengulur waktu. Jadikan Allah satu-satunya pegangan, belajarlah ikhlas," balas pria berjubah itu seraya menepuk bahu Clifton.

"Kalau aku boleh tau, siapa nama mu?" Tanya Clifton membuat pria berjubah putih itu tersenyum menunjukan gigi serinya. Manik mereka bertemu satu sama lain.

"Kau tak perlu tau siapa nama ku. Ingat saja aku didalam hati mu," ucapnya.

"Baiklah kalau kau tak ingin memberitahu ku. Kau tinggal dimana?" Tanya Clifton pada pria berjubah putih yang beranjak dari duduknya.

"Kau tak perlu tau aku tinggal dimana. Aku selalu menemani orang-orang yang berada dalam kesulitan, sampai jumpa lagi ya," pria berjubah itu menepuk pelan pipi Clifton, lalu pergi meninggalkan sang empu begitu saja.

"Hey—tapi aku ingin tahu," Clifton menahan pria tampan itu pergi.

"Semoga Allah selalu merahmati mu. Kuatkanlah iman mu karena kamu adalah pemuda akhir zaman. Jangan sampai hubungan spesial mu dengan Tuhan mu akan merenggang, percayalah, hidupmu akan hampa ketika itu terjadi. Sampai jumpa lagi kalau Allah mengizinkan.

Assalamu'alaikum," ucap pria tampan berjubah putih itu, kemudian punggungnya benar-benar menghilang dari edaran mata Clifton.

"Oh ya Clifton. Aku lupa mengatakan hal ini, suruh teman mu itu, berdo'a pada Allah untuk diberikan anak. Mungkin dokter sudah memvonis istrinya tak bisa hamil.Tapi tak ada yang tak mungkin bagi Allah," pria itu membuat Clifton terkejut lagi. Punggung yang awalnya hilang, malah terlihat lagi.

"Kau ini siapa sih? Kenapa tau semuanya? Di mana rumah mu?" Tanya Clifton pada pria itu. Namun malah senyuman manis yang Clifton dapatkan.

"Aku hanya seseorang biasa. Aku tinggal di langit. Sampai jumpa lagi, assalamu'alaikum," Clifton membelakan kedua bola matanya ketika mendengar hal itu.

Langit? Disini memang ada namanya jalan langit. Mungkin dia tinggal disana. Pikir Clifton.

"Wa'alaikumus salaam. Aku akan menuruti kata-kata mu wahai pemuda misterius," ucap Clifton dengan mantap. Pria itu mengalihkan pandangannya lagi kearah Emmanuel dan Nasywa yang sudah melunak. Senyuman tulus langsung muncul dari sana.

"Hey, Clift?" Sapa seorang wanita cantik membuat Clifton terpenjak terkejut. Pria itu langsung menoleh ke asal suara.

"Najwa? Sudah lama tak kelihatan," celetuk Clifton membuat Najwa terkekeh. Gadis itu sempat terpuruk karena Lita. Namun sekarang saat nya bangkit kembali.

~~~

Intan tidak bisa hamil sama sekali, namun Ivan tetap mempertahankan rumah tangganya, tidak mau poligami atau cerai. Keluarga pun mendukungnya— yang penting kan mereka berdua bahagia dengan cintanya.

Nuriza menderita kanker, dan Noah lah yang selalu merawatnya di kala penyakit itu menggerogoti. Noah benar-benar membuktikan perkataannya. Ia terus saja menemani sang istri kapanpun dimana pun.

Tapi kalau harus ke kantor, tentu saja harus meninggalkan Nuriza. Noah masih bekerja bersama Ivan, sementara Nuriza tidak. Ia di suru fokus menjalani pengobatan saja, supaya tidak lelah. Memang suami yang baik. Biaya nya semua Noah yang tanggung.

Nasywa dan Emmanuel masih agak canggung. Mungkin karena tidak terbiasa dengan keadaan seperti ini. Mereka baru banget menikah secara mendadak, jadi wajar saja terkejut dan harus menyesuaikan diri satu sama lain.

Nasywa biasanya bawel sekali pada Emmanuel, tapi tidak dengan sekarang. Gadis itu banyak diam, bahkan saat tidur saja masih menggunakan pembatas. Dasar Nasywa, kalau sudah bucin baru tau rasa. Padahal suaminya benar-benar tampan. Suara nya berat, tubuhnya pun bagus bak model.

Nailah menjomblo. Tidak laku mungkin. Kalau di katakan seperti itu, pasti marah. Nailah belum mendapatkan orang yang tepat.  Mungkin suatu hari nanti akan ada yang mengenggam tangannya ketika masalah menyerang.

Semua sudah menikah, hanya Nailah yang belum.

Dear Allah....
Bring me together with people I love in your Jannah, so we can smile, hug each other, and say 'we finally made it.'

TBC

Ukhti Girl Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang