BAB 35-Hampa

1.2K 50 0
                                    

Setelah berbagai kejadian yang terjadi hingga surat perceraian itu, kini Channa telah menghadiri pengadilan mereka. Namun pria itu tidak hadir.

Terlihat sebuah keputus'asaan diraut wajahnya. Tetapi inilah keputusan yang mungkin akan membuatnya terlepas dari rasa sakit itu.

Hanung mencoba menguatkan putrinya dengan menggenggam jemari lentik itu. "Apa kau yakin?" Tanyanya sembari menatap lekat wajah putrinya.

"Iya ma," sahut Channa sambil mengangguk penuh keyakinan. Dia akan mengakhiri semua ini.

"Mama tidak ingin melihatmu bersedih. Mungkin mama hanya mengatakan kau harus memikirkannya lagi," ucap Hanung membuat Channa merenung.

"Ingin kembalipun rasanya tidak mungkin, ma. Dia sudah mendapatkan apa yang diharapkannya." Lirih Channa lantas menatap sang mama sambil mengulas senyum paksa.

Hanung tahu itu hanya alibi agar membuatnya tidak memikirkan hal ini terus-menerus.

Setelah ketukan pengadilan pertama, Channa dan Hanung keluar dari kantor itu. Wajah keduanya tampak hampa setelah menghadiri pengadilan tersebut.

"Channa," panggil seseorang dari belakang. Keduanya berbalik dan menatap sosok itu.

Enoch tersenyum dengan wajah yang terlihat tidak biasa. Pria itu tampak malu saat berpapasan dengan Hanung.

"Nak Enoch, kenapa ada disini?" Tanya Hanung sembari meneliti sosok itu.

"Aku ingin mengatakan sesuatu," kata pria itu tanpa menatap wajah kedua wanita tersebut. "Mungkin ini menyangkut perceraian Channa."

Hanung tersenyum mengerti. "Kau tidak perlu merasa bersalah, nak Enoch. Mungkin dengan perceraian ini, Channa bisa melanjutkan hidupnya seperti dulu."

Enoch membalas senyum itu dengan menghembuskan napas. "Saya salah," katanya. "Kalau begitu saya permisi."

Setelah berpamitan, Enoch meninggalkan kedua wanita itu dengan perasaan bersalah. Ini kesalahannya. Jika dia tidak menyetujui ancaman wanita itu dia tidak akan merasa seperti ini.

Sepeninggalan Enoch, Hanung mengajak putrinya untuk pulang. Mereka akan membicarakannya setelah dirumah nanti.

*

Kael terbangun ketika seseorang memlnyentuh wajahnya. Ia membuka mata agar penglihatannya jelas. Seketika ia terlonjak kaget saat mengetahui jika Dissa yang mengelus wajahnya.

"Untuk apa kau masih disini," sentak Kael yang sudah merasa terganggu oleh kehadiran wanita tersebut.

Dissa bangkit dan berjalan menuju jendela. "Apa kau lupa hari ini pegadilan pertama kalian?" Tanyanya lalu menatap pria itu sambil bersedikap dada.

"Pengadilan?" Beo Kael yang tidak paham maksud dari ucapan wanita itu.

"Ya, kau sudah tertidur selama dua hari ini." Dissa menjelaskan.

Pria itu bagai hilang ingatan, mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. "Aku tertidur selama dua hari?" Gumamnya tidak percaya.

"Aku akan membuatkanmu sesuatu," ucap Dissa lantas meninggalkan pria itu dan menghilang dibalik dinding.

Kini Kael telah mengingat mengapa ia tertidur selama itu. "Aku selalu mengingatnya," pria itu mengusap wajahnya kasar. "Dia tidak ingin pergi dari pikiranku."

Pria itu mengambil ponselnya lalu menatap sebuah nomor yang sangat familliar. Nomor yang ingin sekali Kael hubungi, namun hal itu terhalang oleh ego yang cukup besar.

"Apa kau lupa hari ini pengadilan pertama kalian?"

Ucapan Dissa kembali tergiang. "Kenapa aku tidak rela?"

"Aku sudah menyiapkan sup kesukaanmu," Dissa muncul tiba-tiba sehingga membuat Kael menyatuhkan ponselnya.

"Aku tidak ingin makan," tolak Kael lalu menarik kembali selimutnya.

"Kau harus makan, Kael. Apa kau tidak menghargai usahaku!" Decak wanita itu sambil menatap jengkel pria tersebut.

"Aku tidak ingin, Dissa!" Sergah Kael. "Kau pulang saja, aku tidak ingin melihatmu hari ini."

Dissa yang mendapatkan pengusiran itu, membuatnya tertawa kecil. Hatinya seperti terhempas dengan keras. "Aku meninggalkan Genta hanya untuk dirimu, Kael! Apa kau tidak bisa melihat itu semau!"

"Ada apa ini," seru seseorang yang baru saja datang.

Kedua insan itu menatap sosok wanita paruh baya yang baru saja menemui mereka.

"Mama?" Gumam Kael menatap mamanya terkejut.

Bohdy menatap Dissa mencemooh. "Kenapa kau masih disini?" Pertanyaan itu membuat hati Dissa teriris.

"A-aku ingin merawat Kael," ucap Dissa terbata-bata dan tak berani menatap wanita itu.

"Ya, seharusnya kau merawat Kael. Karena demi dirimu dia menceraikan istrinya." Sindir Bohdy menatap tidak suka wanita itu.

"Aku masih istri sah Kael, Nyonya Lilith. Kau tidak berhak memisahkan kami, bahkan kau bukan ibu kandungnya!" Geram Dissa sambil menatap nyalang wanita dihadapannya.

Bohdy mengangguk. Wanita itu duduk ditepi ranjang. "Ya, kau masih istri sah Kael. Saya tidak bisa memungkiri itu. Tapi, yang menjadi pertanyaannya, mengapa kau meninggalkan suamimu? Dan mengapa kau datang seakan tidak terjadi apa-apa?" Cecarnya membuat Dissa tergelalap.

"Karena aku masih mencintainya. Aku sadar tidak ada hal berharga dibanding keluarga," balas wanita itu tanpa rasa takut sedikitpun.

Sedangkan Kael, hanya melihat dan mendengar perdebatan kedua wanita itu.

Bohdy tersenyum mendengar jawaban dari wanita itu. "Sungguh luar biasa, Dissa. Kau anggap Kael apa? Yang pergi dan datang setelah menghancurkan perasaannya? Kau sangat naif wanita malang."

Dissa tak bisa membalas ucapan itu. Ia segera menyambar tasnya lalu meninggalkan mereka. Perasaannya sangat tertekan dengan ucapan-ucapan yang Bohdy ucapkan.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Bohdy setelah wanita itu tidak terlihat lagi.

Kael mengangguk. "Apa aku tidak bisa memulainya, ma?" Tanyanya membuat wanita paruh baya itu khawatir.

"Apa maksudmu, sayang? Memulai untuk apa?" Bohdy merasakan kejanggalan dengan pertanyaan putranya. "Jangan katakan jika kau ingin bersama Dissa."

Kael tidak menjawabnya. Pria itu terus menatap nomor yang tertera dilayar ponselnya. "Aku hanya menerima jawaban mama."

"Tidak. Mama tidak akan mengizinkan kamu untuk kembali padanya. Pikirkan dirimu, Kael." Tampik Bohdy sambil mengelus lembut wajah putranya. "Mama tidak ingin hal ini terjadi lagi."

"Hari ini pengadilan pertama kami, ma." Lirih Kael sembari menunduk. "Bahkan aku melupakannya."

"Ini belum terlambat, sayang. Jika kamu ingin bersamanya, kamu harus berjuang lebih keras lagi." Terang Bohdy lalu memeluk putranya. Ia berharap putranya bisa kembali seperti dulu.

*

Brak! Dissa melempar vas bunga kearah dinding. Perasaannya benar-benar tertekan oleh semua ucapan wanita itu.

"Dasar kau wanita tidak berguna! Tunggu pembalasanku, kau tidak akan bisa mengatakan itu lagi padaku!" Desis wanita itu sembari menatap tajam foto dirinya dan Kael.

"Mama," panggil Genta saat mendengar suara pecahan dari luar. Bocah itu menatap mamanya terkejut.

Dissa menatap putranya dengan tatapan nyalang. "Enyah kau!" Teriaknya lalu menarik putranya masuk kedalam kamar. "Kau harus membujuk ayah agar bisa tinggal bersama mama!"

"Tapi aku takut, ma," Genta menangis setelah melihat mamanya mengamuk.

Wanita itu murka, dan Brak! Ia mendorong putranya hingga jatuh mengenai bibir nakas. Jantungnya berdetak kencang ketika darah keluar dari pelipis Bocah itu.

Dissa panik melihat itu. Ia segera menghubungi ambulan agar putranya tidak kehilangan banyak darah. "Ya Tuhan, maafkan aku."

Tbc

After Second Marriage(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang