Part - 19 : Bandung Lautan Mural

45 7 0
                                    

Hai Guys..update lagi ya. Apaan neh, Bandung lautan Mural? Bukannya lautan api ya? He..he..ok dah..kita simak kelanjutannya. Jangan lupa vomentnya. Makasih

***

"Angkat teleponnya, Aida! Please" kata Faris hopeless dalam hati. Tiga kali dia berusaha untuk menelepon adiknya, semuanya ga diangkat. Faris kesel dia ga bisa belain adiknya. Melihat sketsa Aida yang basah, Faris jadi teringat Lanang. Faris merasa Aida ada benarnya, kalau dia adalah pahlawan kesiangan.

Tapi, menyesal bukan solusi. Dia berusaha menemukan Aida. Faris mengerahkan daya analisanya. Kemana kira-kira tempat nyaman yang dituju Aida.

"Kamu akan cari dimana Aida, Ris?" tanya Mama Sari di tengah proses berpikir Faris.

"Mmm... Cafe! Ya, Faris bertemu Aida di Cafe Coffee Pasta tempo hari. Faris akan ke sana Ma," Faris optimis. Dia segera pamit dan segera melaju motor yang dia pinjam dari Mama Sari.

Pukul 09.30 WIB. Faris mengecek jam tangannya. Hari masih pagi, pantas saja parkir cafe masih kosong hingga Faris bisa bebas memilih tempat. Karyawana cafe sedang membalikkan tanda cafe 'buka' ketika Faris tiba di pintu cafe. Kemungkinan besar belum ada pengunjung di dalam. Tapi untuk menghilangkan penasaran, Faris akhirnya bertanya juga kepada karyawan itu.

"Belum ada pengunjung, A. Kita bukanya jam sepuluh," jawab karyawan itu dengan logat sunda yang masih kental.

"Oh, saya mencari adik saya, Aida namanya. Dia suka kumpul di sini sama temen-temennya dari komunitas mural. Barangkali Mas-nya ngeliat?" Faris mengorek info lebih detil.

"Oh, Teh Aida, ya? Dia tadi pagi teh ke sini. Pas saya mau buang sampah. Saya suruh masuk, tapi dia ga mau. Ga jadi ketemuan di sini, katanya."

"Ke mana dia, Mas?" tanya Faris ga sabar.

"Ini teh bener kakaknya Teh Aida?" Karyawan cafe sedikit curiga.

Faris melihat nametag yanag menerangkan karyawan itu bernama Wawan. "Beneran, Mas Wawan. Saya dari Temanggung, kalau Aida sudah lama tinggal di Bandung," Faris berusaha menjelaskan. Mungkin, karyawan cafe itu masih aneh mendengar logat bicaranya yang sedikit berbeda dengan Aida.

"Aa kok laki-laki, teh Aida mah da perempuan,"

Faris bingung. Jenis manusia macam apa yang dihadapinya ini.

"Ya, saya ini kakak laki-lakinya,"

"Oh, bilang atuh. Kakak laki-lakinya," kata Wawan "Sekarang mau kemana?" tanya Wawan

"Nyari Aida, Mas," Faris berusaha meningkatkan level kesabaran.

"Aida yang mana nih, A?" Wawan berlagak ngetes Faris. Jelas-jelas tadi dia bilang kenal dan melihat Aida. Tapi demi menemukan Aida, Faris berusaha bertahan mengadapi segala jenis ujian, termasuk pertanyaan Wawan.

"Aida yang anak mural. Rambutnya hitam sebahu, agak ikal, dikuncir tapi ngasal. Kulitnya ga putih-putih amat. Matanya bulat, hidungnya mancung. Lalu..." perkataan Faris tak selesai.

"Oh, standar itu sih," kata Wawan dengan datar.

"Maksudnya?" Faris 100 % ga ngerti dengan maksud Faris.

"Iya, itu mah standar. Bukan tipe saya, ga akan saya perhatiiin," kata Wawan sok ganteng.

"Arrghh... terus yang tadi pagi Mas-nya liat itu siapa?" Faris udah ga sabar.

"Saya liat siapa? Banyak atuh, A." jawab Wawan lurus.

"Teh Aida yang tadi pagi Mas-nya liat itu Aida yang mana?" Faris berusaha detil.

RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang