24

726 74 5
                                    

Apa semua gadis sama? Maksudnya, apakah mereka semua sangat suka menyembunyikan rasa sakit hatinya dari dunia? Dari semua orang terdekat mereka. Karena itulah yang tengah Yara lakukan, hatinya sakit, ia terluka karena hal yang memang seharusnya bukan untuk Yara.

Butuh waktu bermenit-menit bagi Yara untuk mempersiapkan mentalnya, masuk kedalam kamar Chanyeol pada saat seperti ini sama saja seperti dirinya tengah masuk kedalam wahana rumah hantu, menyeramkan dan Yara benci perasaan seperti ini.

Yara mengembuskan nafasnya, berusaha mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba melambat. Tangan kanannya terulur mengetuk pintu, butuh waktu lama untuk Chanyeol menjawab ketukan itu membuat Yara harus mengetuknya berkali-kali.

"I-ini... Aku."

"Masuk!"

Tangannya mendadak gemetar membuat gelas yang ada diatas nampan ikut bergetar karenanya, susah payah Yara menetralkan rasa gugupnya hingga berhasil membuka pintu kamar Chanyeol, saat ia masuk pria itu tengah terdiam menatap salju turun yang semakin membuat permukaan tanah dan tanaman memutih.

"Minumlah kopi panas ini." Ucap Yara sambil meletakkan mug berwarna coklat diatas nakas disamping tempat tidur Chanyeol.

Pria itu masih tidak bergeming, tatapannya begitu lekat pada salju yang turun begitu banyak diluar sana. Cukup lama Yara memperhatikan pundak Chanyeol yang bahkan enggan menoleh kearahnya. Apalagi menjawab sapanya, percayalah Yara cemas dengan pria dihadapannya ini.

"Jangan cemburu." Ucap pria jangkung itu tanpa menoleh pada Yara, membuat nya bingung mematung dengan mata yang membulat dan ludah yang tercekat dikerongkongannya.

Apa-apaan dengan kata 'cemburu?'

Yara masih mematung saat Chanyeol membalik tubuhnya dan menatap mata Yara teduh.

"Aku tidak bermaksud memuji masakannya, sungguh."

Yara tau benar raut wajah itu, menyesal dan sangat merasa bersalah. "Aku senang kau memuji masakan nyonya Wu." Yara tersenyum, entah sadar atau tidak senyuman itu mengisyaratkan rasa sakitnya.

"Apa kau cemburu?"

Ia menatap mata Chanyeol lekat, memperhatikan pria itu yang masih setia menatapnya teduh seolah memberikan kepercayaan penuh pada Yara yang mulai meragu, seolah meyakinkan Chanyeol hanyalah miliknya, Chanyeol hanya mencintai Ahn Yara. Hanya dirinya. Yara sangat ingin percaya namun kenyataannya~ ia kecewa.

"Tidak."

"Percayalah~"

Yara tersenyum memotong ucapan Chanyeol yang bahkan belum selesai ia ucapkan, "kau tidak perlu menjelaskannya tuan, untuk apa? Kenapa? Aku rasa ini bukan urusanku, permisi~"

Ini bukan hal yang salah, keputusan yang baru saja Yara ambil sudah benar. Bukankah begitu? Jika benar kenapa hatinya begitu sesak, kenapa air mata nya seolah ingin jatuh? kakinya melemas ingin ambruk saat ini juga. Yara harus tahan setidaknya sampai Chanyeol tidak bisa lagi melihat tubuhnya.

Yara masuk kedalam kamarnya mengunci pintu, sebelum tubuhnya benar-benar ambruk tepat dibelakang pintu kamar berlantaikan keramik dingin menusuk hingga ke tulang, menambah rasa ngilu, sesak yang sejak tadi ia rasakan.

---

"Nona Yara,  ini telpon untukmu!" Teriak bibi Kim.

Yara mengentikan kegiatannya dari menyuapi Yuan, ia mendekati bibi Kim yang berdiri sambil mengarahkan telpon yang ia genggam kearahnya.

Tangan Yara mengambil telpon dari tangan bibi Kim dengan ragu, pasalnya siapa yang menelpon Yara  dengan telpon rumah Chanyeol? Ada perlu apa hingga menelpon nya melalui telpon rumah. Apa ini sahabatnya? "Hallo, ini Yara."

You and Your Past |Chanyeol|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang