Kenalan dulu ya sama Faris, si cakep yang jago taekwondo..uwuuyyyy.....
***
Riuh suara teriakan anak-anak latihan sudah menjadi santapan Faris setiap sore. Dalam naungan gedung yang kokoh dengan atap yang menjulang tinggi lengkap dengan tribunnya Faris Ardhana terlihat sedang sibuk melatih anak-anak taekowondo.
Faris sangat hapal dengan seluk beluk gedung ini, dari jumlah pintu bahkan berapa jumlah tiang penyangganya. Emberrr... Tapi beneran, Faris sudah menyambangi gedung ini sejak ia masih berseragam merah putih dan mengenakan sabuk putih. Kata instrukturnya dulu, sabuk putih melambangkan kesucian dan awal segalanya. Faris berlatih segala jurus dasar (Gibon)1.
Bagaikan ulat yang menjelma kupu-kupu, Ia terus bermetamorfosis ke sabuk kuning, sabuk hijau, biru, merah. Dan kini Faris sudah berhak mengenakan sabuk hitam. Hitam melambangkan akhir, kedalaman, kematangan dalam berlatih dan penguasaan diri kita dari takut dan kegelapan. Hitam juga melambangkan alam semesta. Setelah pencapaian itu, Faris memutuskan untuk menerima tawaran menjadi instruktur di kelas hubae. "Sabeum Faris", anak-anak itu biasa memanggilnya. Panggilan yang selalu membuat dada Faris kembang kempis, karena memang itu cita-citanya sejak ia masih kecil.
"Bro, beneran kamu mau hengkang dari sini?" pertanyaan Edi, teman sesama instruktur mengagetkan Faris yang baru saja selesai latihan dan terlihat bengong mengamati anak didiknya. Setiap kali melihat mereka, ingatan Faris melayang pada Aida, adik kesayangannya. Aida kecil yang lucu dan menggemaskan dengan rambutnya yang sedikit ikal, yang selalu merengek ingin ikut taekwondo juga. Namun oleh ibu tidak diperbolehkan, dengan alasan anak perempuan ora elok kalau pencilaan kayak anak laki-laki. Kalau sudah begitu, Aida akan menangis, ngambek. Tapi nggak akan berlansung lama, saat ibu menawarinya jalan-jalan ke warung beli buku gambar dan cat air, mata Aida langsung berbinar.
"Entahlah, Di. Aku masih bingung nih. Mo tak lepasin sayang banget, ibarat mendaki, aku dah hampir sampai puncaknya. Tapi mo gimana lagi..aku harus nglanjutin kuliah, Di !" jawab Faris sambil membenarkan letak kacamanya yang semakin tebal saja lensanya. Dari sorot matanya, Faris tak dapat menutupi kegalaun hatinya.
"Iya juga seh Ris. Kalau aku di posisimu, mungkin ya akan lebih bingung. Eh, tapi yo ndak mungkin aku di posisimu. Lha wong kowe cah pinter, aku cah bodo!" Edi berseloroh sambil tertawa.
Faris pun ikutan tertawa memperlihatkan sederet giginya yang putih. Matanya yang sedikit sipit terlihat seperti hanya garis saja saat ia tertawa. Tak salah jika teman-temannya sering memanggilnya dengan panggilan Korea. Kulit putih, rambut tipis dan mata sipit memang membuat Faris tampak berbeda dengan anak-anak kebanyaka di desanya yang berkulit sawo matang, khas orang Jawa.
"Ngomong opo to, Di. Semua sama lah, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau aku ndak kenal sama kamu yang jago taekwondo ini, mungkin aku masih jadi anak cupu yang sering diejek temen-temen. Makasih ya, Di!" ujar Faris membuat wajah Edi bersemu merah.
"Tapi beneran, aku salut sama kamu, bisa keterima di dua perguruan tinggi sekaligus. Nek aku dikon milih, aku milih ning Yogja ae, Ris. Cedak ro Ibumu, kowe ra sah metu seko kene, awakmu isih iso nglatih adik-adik nek pas Sabtu Minggu." Edi masih gencar membujuk sohibnya itu. Karena ia tahu benar, Faris dalam kegalauan yang amat sangat. Mereka sudah sahabatan sejak SD. Berangkat sekolah barengan pakai sepeda butut, sampai mereka sama-sama duduk di SMA. Bedanya, Faris melanjutkan sekolah di Magelang dan Edi masih tetap di Temanggung. Namun, mereka masih sering bersama, karena sama-sama menjadi instruktur taekwondo di perguruan ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/244925187-288-k138135.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Novela JuvenilFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...