-Happy Reading-
Davier menyodorkan beberapa lembar uang ke hadapan Lily. Kaosnya basah karena keringat. Tidak hanya kaosnya, wajahnya juga sudah dibanjiri keringat. Lily syok melihat Davier bisa menjual bunganya sampai habis tak tersisa, dalam waktu yang sangat cepat. Tidak heran lagi, tampang Davier sangat memesona, kaum hawa tidak akan melewatkan kesempatan ini.
Pria itu meneguk habis air mineral kemudian membuang botolnya ke tempat sampah. Debu, terik matahari, dan suara kendaraan bersatu padu memperburuk cuaca hari ini. Davier bertanya-tanya dalam hati, apakah Lily bekerja seperti ini setiap hari? Apakah wanita itu tidak penat? Kenapa wanita itu tidak mengeluh?
"Davier ... berikutnya kamu gak usah capek-capek keliling jalanan. Kamu ...." Lily menundukkan kepalanya. "Kamu gak pantes. Harga diri kamu bisa hancur—"
Davier menutup mulut Lily dengan jari telunjuknya. Wanita itu terdiam, kepalanya mendongkak menatap Davier. Seketika, suasana menjadi hening. Suara angin menjadi fokus utama pendengaran mereka.
Davier menurunkan tangannya, mengembalikannya ke posisi semula. "Saya tidak peduli dengan harga diri saya"
"Tapi, hm .... Makasih Davier," ucap Lily tulus.
Davier tersenyum tipis. "Minggu depan, kedua adik saya ulang tahun. Kamu saya undang ke sana. Kalau gitu, saya pergi."
"Ta-tapi- aku ... aku gak bisa ke sana," sela Lily.
"Saya tidak bisa menerima penolakan. Jawabanmu hanya iya dan mau, pilih salah satu!" tegas Davier. Nada suaranya dingin dan penuh ancaman. Setelah mengatakan itu, Davier pergi meninggalkan Lily sendirian.
Lily bergeming, menatap punggung Davier yang semakin menjauh, sebelum pria itu naik ke dalam bus dan menghilang. Lily menghela nafasnya panjang. Sekali lagi, ia terpesona akan diri Davier. Cepat-cepat, Lily menggeleng. Tidak! Ia tidak boleh menyukai Davier. Lily tidak mau bersanding dengan permata.
"Iya atau mau?" gumam Lily sambil mengaruk tengkuknya.
***
Davier mengetuk-ketukan jari telunjuknya di meja. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah setengah jam menunggu tapi klien tak kunjung datang. Rasanya ingin sekali marah, sebelum ini ia tidak pernah menunggu. Memangnya siapa dia? Berani sekali membuatnya menunggu sampai selama ini.
Matanya mengedar, mencari-cari sesuatu. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita di meja dekat jendela. Wanita itu mencoret-coret sesuatu di buku gambar besar. Dari sini, Davier bisa melihat dengan jelas sedang apa wanita itu sekarang.
Davier bangkit dari kursinya, berjalan menuju meja wanita itu. Tanpa sedikit pun mengganggu aktivitas wanita itu, ia duduk dengan tenang. Wanita itu belum sadar akan kehadirannya. Sedikit demi sedikit, Davier mengintip apa yang sedang wanita itu gambar.
"Luar biasa," puji Davier membuat wanita itu sontak terkejut, "saya tidak percaya. Kamu suka menggambar dan hasilnya cukup mengejutkan."
Aletha, wanita itu tersenyum tipis. Bukankah hal yang luas biasa, Davier tengah memujinya saat ini. Aneh rasanya, Davier memuji dengan nada tulus seperti itu. Tidak cocok jika dilihat karakternya.
"Aku punya sesuatu," ucap Aletha mengambil selembar kertas di lipatan buku gambar, kemudian memberikannya pada Davier.
Davier mengambil kertas itu, menatapnya intens. Setelah menatap gambar itu, tatapan Davier beralih ke Aletha.
"Gambar ini?" tanya Davier bingung. Di gambar itu ada dirinya sedang memegang bunga, di samping itu ada Lily tengah tersenyum menatapnya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry, Lily (TAMAT)
Romance(Cerita ini ikut serta dalam Event GMG Hunting Writers 2021) "Kalau kamu mau berteman denganku, kamu gak boleh gunain kekuasaan kamu. Aku mau kamu janji, kamu akan menjadi seorang manusia biasa jika berada didekatku." Sebuah janji yang membuat seora...