"Ini buat Ibu." Aida menyorongkan benda yang terbungkus kertas kado berwarna dengan ikatan pita yang cantik.
"Apa ini, Nak?" Ibu menerimanya dengan mata berbinar
"Nggak boleh dibuka sekarang, nanti aja pas di jalan atau pas sampai rumah, Bu." ujar Aida sambil menghambur ke pelukan ibunya. Tangis Aida pecah.
Rasanya baru kemarin ia bisa tertawa lepas bersama ibu setelah sekian lama terpisah baik lahir maupun batin. Kini, ibu sudah harus kembali lagi ke Temanggung.
Mereka berpelukan sangat lama membuat Faris berkali-kali membenahi letak kacamatanya hanya untuk menutupi matanya yang berkaca-kaca. Satu permintaan ibu sudah berhasil ia laksanakan. Kali ini ia harus bisa memenangkan tantangan yang ibu berikan padanya, pergi sementara jauh dari ibu untuk kembali kelak membawa kebahagiaan untuk ibu.
"Tetaplah menjadi baik ya, Nak!" ujar ibu sambil membelai rambut Aida setelah suasana kembali terkendali. Aida mengangguk sambil terus mengusap air matanya yang belum bisa berhenti.
"Kamu juga harus bisa bawa diri baik-baik ya , Nak. Ibu menunggumu untuk kembali." Faris tersenyum dan mengangguk mengamini nasihat ibunya.
"Bu, ini tadi ada titipan dari Mama Sari, Oleh-oleh buat teman dan tetangga di sana katanya." Faris menggeser kardus oleh-oleh yang ia belinya semalam atas instruksi Mama tirinya lewat telepon.
Bu Rayahu memang tidak mengunjungi rumah sakit lagi untuk berpamitan. Walaupun ia sudah mengikhlaskan semuanya, tetapi ia tetap menjaga perasaan Mama Sari untuk tidak sering bertemu dengan Anton.
"Sampaikan terima kasih pada mamamu ya, Nak." ujar bu Rahayu seraya tersenyum ke Faris dan Aida.
"Ibu pamit masuk dulu, sebentar lagi kereta datang." lanjut ibu sambil melihat jam tangannya dan bersalaman dengan kedua anaknya
"Ibuk......!!!" teriak Aida
Bu Rahayu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Aida berlari ke arah bu Rahayu dan diikuti Faris. Mereka bertiga berpelukan seolah tak ingin dipisahkan.
"Ibu baik-baik di sana ya , Bu. Aku dan Aida akan selalu menghubungi Ibu. " ujar Faris dengan suara tertahan.
"Nanti kalau liburan, Aida dan Kak Faris pulang, Bu." Aida ikut menimpali.
"Iya, sayang. Pintu rumah Ibu akan selalu terbuka untuk Kalian. Terimakasih sudah menjadi anak-anak yang kuat buat Ibu. " jawab ibu sambil mengelus kepala Faris dan Aida bergantian.
Aida dan Faris bergeming melihat langkah ibunya yang menjauh dari mereka, masuk ke dalam ruang tunggu kereta yang akan mengantarkannya pulang ke kampung halaman. Faris menggenggam tangan Aida seolah memberikan kekuatan pada adiknya yang masih bersedih karena kepulangan ibu.
"Kita pulang, Dik. Kereta ibu sudah berangkat." Deru suara kereta menjauh akhirnya memaksa Aida menuruti ajakan kakaknya.
***
Berkali-kali bu Rahayu mengerjapkan mata menahan buliran bening yang hendak menyeruak turun. Perjalanan kali ini kebetulan ada teman duduk di sebelahnya yang membuat bu Rahayu sedikit sungkan jika harus menumpahkan air matanya. Dia mengarahkan pandangan ke arah luar jendela, mencoba menikmati keindahan lukisan alam yang terpampang apik di depan matanya.
"Bu, lihat pohonnya bergerak!" Ingatan bu Rahayu melayang beberapa tahun lalu saat Aida kecil kegirangan melihat pohon-pohon dari balik jendela kereta.
"Aida ingin menggambarnya, Bu." Lanjut Aida kala itu
"Bukan, Dik. Itu bukan pohonnya yang bergerak, tapi kereta kita yang maju." sela Faris mencoba menjelaskan kepada adiknya.
"Bukan, Kak. Tuh, lihat..pohonnya yang gerak!" Aida tetap kekeh dengan apa yang dilihatnya.
"Percaya, deh sama Mas. Nilai IPA-ku kan seratus terus. Itu ada di pelajaranku, Dik." ujar Faris meyakinkan.
Bu Rahayu hanya tersenyum mengamati polah kedua anaknya. Faris yang selalu melihat segala sesuatu dari sudut sains sedang Aida dari sudut pandang seni. Dua anak dari orang tua yang sama nyatanya sangat berbeda dalam karakter dan kecondongannya.
Obrolan-obrolan itu kini sudah jauh meninggalkannya. Dulu, hampir setiap liburan sekolah, ia mengajak anak-anak mengunjungi Kota Bandung, tempat ayah mereka tinggal. Terbayang bagaimana repotnya melakukan perjalanan sendiri dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Namun, semua itu dijalaninya dengan suka cita, apalagi jika melihat binar mata Faris dan Aida menikmati pemandangan dari atas kereta dan ketika akhirnya bertemu dengan ayah yang sangat mereka rindukan.
Bu Rahayu menarik napas panjang dan memejamkan mata mencoba menghalau kenangan yang menari-nari di kelopak matanya. Sejurus kemudian, ia teringat bungkusan yang diberikan Aida untuknya tadi.
Dibukanya tas yang ada di pangkuannya. Tampak bungkusan merah jambu dengan hiasan pita di atasnya. Ah, Aida memang paling jago membuat ibunya penasaran, batin bu Rahayu. Dibukanya pelan-pelan ikatan pitanya dan disobeknya perlahan kertas yang membungkus benda datar yang ada di dalamnya. Buku.
Untuk Ibu, Malaikat Tak Bersayapku
Dariku Gadis Kecilmu yang Sempat Tersesat dalam Jalan Buntu
Bu Rahayu membaca tulisan di atas secarik kertas tertempel di sampul buku yang warnanya senada dengan bungkusnya, merah jambu.
Mata bu Rahayu berbinar saat membuka buku pemberian Aida yang berisi sketsa karya anak gadisnya. Setiap lembar berisi lukisan diselingi dengan puisi di lembar berikutnya yang menggambarkan makna dari sketsa di depannya. Selain pintar melukis, Aida rupanya bisa juga menyusun aksara dalam rangkaian kata-kata.
Bu Rahayu membuka acak lembar buku di depannya.
Terlihat lukisan sedikit abstrak, tetapi lamat-lamat ia bisa menangkapnya sebagai sebuah rumah yang sangat ia kenal. Rumah dengan setengahnya dinding kayu di bagian atas dan tembok di bagian bawahnya. Halamannya yang dipenuhi dengan rerumputan hijau dan beberapa pohon di sekelilingnya. Jauh di belakang rumah itu, tampak dua buah gunung menjulang, Sindoro-Sumbing dengan segala keanggunannya. Hati bu Rahayu terasa ngilu saat melihat pemandangan yang kontras di luar pagar rumah. Gadis kecil berkuncir dua. Wajahnya penuh dengan gurat kesedihan memandang ke arah rumah sedangkan kakinya tampak melangkah menjauh.
Dibukanya halaman selanjutnya yang berisi puisi.
Pulang
(Teruntuk Orang yang selalu menari dalam benakku – Ibu)
Jika ada yang bilang tak perlu bertemu jika kamu Rindu
Itu jelas Keliru
Jika ada yang bilang waktu adalah sebaik-baik pengobat Rindu
Itu juga Keliru
Bagiku Pulang adalah jawaban yang hakiki
Atas beratnya rasa rindu yang membelenggu
Aku yang mengalami
Aku yang merasai
Aku ingin pulang ke Rumah
Karena Rumah adalah tempat ternyaman bagiku
Lalu, kepada siapa rinduku ini?
Entahlah, Aku sendiri tak tahu
Aku ingin melepaskan beban yang terlampau berat
Menghimpit tubuh mungilku
Aku ingin pulang
Melupakan semua dendam
Menghapus semua kenangan kelam
Karena Bagiku,
Pulang adalah kembali untuk menerima dan diterima.
Bu Rahayu tak ingin menyeka buliran bening yang terlanjur jatuh membasahi jilbabnya. Ia ingin menumpahkan segala rasa yang menghimpit batinnya. Aida, gadis kecilnya yang sempat pergi, kini sudah kembali dalam dekapannya. Kalau Aida sudah bisa menemukan jalan pulang, ia juga harus bisa, karena pulang adalah kembali untuk menerima dan diterima.
![](https://img.wattpad.com/cover/244925187-288-k138135.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Teen FictionFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...