Haii..Hari ini tepat dua puluh hari sejak awal menulis kisah Aida dan Faris. Doakan bisa menjalani setengah waktunya ya....Eits..jangan lupa vomentnya. Makasih.
***
Faris menghempaskan tubuhnya di sofa yang berseberangan dengan ayah dan Mama Sari. Kepalanya dibiarkan bersandar di sandaran sofa sedang tangannya mengacak-acak rambutnya. "Harusnya Ayah nggak begitu pada Aida!" Sinar matanya memancarkan kekecewaan pada ayahnya.
"Kenapa? Hukuman itu sangat pantas untuk anak yang bandel seperti adikmu! Anak gadis kok susah sekali diatur!" timpal Tn. Anton masih dengan suara yang keras. Seolah sengaja agar suaranya bisa terdengar oleh Aida dari kamarnya di lantai dua.
Baru saja Tn. Anton memutuskan untuk menghukum Aida dengan tidak memperbolehkannya ikut komepetisi karya seni apapun di sekolah. Aida juga dilarang pulang sekolah sendiri dan keluyuran ke komunitas mural bersama teman-temannya selama sebulan. Aida harus fokus ke pelajaran sekolah. Keputusan itu jelas membuat Aida semakin tersudut di rumahnya sendiri.
"Harusnya Ayah bisa lebih sabar. Tahan dulu marahnya. Tanya dulu apa masalahnya, tidak asal maen hukum aja ke Aida." Jawab Faris tak kalah kerasnya.
"Ayah bukan anak kecil lagi, Ris. Nggak perlu Kamu ngajarin Ayah bagaimana bertindak!" jawab Tn. Anton geram
"Tapi Yah...." Kalimat Faris lansung dipotong ayahnya.
"Ah, sudah-sudah, Ayah capek. Pulang-pulang kantor pengen istirahat, malah kalian bikin ribut terus. Kamu juga Ris, sudah mulai Kamu berani sama Ayah?" Gantian Faris kena semprot ayahnya.
"Faris.. Kamu naik dulu ke atas, ya Nak. Bebersih badan dan istirahat dulu. Ayah biar istirahat juga." Mama Sari menengahi perdebatan sengit antara suami dan anak tirinya. Dia paham betul, kalau diteruskan bisa terjadi perang dunia ke tiga di rumahnya. Faris menurut dan ngeloyor pergi tanpa berpamitan dengan ayahnya.
"Diminum lagi tehnya, Pa" ujar Mama Sari sambil mendekatkan cangir teh ke dekat suaminya.
"Nggak selera." Jawab Tn. Anton singkat beranjak pergi ke kamar meninggalkan istrinya sendiri dalam kekalutan rasa. Ny. Sari hanya mampu menghela napas panjang sambil mengelus perutnya. Tendangan kaki kecil di dalamnya seolah menyampaikan pesan agar dirinya tetap kuat menghadapi kemelut rumahnya. "Baiklah, sayang. Mari kita selesaikan urusan ayah dan kakak-kakakmu." ujar Ny. Sari menjawab tendangan bayinya.
***
Faris melewati kamar Aida yang terkunci rapat. Ada rasa bersalah menyelinap dalam hatinya. Terbayang olehnya dari cerita teman Aida tadi bagaimana ketika adiknya dikeroyok oleh teman-temannya di sekolah tanpa ada satu pun yang bisa menolong, tidak juga dirinya. Dan payahnya lagi, kedatangannya di tempat Mural tadi justru salah sasaran. Faris merasakan dirinya nggak berguna di mata Aida. Maafkan aku Aida, batin Faris sambil berlalu ke kamarnya.
Faris mengambil gawainya, dicarinya nama Ibu di sana, dipencetnya tanda dial.
"Buk, Aida buk..." kata Faris setelah beberapa saat berkabar pada ibunya.
"Kenapa dengan Aida, Nak?" suara ibu terdengar khawatir di ujung telepon. Faris pun menceritakan kejadian hari ini yang sangat menyita perasaan dan energinya.
"Faris harus bagaimana, Buk? Faris bingung banget." tanya Faris dengan suara serak. Ingin rasanya ia menyerah dengan keadaan. Segala usaha yang ia lakukan untuk Aida semua berakhir sis-sia. Bahkan niat baiknya selalu berbalik memperkeruh suasana di antara dia dan adiknya.
"Temui adikmu malam ini juga. Jangan biarkan dia semakin merasa sendiri, Nak." Ibu mencoba menasehati Faris.
"Tapi, Bu, bagaimana kalau Aida tambah marah padaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Teen FictionFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...