Part-34 : Big Hug

63 8 0
                                    

"Sugeng Rawuh, Bu. Monggo, pinarak riyin." Bi Irah yang asli Wonosobo Jawa Tengah dengan logat jawanya yang fasih meyambut kedatangan Ny. Rahayu.

"Maturnuwun." jawab Bu Rahayu sambil menyalami Bi Irah.

"Diminum dulu tehnya, Bu." ujar Bi Irah sesaat setelah Bu Rahayu duduk di ruang tamu. Diedarkannya pandangan ke sekeliling. Tampak foto pernikahan Anton dan istrinya terbingkai dalam pigura besar terpampang di dinding. Ornamen dan interior di ruang tamu ini sudah sangat berubah ketika terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini. Ini pasti sentuhan istri Mas Anton, sukurlah Mas Anton sudah mendapat pengganti yang lebih baik dariku, batin Bu Rahayu.

"Dari sana jam berapa, Bu?" lanjut Bi Irah membuyarkan lamunan Bu Rahayu.

"Jam tujuh malam, Bi." jawab Bu Rayahu sambil menyesap tehnya.

"Bi, maturnuwun sanget nggih, sudah menjaga Aida selama ini. Ngapunten sudah sangat merepotkan." Ujar Bu Rahayu sambil mengusap kepala Aida yang duduk di sampingnya.

"Nggak berterimakasih padaku juga, Bu?" timpal Faris yang muncul dari garasi sambil tertawa.

"Walah, kalau itu sudah tentu to, Le. Ndak usah diminta, Ibu sudah sangat berterimakasih padamu, Le. Semoga anak-anak Ibu rukun terus sampai tua, sukses dunia akhirat." doa Bu Rahayu

"Amiinnnn!!!" Aida dan Faris kompak mengamini doa ibunya sambil menengadahkan tangan, lalu mereka tertawa bersama.

"Monggo, kita sarapan dulu, Bu." tawar Bi Irah.

"Makasih, Bi. Kalau boleh saya mau numpang mandi dulu, gerah rasanya semalaman di kereta." jawab Bu Rahayu.

"Ealah, lha kok pakai bahasa numpang to, Bu. Monggo, lha wong ini juga rumah anak-anaknya Ibu. Monggo, saya antar ke kamar tamu." ujar Bi Irah sambil menunjuk jempolnya ke arah sebuah kamar di seberang Bu Rahayu.

"Bi, Ibu biar di kamarku saja, ya." pinta Aida. Bi Irah tampak ragu mengingat kondisi kamar Aida yang selalu mirip kamar pecah.

"Tenang, Bi. Sudah kubereskan tadi pagi, Kinclong!" ujar Aida seolah tahu kekhawatiran Bi Irah.

Faris tersenyum melihat keseriusan Aida untuk berdamai dengan ibu. Ia berdoa semoga akan terus seperti ini, tidak ada lagi kesalahpahaman yang akan memecah belah keluarga kecilnya yang memang sudah terpecah akibat perceraian ayah ibunya.

***

Ibu terperanjat begitu masuk ke dalam kamar Aida. Ia mengagumi lukisan-lukisan yang mengiasi dinding dan atap kamar anak gadisnya. Barang-barang yang ada di meja dan lemari bukunya semuanya unik. Jiwa seni Aida memang benar-benar luar biasa, batin Bu Rahayu.

"Wow, amazing Aida. Luar biasa anak gadis Ibu." pujian ibu berhasil membuat pipi Aida bersemu merah. Sudah lama rasanya ia tak mendengar suara ibu saat memuji lukisannya beberapa tahun lalu saat dirinya masih kecil. Dan, kalimat itu tidak ada yang berubah. Seolah menjadi mantra sakti ibu untuk menyemangati dirinya dan Faris kala itu.

"Terimakasih, Bu. Masih amatir." Aida menjawab sambil tertawa malu.

"Sini anak ibu." ujar Ibu sambil merentangkan kedua tangannya siap memeluk Aida. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Aida langsung mengambur ke pelukan ibunya.

"Ibu kangen banget sama Aida." ujar ibu sambil terus memeluk Aida. Perlahan bulir bening menetes dari kedua matanya. Aida mendongak dan mengusap air mata ibunya. Ia berjanji tidak akan membuat ibunya menitikkan air mata kesedihan karena ulahnya.

"Aida juga kangen, Bu. mulai saat ini, Aida janji nggak akan mengecewakan ayah dan Ibu. Maafkan Aida, Bu." jawab Aida semakin erat memeluk ibunya, seolah nggak ingin dipisahkan lagi.

RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang