"Gua mo minta maaf ama Lo Aida atas kejadian tempo hari. Sungguh Gua nggak bermaksud jahat ama Lo. " Gigi mencoba meyakinkan Aida.
Aida bergeming sambil menatap mata Gigi seolah mencari kejujuran di sana.
"Serius, Da. Gua hanya kasian aja sama Lo karena lagi suntuk gegara ulah teman-temanmu." imbuh Gigi.
"Ok. Nggak masalah. Selesai ya urusan tempo hari, Deal." Aida menyalami Gigi sambil tersenyum. Begitu pula dengan Gigi yang tersenyum penuh kemenangan. Selangkah lagi, rencananya akan berhasil.
"Sebagai bukti permintaan maaf, Gua mau bantuin Lo nunjukin cat-cat yang keren buat proyek mural di Cafe nanti." Gigi mencoba membujuk Aida
Mata Aida berbinar mendengar ajakan Gigi. Tetapi segera teringat pesan kakaknya untuk segera pulang.
"Sori, Gi. Gua sebenarnya pengen banget ikut, tapi..." Aida melihatkan jam di gawainya ke Gigi
"Tenang, Da..Cuman sebentar kok. Paling enggak ada sejam Lo dah bisa nyampe ke rumah lagi." Gigi meyakinkan Aida.
"Janji, deh,, Gua anterin pulang nanti setelah dari ngeliat cat, Gimana? Ok kan?" tanya Gigi sambil menyalakan mesin motornya. Aida masih bergeming .
"Ayo, naik sini, kelamaan mikir, ntar semakin sore, tau?" ajak Gigi sambil menepu jok belakang motornya mempersilakan Aida naik. Aida pun terpaksa ikut.
Gigi memberikan tanda kepada kedua temannya untuk mengikutinya.
"Tenang, mereka teman-temanku dari komunitas sebelah, aman." jelas Gigi pura-pura menenangkan Aida. Aida sama sekali tidak punya firasat buruk apapun atas apa yang akan menimpanya.
***
"Hallo...hallo..Kak Faris masih di situ?" Suara Eva di ujung telepon membuyarkan kebengongan Faris
"Loe nggak berusaha nyegah Aida, Va?" tanya Faris setelah bisa menguasai rasa kagetnya.
"Sudah, Kak. Tapi Aida mencoba meyakinkan, semua akan baik-baik saja, Ada Gigi yang ia kenal." jawab Aida
"Aku juga dah ngingetin tentang lomba seni, Kak." Eva merasa ada yang benar-benar nggak beres mendengar respon Faris.
"Ok, Ok, Va. Makasih ya atas infonya. Thanks banget dah perhatian banget sama Aida." Faris segera mengakhiri pembicaaraannya dengan Eva dan bergegas mencari nomor Aida di gawainya.
Faris berkali-kali mencoba menghubungi nomor Aida, tetapi tidak ada jawaban. "Please, Aida. Angkat telpon Mas." Faris bicara sendiri saking gusarnya. Ia mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia melongok ke keluar lewat jendela kamarnya di lantai dua. Berharap ada Aida pulang naik ojol, tetapi nihil.
Perasaan Faris campur aduk tak keruan. Ia bimbang mau menghubungi ayahnya atau nggak, karena Faris yakin ayahnya baru menyetir. Ia nggak berani mengganggu konsetrasi ayahnya. Apalagi dengan laporan belum pulangnya Aida, bisa dipastikan amarah ayahnya akan memuncak kembali. Faris nggak berani ambil risiko.
"Bi......Aduhh..tolong..!!" suara teriakan Mama Sari memenuhi seisi rumah. Spontan Faris berlari turun mencari arah suara.
"Ya Allah, Bu...kenapa bisa begini." Bi Irah membantu Mama Sari yang terduduk di lantai. Darah segar tampak mengalir di kedua pahanya.
"Bi, Aku perdarahan. Bayiku bi, bayiku..." Mama Sari meraung sekaligus menahan rasa sakit di perutnya. Rupanya Mama Sari terpeleset saat keluar dari kamar mandi di kamarnya. Bulan ini kandungannya memasuki bulan HPL.
Faris yang menyeruak masuk ke kamar tidak berani mendekat. Ia nggak tega melihat kondisi mama tirinya. Selama ini Faris selalu melihat Mama Sari ceria dan sehat walau kandungannya sudah sangat besar. Ia tak pernah absen menebarkan senyum keceriannya di rumah. Dan saat ini Faris menyaksikan mama tirinya meraung kesakitan sekaligus ketakutan akan nasib kandungannya.
"Faris telepon ayah, ya Ma?" Faris menawarkan bantuan. Mama Sari menoleh ke arah Faris tak memberikan jawaban.
"Buruan, Nak Faris, telepon ayahmu. Malah bengong.!" Suara Bi Irah membuat Faris segera menghubungi ayahnya. Faris sangat bingung, apa yang harus disampaikan ke ayahnya. Keadaan mama Sari saja kah atau sekaligus dengan Aida yang sampai sesore ini belum pulang.
"Apa? Sekarang kondisi mama seperti apa Ris?" suara ayah terdengar kaget mendengar penuturan Faris tentag keadaan mama Sari. Faris memutuskan hanya mengabarkan kondisi mama Sari. Urusan Aida biar ia handel dulu.
"Mama perdarahan. Ayah segera pulang, ya. Hati-hati jangan ngebut nyetirnya, Yah." jawab Faris mengkhawatirkan ayahnya jika sampe terjadi apa-apa di jalan karena konsentrasinya terganggu.
"Ayah masih dua puluh menitan sampai rumah, Ris. Macetnya minta ampun." Suara ayah terdengar lemas.
"Yah, biar mama Faris bawa ke rumah sakit ya, Yah. Faris akan mencari mobil online,dulu."
"Ok..segera kabari Ayah ya, nanti ayah langsung ke rumah sakit saja."
***
Faris mondar-mandir di depan UGD. Perang batinnya semakin berkecamuk. Ia khawatir dengan kondisi mama tirinya yang mengalami banyak perdarahan dan sekaligus kalut dengan keberadaan Aida. Terbayang seringai senyum Gigi tempo hari saat dirinya digelandang masuk oleh ketua komunitasnya. Ada sorot dendam di mata Gigi. Dan Faris berharap keberadaan Aida saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan kekhawatirannya.
"Gimana, Mama. Ris?" tanya Ayah sambil mengguncang bahu Faris.
"Mama sedang diperiksa di dalam, Yah. Tidak boleh ditemani. Ayah duduk dulu." Faris menenangkan ayahnya.
"Gimana ceritanya bisa jadi begini, Ris." Ayah mengacak-acak rambutnya. Faris menceritakan kejadian sejauh yang ia ketahui.
"Bi Irah mana?" tanya ayah menyadari asisten rumah tangganya absen ndak ikut menunggui istrinya
"Faris minta tolong Bi Irah untuk menyiapkan baju-baju mama dan perlengkapan lainnya, Yah. Nanti kalau dah dapat kamar, biar menyusul ke sini." terang Faris.
Diam-diam Tn. Anton memuji kegesitan dan kecerdasan anak laki-lakinya ini.
"Aida mana?" tanya ayah
Faris tergagap mendengar ayahnya mengabsen Aida. Ia menengok gawainya, berharap ada panggilan balik atau paling nggak pesan masuk dari adiknya. Sepi.
"Faris, kenapa diam? Aida manaaa??? jangan bilang ia kabur lagi! " gertakan ayah membuat ciut nyali Faris.
"Dengan keluarga Ny. Sari!?" suara petugas menghentikan percakapan ayah dan Faris. Spontan kedua bapak anak itu menoleh ke arah sumber suara.
"Saya !" Ayah dan Faris kompak menjawab.
"Saya, Sus. Suaminya." Ayah akhirnya mendekati perawat tersebut.
"Silakan mendaftar dulu ya, Pak, di bagian pendaftaran UGD. " jelas perawat kepada Tn. Anton
"Bagaimana keadaan istri saya, Sus." tanya ayah sambil kepalanya melongok ke dalam
"Pasien atas nama Ny. Sari masih diobservasi di dalam Pak." jawab petugas
"Saya nggak bisa masuk menemani Sus?" desak Tn. Anton
"Maaf, Pak. Belum bisa. Nanti akan dikabari jika sudah boleh ditunggui." Petugas itu pun pamit masuk lagi ke dalam.
Faris menangkap kekhawatiran yang amat dalam di mata dan gerak tubuh ayahnya. Diam-diam muncul pertanyaan dalam diri Faris. Akankan sebegitu khawatirkah ayah kala ibunya dulu kesakitan saat hendak melahirkannya atau Aida? Apakah cinta ayah ke mama Sari sama besarnya cinta Ayah ke ibunya dulu? Kalau iya, kenapa mereka musti berpisah. Setiap kali mengingat perceraian orang tuanya, hati Faris masih saja terasa ngilu.
Selagi ayah mendaftar, Faris mencoba menghubungi gawai Aida.
"Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi." Faris terduduk mendengar jawaba dari telponnya. Badannya lemas, keringat dingin tiba-tiba mengaliri tubuhnya. Aida, kamu di mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Teen FictionFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...