Part- 15 : Keputusan Terbaik ?

61 7 0
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul 12.30 Waktu Indonesia Bandung. Satu per satu jamaah keluar meninggalkan Masjid Salman. Namun tidak dengan Faris. Ia masih tampak duduk dan melihat sekeliling setelah selesai salat zuhur. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di sini. Ada degup bangga di hatinya, akhirnya ia bisa berjamaah di masjid yang namanya sering ia dengar dari kakak-kakak pembimbing Rohis di SMA dulu. Begitu melihat masjid Salman secara langsung, Faris langsung terpesona, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Desainnya yang unik dan atomsfer kesejukan dan ketenangan membuat masjid kebanggaan kampus ITB ini tak pernah sepi dikunjungi orang-orang, baik mahasiswa maupun pengunjung dari luar.

Faris begitu mengagumi setiap inchi dari interior masjid ini. Hal paling mencolok yang membedakan masjid Salman ITB dengan masjid pada umumnya ialah atap masjid Salman yang tidak berbentuk kubah. Atap Masjid Salman ITB terbuat dari beton dan berbentuk cekung layaknya sebuah cawan. Mirip seseorang yang sedang berdoa dengan tangan menengadah ke atas. Faris juga mendapati banyak pola garis-garis yang menghiasi masjid ini baik itu pada dinding maupun tiang penyangga. Garis-garis vertikal menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan garis-garis horizontal dimaknai sebagai hubungan antara manusia dengan sesamanya.

Saking asiknya menikmati keindahan masjid Salman, Faris hampir lupa kalau ia punya janji dengan ayahnya untuk makan siang. Faris bergegas keluar masjid dan menuju ruangan sebelahnya, kantin Salman. Faris mengedarkan pandangan, mencari tahu apakah ayahnya berada di antara sekian banyak pengunjung. Namun, yang dicari belum ada. Faris memutuskan untuk mengambil tempat duduk di pinggir jendela sambil menunggu kedatangan ayahnya. Mungkin ayah masih terjebak macet, pikir Faris.

Faris melihat jejeran antrean laki-laki dan perempuan yang terpisah. menunggu giliran mengambil nasi dan lauk pauk yang bisa mereka ambil sendiri. "Sebentar lagi Aku akan menjadi bagian dari antrean panjang itu." Faris tersenyum dalam hati.

"Ris, sudah lama nunggu?" Suara ayah membuyarkan lamunan Faris. Ayah yang baru datang langsung mengambil tempat di depan Faris.

"Eh, nggak, kok, Yah." jawab Faris sambil melempar senyum tipis pada ayahnya.

"Kamu nggak langsung ambil makan, aja Ris?" tanya ayah

"Bareng Ayah saja." Sebenarnya Faris sudah lapar dari tadi, tapi ditahannya demi menunggu ayahnya datang. Kebiasaan yang masih ia bawa sejak kecil. Tidak akan makan sebelum dipersilakan terlebih dulu oleh ibunya. Apalagi kalau pas ayah pulang Temanggung, ibu akan memberi kode pada Faris dan Aida untuk tidak mengambil makan dulu sebelum ayah mengambil makan.

"Ayo, Ris kita antre! Perut Ayah dang keroncongan ini!" Tn Anton menepuk bahu Faris. Mereka segera mengambil barisan di antara antrean pengunjung. Saat makan siang seperti ini kantin Salman memang sangat ramai. Kantin yang letaknya persis di sebelah Masjid Salman ini memang menawarkan puluhan varian masakan rumahan yang enak, lengkap dan tentu saja murah.

Setelah sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya mereka berdua mendapat giliran. Ayah sudah duluan mengambil karedok, kerupuk, siomay dan ayam goreng. Faris masih tampak kebingungan menentukan pilihan. Dia tak terbiasa memilih makanan dengan sekian puluh menu. Pilihannya jatuh pada nasi sayur singkong, tempe,tahu, sambal dan kerupuk.

"Itu saja makanmu, Ris?" ujar ayah ketika hendak membaya di kasir. Faris mengangguk. Sejak datang ke rumah ayahnya, Faris selalu disuguhi makanan-makanan yang asing di lidahnya. Nggak buruk juga seh rasa masakan Mama Sari, hanya saja tetap tidak bisa mengalahkan masakan ibunya. Memang, masakan yang paling enak bagi seorang anak di dunia ini adalah masakan ibunya. Faris sudah kangen dengan masakan ibu. Dan menu pilihannya kali ini adalah salah menu andalan ibu selain buntil.

Faris dan ayah segera melahap makanan yang ada di depannya. Dua orang yang hampir mirip, hanya dibedakan usia saja. Sama-sama bermata agak sipit, berkulit putih dan berkacamata.

"Gimana, enak kan masakan di sini?" ucap Tn. Anton yang melihat piring anaknya sudah bersih. Faris mengangguk tersipu.

"Kantin ini nantinya adalah saah satu tempat yang pasti akan sering Kamu kunjungi, makanya Ayah sengaja mengajakmu ketemuan di sini." ujar ayah sambil melahap siomay

"Kantor Ayah jauh dari sini?" Faris mencoba bertanya setelah daritadi ia hanya mengangguk menanggapi pertanyaan ayahnya.

"Sebenarnya nggak jauh, tapi karena harus memutar dan jalanan macet, jadi butuh waktu sekitar 20 menitan dari sini. Kenapa, Ris?" selidik ayah

"Eh, enggak Yah, hh.mm....Faris nggak enak aja kalau nanti Ayah telat sampai kantor karena harus makan siang sama Faris." Tn. Anton terkekeh mendengar kekhawatiran anak laki-lakinya. Nggak mungkin juga ia akan menjawab,"Tenang, Ris..Ayah adalah manajer di sana, jadi nggak apa-apa kalau telat ."

"Kenapa, Yah? Ada yang salah dengan perkataan Faris?" melihat ayahnya tertawa Faris merasa nggak enak.

"Nggak, Ris. Nggak ada yang salah. Ayah hanya terharu, Kamu ternyata masih sama dengan Faris kecil yang disiplin. Faris yang selalu datang ke sekolah tepat waktu dan tidak pernah bolos walaupun dalam kondisi hujan dan sakit sekalipun." Ayah memandang Faris dengan mata berbinar.

Harusnya Faris senang mendapat pujian dari ayahnya. Tapi nyatanya tidak. Ada sebentuk kenangan yang terkoyak. Kenangan manis saat ia dan Aida masih kecil dan tinggal bersama di Temanggung. Sebulan sekali ayah pulang dan mereka menyambutnya dengan gembira. Setiap akhir tahun ayah akan mengambil cuti panjang untuk lebih lama bersamanya, Aida dan ibu. Berlibur ke beberapa tempat yang sangat menyenangkan. Atau sekali waktu, ayah akan mengajak mereka ke Bandung menghabiskan liburan sekolah. Masih terbayang Aida kecil yang lincah dan selalu ceria dan senyum ibu yang selalu mengembang. Senyum yang sudah lama sirna sejak perceraian itu. Dan Aida yang sekarang, jauh berbeda dengan Aida kecil yang Faris kenal. Dingin dan sangat ketus. Kalau tidak ingat pesan ibunya, ia sudah pengen meladeni kejutekan adiknya.

"Semua karena Ayah!" Tanpa sengaja sebuah kalimat meluncur dari mulut Faris membuat ayahnya mengernyitkan dahi.

"Karena Ayah? Maksudnya, Ris?" Faris tergagap dengan pertanyaan ayahnya. Ia nggak sadar, uneg-uneg batinnya sampai terlontar keluar dan didengar ayah.

"Iya, semua karena Ayah. Andai saja Ayah tidak menceraikan ibu. Semua tidak akan seperti ini, kan, Yah?" Merasa kepalang tanggung, Faris memutuskan untuk berterus terang akan perasaan yang selama ini dipendamnya.

"Ris, ini bukan keputusan Ayah saja. Ini keputusan ayah dan ibu. Dan ini adalah keputusan yang terbaik." Ayah mencoba menjelaskan pada Faris.

"Keputusan terbaik? Terbaik untuk siapa, Yah? Aku? Aida? Ibu? Atau untuk Ayah?" tanya Faris dengan nada menyindir.

"Ayah sudah berusaha melakukan yang terbaik buat semua, termasuk untukmu, Ris Kamu tentu tahu kan selama ini......"

"Faris tahu, Ayah udah kasih biaya ke Faris. Tapi, Faris juga masih perlu bimbingan seorang Ayah. Faris harap ayah juga harus tahu itu." Faris memotong pembicaraan ayahnya.

"Kamu masih sangat kecil waktu itu untuk bisa memahami keadaan, Ris. Nanti Kamu juga akan tahu ketika sudah dewasa." Ayah menghela napas panjang. Ia nggak menyangka, makan siang bersama anak laki-lakinya akan runyam seperti ini. Rupanya Faris masih menyimpan kemarahan atas keputusan percerainnya dengan Rahayu. Niat hati untuk bicara dari hati ke hati mengenai permasalahan Aida, sesuai saran istrinya, tetapi justru luka lama yang ingin dipendamnya kembali terbuka. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang