10. Minta Nomor🥀

1.7K 305 41
                                    

Selamat Membaca🖤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca🖤


"Davier, Sagara bilang kamu membawa seorang wanita ke dalam apartemenmu? Itu benar?" tanya seseorang to the point.

Davier mendongkak, menatap orang itu dengan tatapan datar. Sepertinya Sagara—sepupunya—itu ingin mencari keributan. "Ya, memang benar."

Devano—ayahnya—bangkit dari kursi kebesarannya. "Kamu tahu? Keluarga kita tidak pernah mengajarkan hal seperti itu?"

"Dad, Davier tahu itu. Davier bukanlah pria bajingan."

"Lalu?"

"Aletha mabuk, dia pingsan di depan Davier jadi Davier bawa dia ke apartemen. Dad, Davier tidak punya pilihan lain," jelas Davier santai.

Devano menghela nafasnya lega. "Jika suatu hari, nafsu tengah mengendalikanmu. Ingatlah kedua adikmu, ingatlah Mommy. Mereka juga perempuan."

"Ya, Davier akan selalu mengingat."

"Oh ya Davier. Dad, sudah mencarikan jodoh lagi. Kali ini, kau tidak akan bisa menolaknya."

Perjodohan lagi?

Jika bukan ayahnya, mungkin Davier sudah memaki.

"Brengsek kau Sagara. Saya pastikan kamu dan istrimu pindah ke luar negeri besok," batin Davier kesal, "kalau bisa si tua bangka ini juga."


***


Hari ini adalah hari libur, hari di mana Davier bisa bertemu dengan Lily. Sebenarnya Davier bisa saja menemui Lily kapan pun. Siapa yang akan melarangnya? Lily? Tidak, wanita itu tidak bisa melarangnya.

Entah sejak kapan, ia mulai penasaran tentang wanita itu. Janjinya sudah bereaksi sekarang. Saat Davier penasaran atau curiga dengan seseorang, dengan gampangnya ia bisa mencari tahu. Kali ini, walau ia sangat penasaran pada Lily, ia tidak bisa mengorek informasi apa pun melalui orang lain.

Davier memakai baju kaos lengan pendek dengan celana jeans panjang. Terlihat sangat mencolok, biasanya saat ke luar rumah, ia memakai balutan jas atau tuxedo dan sekarang? Ia hanya memakai pakaian santai.

"Davier!" panggil seseorang membuat langkah Davier terhenti.

Davier membalikkan badannya. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. "Bunda?"

Raira—tantenya—tersenyum menggoda, menatap Davier dari atas sampai bawah. Davier bergidik ngeri, pasalnya Raira tidak pernah tersenyum menggoda seperti itu. Ia merasa tengah digoda oleh tante-tante. Tidak, Raira sudah berumur pun wajahnya tetap terlihat cantik.

Wanita itu menyodorkan sebuah paper bag pada Davier. "Bunda tahu kamu pacaran 'kan sama Lily? Tapi, kamu gak kontakan karena Lily gak punya HP? Bunda belikan ini untuk Lily."

Davier menggeleng. "Davier bisa membelinya sendiri, Bun."

Raira mengambil tangan Davier, memaksa pria itu untuk menerima paper bag-nya. "Ini hadiah Bunda untuk Lily. Bunda titip salam ya? Kalau gitu, Bunda pergi dulu." Setelah mengatakan itu, Raira melenggang pergi meninggalkan Davier sendirian.

Davier menatap paper bag-nya. Seketika senyumannya mengembang. Bagus, Lily tidak akan menolak handphone ini karena Raira yang telah memberikannya. Dengan begini, Davier bisa menghubungi Lily kapan pun ia mau.

***

Untuk pertama kalinya, Davier naik angkutan umum. Mendengar kebisingan-kebisingan dari banyak orang. Tidak hanya kebisingan, Davier juga sudah muak menghirup aroma parfum yang terlalu menyengat. Entah berapa liter, orang itu memakai parfum.

"Mas, boleh minta nomornya?" pinta seorang wanita berpakaian seksi. Wanita itu duduk di kursi tepat di depannya.

Dan Davier tidak suka berbicara dengan orang asing.


"Mas, jangan sombong lah. Saya kurang apa? Saya tahu Mas belum menikah 'kan? Kalau sudah, saya mau kok jadi yang kedua," goda wanita itu lagi.

Davier berdecak pelan, wanita itu tidak tahu malu. Jika saja di sini tidak terlalu ramai, sudah Davier pastikan mulut wanita itu akan membesar. Bukan karena ia cium, melainkan ia gampar. Belum saatnya, ia harus bisa mengendalikan emosinya.

"Jangan main-main, Mba. Dia konglomerat," seorang pria yang duduk di sebelah wanita itu berbisik-bisik.

Wanita itu mengibaskan rambutnya. "Memangnya kenapa? Bagus dong, kalau dia konglomerat?"

Pria itu melirik takut-takut, ke belakang. "Jangan mengodanya. Bahkan dia sendiri pun bisa menghancurkan hidup kamu, apalagi kalau bapaknya sampai turun tangan. Makin melarat kamu," bisiknya lagi.

Mengapa mereka berbisik dengan sangat keras? Jangankan Davier, semua orang yang ada di bus ini mungkin mendengar pembicaraan mereka berdua. Davier mengalihkan pandangannya, berpura-pura tidak mendengar.

Wanita itu, terdiam. Tidak berani untuk menoleh kembali. Mobil bus berhenti, Davier bangkit dari duduknya. Ia berdiri tepat di samping wanita itu.

"Handphone-mu?"

Wanita itu menelan salivanya kasar.

"Kau bilang, kau ingin nomorku? Kemarikan handphone-mu," pinta Davier sekali lagi. Wanita itu memberikan handphone-nya dengan wajah semringah. Davier mengambil handphone-nya kemudian mengetikkan nomornya. Setelah selesai, Davier memberikan handphone-nya kembali. "Saya pergi."

Davier turun dari bus. Ia berdecak, belum tahu saja nomor siapa yang ia ketik tadi. Nomor salah satu bodyguard pribadinya, si pemilik wajah garang dan suara sangar. Hanya mendengarnya saja, wanita itu pasti akan ketakutan.

Rasakan.

Beruntunglah, karena janji Vana wanita itu selamat.

Ya, wanita itu harus berterima kasih pada Vana.


***

"Davier?!" Kaget Lily, matanya membulat sempurna. Kotak bunganya jatuh karena saking terkejutnya.

Tubuh tegap memesona. Kaos berwarna hitam yang sangat pas dipakai pria itu. Belum pernah Lily melihat orang setampan ini selain di televisi. Tidak, bahkan Davier lebih tampan. Cepat-cepat Lily menggeleng, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Davier memang pantas dipuji, tapi bukan berarti batinnya terus-terusan memuji ketampanan Davier.

Davier mengambil kotak itu. "Kenapa wajah kamu merah, Lily?" tanya Davier menyodorkan kotak bunga itu pada Lily.


Lily mengambil kotak itu kembali. "Ma-Makasih. Aku kepanasan, jadi mukanya merah," balas Lily berbohong.


Davier mengangguk, ia memberikan sebuah paper bag pada Lily. "Ini hadiah buat kamu, dari tante saya. Kamu ingat wanita yang ada di rumah sakit?"

Lily terdiam, enggan menerima paper bag itu. Dalam hatinya, Lily sudah berjanji bahwa ia tidak akan menerima apa pun dari Davier. Jangan sampai orang-orang menganggapnya lintah darat, yang mendekati orang hanya karena uang.

"Tapi Davier ... Lily gak mau—"

"Ini bukan dari saya. Ini adalah ucapan terima kasih, karena kamu sudah menolong saya. Apa saya perlu menelepon beliau dan mengatakan kamu tidak mau menerima pemberiannya. Saya yakin sekali, dia akan kecewa," potong Davier cepat, sedari memaksa Lily menerima paper bag-nya.

"Ini pasti mahal, aku gak pa—"

"Terima saja, saya sudah memasangkan kartunya. Jadi, saya bisa meneleponmu kapan saja 'kan?"

"Tapi ...."


"Bunganya masih penuh, apa belum ada pembeli?" tanya Davier mengalihkan pembicaraan. Ia menatap kotak bunga yang masih terisi penuh. Lily menundukkan kepalanya lalu menggeleng lemah. "Kemari, saya bantu. Kamu bisa duduk dan istirahat."


Lily mendongkak. "Enggak, Vier. Kamu itu dikenal banyak orang, apa kata orang nanti. Kalau ada keluarga kamu yang lihat gimana? Nanti aku juga yang bermasalah?" tolak Lily.

"Saya tidak peduli." Davier merampas kotak bunga. Lily melotot, ia sedikit berlari dan menghalangi jalan Davier.

"A-aku bisa sendiri kok."

"Saya tidak peduli, minggir!" Davier mendorong pelan bahu Lily, agar wanita itu membuka jalan untuknya.

Lily merentangkan tangannya. "Gak, Vier. Gimana kalau aku jual setengah dan kamu setengah?"

Davier terdiam sejenak kemudian membagi bunga itu menjadi dua bagian. "Nih, jual bunga itu sampai habis sebelum saya duluan yang menjual semuanya." Davier pergi meninggalkan Lily yang masih terdiam. Tanpa sadar kedua sudut bibir Lily terangkat. Jangan sampai, Davier masuk ke dalam hatinya. Sebelum itu terjadi, Lily harus memperingatkan hatinya agar tidak lemah. Davier hanya ingin berteman, bukan masuk ke dalam hatinya.

Seseorang yang mungkin, tidak akan meninggalkan kekuasaannya barang sedetik pun tetapi, pria itu membuktikannya. Davier berpakaian sederhana, pria itu juga naik kendaraan umum pada saat pria itu ingin menemuinya.

"Kenapa Davier mau temenan sama Lily?" tanya Lily pada dirinya sendiri.






TBC

Jangan lupa follow akun, para tokoh^^


@Sherinauci

@davier.bhatiac
@Lilyana_Rebeca
@desshila_bhatia.cowdree

@vanabhatiach_chowdre

Sorry, Lily (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang