Faris sudah bersiap di ruang tunggu stasiun. Meskipun masih pagi buta, keramaian sudah tampak menggeliat. Faris memilih untuk berangkat sebelum subuh agar tidak telat menjemput ibu. Ia takut kalau ibu terlalu lama menunggu. Suara azan subuh bergema dari arah masjid stasiun bersautan dengan suara lonceng peringatan kedatangan kereta dan pengeras suara dari kamar operator.
Kereta ibu sudah datang. Ada debar kerinduan membuncah dalam dadanya. Ia sengaja menjemput ibu seorang diri dengan motor. Kata ibu bawaannya nggak terlalu banyak, hanya satu tas. Karena terlalu mendadak, ibu nggak sempat membawa buah tangan yang banyak untuk Aida di Bandung. Kereta Argo Wilis berhenti, satu per satu penumpang keluar dengan wajah bau bantal, karena semalaman di atas kereta, tak terkecuali Ny. Rahayu.
Ia mengedarkan pandangan begitu sampai di pintu keluar, mencari sosok anak laki-lakinya. Belum tampak orang yang dicarinya. Ny.Rahayu mengambil gawainya dan menelpon Faris, tidak ada sautan.
"Selamat datang, Bu!" suara Faris mengagetkan ibu yang sedari tadi tampak memainkan gawainya.
"Oalah, Le. Sukanya ngagetin Ibu. Tak kira lupa jemput." ujar Ibu sambil memukul lembut pundak anak lak-lakinya.
"Ngapunten, Bu. Faris tadi ke kamar mandi, nggak tahan." jawab Faris sambil mencium tangan dan kedua pipi ibunya.
"Ya, wis. Piye, Le. Iki wajahmu kok biru kabeh kayak ngene." Ujar ibu sambil memegang wajah Faris.
"Nggak apa-apa, Bu. Biasa anak laki-laki." Faris mencoba menenangkan kekhawatirkan ibunya.
"Aida nggak ikut, Nak?" tanya ibu ketika tak dilihatnya Aida bersama Faris.
"Mboten, Bu. Faris naik motor. Aida biar istirahat dulu, kasian kecapean seharian kemarin." jawab Faris sambil mengulurkan tangan meminta tas ibu untuk dibawanya.
"Oh, ya sudah. Ayo, Le, ibu pengen ke kamar mandi. Semaleman ngempet ndak pipis." Ibu terkekeh sambil mengajak Fahri mempercepat langkahnya ke toilet.
"Bu, kita ke toilet yang dengan masjid, sekalian solat subuh ya Bu."ajak Faris yang diamini ibunya.
***
Pagi ini Aida tampak sibuk membereskan kamarnya. Sebenarnya ia ingin sekali ikut menjemput ibu di stasiun, tapi Faris melarangnya. Ia disuruh beristirahat di rumah, memulihkan diri agar bisa fokus menyelesaikan sketsa muralnya yang harus dikumpulkan maksimal besok siang. Masih ada satu hari untuk merampungkannya.
Ada rasa yang sulit dilukiskan dalam hatinya. Kangen, senang dan entah rasa apalagi yang memenuhi rongga dadanya. Berkali-kali ia memindahkan letak buku-buku dan aksesoris kamarnya agar terlihat pas dipandang mata. Seolah ingin menunjukkan kepada ibunya, bahwa ia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, bukan anak-anak ingusan berkuncir dua di kepalanya.
Aida memandangi kamarnya yang kini sudah rapi, "Sempurna!" ia memuji hasil beberesnya sendiri. Sebuah pekerjaan yang jarang dilakukannya akhir-akhir ini, apalagi kondisinya yang masih lumayan capek karena peristiwa yang menimpanya kemarin. Namun, entah mengapa ia ingin tampil sempurna di mata ibunya.
Hari ini atas saran dokter, Ia diharuskan beristirahat sehari untuk memulihkan kondisinya. Ia sudah mengabari Eva, sang Sekretaris Kelas kalau dirinya izin sakit hari ini. Ia juga meyakinkan Eva, kalau besok dia akan masuk dan mengumpulkan hasil karya lomba seninya. Hari ini Aida berencana sembari istrahat du rumah, ia akan menyelesaikan karya seninya.
Aida bergegas turun ketika didengarnya deru motor memasuki halaman. Itu pasti mereka, pikir Aida.
"Duh, Neng Aida ceria sekali." goda Bi Irah ketika Aida melewatinya. Bi Irah tampak sibuk menyiapkan sarapan di meja makan.
"Tumbenan Bi, pagi banget nyiapin sarapannya?" ujar Aida ketika melihat Bi Irah sudah menata makanan di meja makan.
"Lo, kan ini untuk tamu spesialnya Neng Aida." jawab Bi Irah menggoda Aida. Ia ikut senang melihat senyuman anak gadis yang diasuhnya sejak awal datang ke Bandung kembali terkembang.
"Yah, kukira tadi suara motor Kak Faris, Bi, ternyata bukan." ujar Aida sambil tertawa setelah menyadari suara motor yang tadi didengarnya adalah abang pengantar susu segar.
"Si Eneng mah, lama nggak pernah bangun sepagi ini, jadi nggak tahu kalau jam segini tuh jadwal Mang Udin nganterin susu." timpal Bi Irah sambil tertawa
Aida mengiyakan perkataan Bi Irah. Benar juga, ia sudah lama sekali sibuk dalam dunianya sendiri. Uring-uringan nggak jelas. Hidupnya seolah hanya bandul jam, sekolah, kadang bolos, ke tongkrongan, sampai rumah masuk kamar, ke bawah hanya karena dipanggil mama untuk makan bersama dengan diiringi omelan ayah. Begitu terus siklusnya.
"Bi, maafin Aida ya, kalau selama ini Aida selalu bikin Bi Irah repot." ujar Aida
"Walah, Bibi ndak pernah merasa direpotin sama Neng Aida. Dari dulu Bibi sudah nganggap Neng seperti anak sendiri. Bibi yang minta maaf tidak bisa menjaga Neng Aida, sampe-sampe Ayah Neng Aida mendatangkan Mas Faris." jawab Bi Irah sambil mengelus rambut Aida.
"Makasih, ya Bi. Aida sayang sama Bi Irah." jawab Aida sambil memeluk Bi Irah.
"Iya, sama-sama. Bibi juga berterimakasih sudah dianggap keluarga sendiri di rumah ini. " Bi Ira berkata sambil berkaca-kaca. Ia sudah tidak punya keluarga di Jawa. Suami dan anaknya sudah meninggal karena kecelakaan sebelum ia bekerja pada ayah Aida. Ia sangat berterimakasih ketika Tn. Anton memilihnya dari Agency penyalur asisten rumah tangga untuk membantu di rumahnya sejak Aida datang ke Bandung sampai sekarang.
"Bi, Aida tuh jahat banget nggak sih jadi anak?" Bi Irah tampak mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Aida.
"Nggak ada anak yang jahat, Neng. Yang ada adalah anak yang belum mengerti saja. " hibur Bi Irah.
"Tapi, Aida sudah jahat banget sama Ayah, sama Mama, Sama Kak Faris, apalagi sama....Ibu." Aida tergugu.
"Eh, sudah-sudah, kok malah nangis. Nanti cantiknya hilang lo. Sebentar lagi ibu datang. Kalau lihat Neng Aida sedih, nanti ibu akan ikut sedih." Bi Irah mengusap kepala Aida berusaha menenangkannya.
"Semoga ibu mau memaafkan Aida ya, Bi." ujar Aida sambil mengusap air matanya.
***
"Ris, kira-kira nanti Aida beneran dah mau nerima Ibu?" tanya ibu ketika motor Faris berbelok memasuki komplek perumahan.
"InsyaAllah, Bu. Semoga nanti Aida benar-benar mau nerima Ibu. Faris sudah berusaha terus untuk memberikan pengertian padanya, Bu. " Suara Faris beradu dengan hembusan angin pagi Kota Bandung. Meskipun samar-samar, ibu bisa menangkap jawaban Faris. Ia berdoa semoga Aida mau menerimanya. Ia sudah sangat kangen dengan anak gadisnya yang selama ini begitu jauh darinya. Bukan hanya jauh di mata, tetapi juga jauh di hati.
Semakin dekat dengan rumah mantan suaminya, irama jantung Ny. Rahayu semakin berdetak kencang. Dulu, ia pernah sangat dekat dengan lingkungan ini ketika masih menyandang status Ny. Anton Saputra. Ibu menarik napas panjang seolah ingin membuang segala beban yang mengimpitnya ketika Faris mengehentikan laju motornya tepat di depan sebuah rumah yang penuh dengan kenangan.
"Ayo, Bu. Masuk. Aida pasti sudah menunggu." ujar Faris sambil memencet bel. Sesaat kemudian pintu gerbang terbuka dan Aida berdiri di dalamnya. Untuk sesaat terjadi keheningan, Aida dan ibu saling pandang, seolah saling ragu.
"Bu, Maafin Aida, Aida Kangen. Aida sayang Ibu." runtuh sudah pertahanan Aida. Aida dan ibu berpelukan sambil menangis.
"Maafin Ibu juga Nak, Maafkan." ucap ibu di sela-sela tangisnya. Tak hentinya ia mencium pipi Aida dan memegang wajah anak gadisnya yang sudah beranjak dewasa.
Pemandangan yang sangat mengharukan bagi orang yang melihatnya. Faris segera mengajak ibu dan Aida masuk ke dalam sebelum menjadi totontonan orang sekomplek.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Fiksi RemajaFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...