Beberapa bulan kemudian
Suasana di SMA Pancasila terasa sangat tenang, saking kelewat tenangnya sekolah itu bak bangunan yang tak terpakai, hanya saja sekolah itu lebih bersih dari pengandaiannya.
Hari ini adalah hari pertama dilaksanakannya ujian nasional. Hingga empat hari kedepan, para siswa kelas dua belas dituntut untuk menyerahkan seluruh kemampuan terbaiknya. Setiap tahunnya SMA Pancasila selalu menduduki peringkat pertama di per-sekolah swasta-an dalam hal nilai ujian, kejujuran dan ketaatan selama berjalannya Ujian Nasional.
Seperti saat ini, tidak ada satu pun siswa kelas dua belas yang berusaha untuk mencari bantuan jawaban. Mereka bertindak sesuai dengan tata tertib yang dibacakan oleh pengawas ujian. Jika bisa dijelaskan, hanya suara detak jam dinding dan suara hembusan air conditioner yang terdengar. Mereka kelewat fokus, hingga mulai ada di antara mereka yang sudah berdiri keluar ruangan. Sebenarnya masih ada waktu sisa sepuluh menit untuk mengecek ulang dan memastikan jawaban masing-masing. Hanya saja saking jeniusnya, hal itu sudah dilakukan saat waktu masih tersisa satu jam.
"Se, lo ngga mau nyoba kuliah di luar negeri? Gue yakin orang tua lo pasti masih sanggup buat ngebiayain sekolah lo bahkan sampe S3." Kata Candra sembari menyamakan langkah Sean yang sudah terlebih dahulu berjalan di depannya.
"Gue udah fix bakal ambil beasiswa gue yang di Jogja." Jawab Sean seperti biasa. "Kalo lo tanya kenapa, lo pasti udah tau jawabannya."
"Iya gue tau, 'gue mau belajar mandiri, Ndra.' itu kan jawaban paten lo." Beo Candra.
Kini mereka pun berjalan menuju kantin untuk mengisi perut sebelum pulang ke rumah masing-masing. Ternyata benar kata orang-orang, berpikir keras sangat menguras tenaga.
Setelah menghabiskan ketopraknya masing-masing, Sean dan Candra terdiam untuk sesaat. Menikmati begahnya perut masing-masing, tidak ada yang berniat untuk memulai percakapan.
Hingga Candra yang memulai untuk bertanya.
"Se, apa lo ngga ada niatan buat ngerubah sikap buruk lo sama temen sepupu lo itu?" Keduanya kembali terdiam untuk beberapa menit. Untuk mencerna maksud dari pertanyaan Candra memang sangat mudah, namun untuk menjawabnya akan sangat susah.
"Semuanya udah jadi masa lalu, Ndra. Udahlah biarin aja."
"Tapi perkataan lo waktu itu ngga terbukti, Se. Dan lo dengan santainya ngefitnah dia gitu aja. Bahkan gara-gara lo juga, dia di-bully sama anak satu sekolah, kecuali sepupu lo." Candra sedikit menekankan kata 'sepupu' dalam kalimatnya. "Kadang gue heran, kenapa lo bisa jadi kaya gini. Padahal sebelumnya lo nggak seaneh ini." Candra sangat curiga, pasalnya sahabatnya ini adalah tipe manusia yang 'Gue, ya gue. Lo, ya lo.' Bahkan, saking kelewat tidak pedulinya, Sean adalah tipe orang yang tidak berekspresi dalam segala hal. Tapi lain halnya jika hal itu berkaitan dengan Kirana. Candra merasa, Sean sedikit 'lebay' kali ini.
"Udahlah Ndra, buktinya sekarang dia udah ngga di-bully lagikan?"
Candra hanya bisa mengusap dadanya menahan nafsu amarah karena jawaban Sean.
"Apa lo ngga merasa bersalah sedikit pun? Atau jangan-jangan lo gengsi buat minta maaf? Jangan diterus-terusin Se, ngga baik."
Sean hanya terdiam memikirkan ucapan Candra. Sebenarnya Sean juga merasa bersalah karena tuduhannya pada Kirana waktu itu tidak terbukti. Sean merasa bila memang wanita itu bersekongkol dengan David, maka mereka berdua akan bertemu lagi setelah acara itu atau bahkan di hari-hari setelahnya. Tapi nyatanya, mereka tidak bertemu lagi untuk membicarakan kegagalan mereka. Sean tahu itu, karena Sean selama ini sengaja mengikuti setiap kegiatan gadis itu entah dengan membuntutinya atau bahkan dengan cara membuat akun instagram baru untuk memata-matai akun Kirana, Devi dan juga David.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pengagum Rahasiamu
Novela Juvenil[SELESAI] "Semua yang kita harap, tidak sepenuhnya berakhir seperti yang diharapkan. Terkadang, membiarkan takdir yang mengambil alih semuanya adalah pilihan yang tepat." * Kirana Putri Pratama, gadis manis yang memiliki tubuh sedikit berisi, sedang...