Aida sibuk membuat kurva di buku sketsa barunya. Jarinya lincah membawa karbon berbungkus kayu pinus itu meliuk-liuk di atas kertas. Sesekali diliriknya buku sketsa lama yang sudah "kriting" tersiram air. Usahanya menyelamatkan sketsanya memang sia-sia, tapi tetap saja halaman yang sebagian sudah terkelupas karena menempel saat basah itu tetap dia pakai sebagai acuan.
Perhatian Aida teralihkan, gawainya bergetar. Dia melirik ke arah layarnya dengan enggan. Tapi ketika melihat nama "Faris" di sana segera dia menekan simbol gagang telepon berwarna hijau itu. Rupanya Faris memastikan adiknya itu aman di sekolah. Aida menenangkan kakaknya, dia lebih memilih di dalam kelas dengan sketsanya daripada berkeliaran di luar.
"Pulang jam berapa?" tanya Faris kemudian
"Seperti biasa," jawab Aida sambil mengarsir sketsanya
"Aku jemput ya?" Faris menawarkan jasanya
"Ga usah, aku pulang pake ojol aja. Eva bakal nemenin aku sampai ojolnya dateng," Aida menolak halus.
"Yakin ga mau dijemput?" Faris sangsi, ada sedikit kecewa dalam nada suaranya.
"Yap!" Aida yakin
"Kenapa? Takut kalah tenar punya kakak se-ganteng aku ya, Dek?" goda Faris
"Ih... apaan sih? Ya, ganteng lah, kan laki-laki. Hahaha... Pulang duluan aja. Aku mau nyelesein dulu sketsanya,"
"Masih ada dua hari lagi, kamu santai aja," Faris khawatir Aida pulang telat lagi. Bisa hancur proposalnya kepada Ayah.
"Mm.. iya sih, tapi kalau udah di rumah, moodku turun," Aida beralasan.
"Kenapa? Ayah?" Faris memastikan.
"Mm... Aku cuma menghindari mood turun. Waktunya mepet," Aida terdengar sangat khawatir.
"Aida... Aku udah ngobrol sama ayah, kita lihat tiga hari kedepan. Kalo ga ada masalah, kamu bisa ikutan mural,"
"Mmm.. masa sih?" hati Aida terlonjak bahagia. Dia segera berjanji dalam hati ga akan mencari masalah.
"Kamu ga percaya? Makanya, please... pulang ke rumah tepat waktu ya. Aku dah belain loh,"
"Percaya sih, Cuma.." Aida tak menyelesaikan kalimatnya.
"Jadi aku jemput ya?" Faris masih penasaran.
"Makasih, tapi kagok. Udah duluan pulang aja. Temenin Mama Sari ngobrol," Bukan Aida namanya kalau ga keukeuh.
"Oke, Aku pengen jemput cuma nyari pecel lele terenak di Bandung aja sih,"
"Hiiiii... modus! Nanti aku traktir deh kalo udah ikut lombanya,"
"Hahaha... oke, Aku pulang duluan yaa. Sampe ketemu di rumah," Faris menyerah.
Tak berselang lama setelah Faris menelepon, Eva menghampiri meja Aida. Entah mengapa Aida merasa sekarang Eva jadi perhatian banget sama dia. Apa karena kejadian di toilet kemarin? Aida telah salah sangka mengira semua temennya bersalah atas perundungan yang terjadi padanya. Termasuk Eva yang sering melaporkan kalau dia bolos sekolah. Pernah suatu saat Aida merasa Eva dekat dengannya hanya sebagai tukang mata-mata guru. Kini Aida sadar, Eva perhatian kepadanya, dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai sekretaris kelas. Betapa sering Aida merepotkannya selama ini.
"Aida, istirahat, yuk!" ajak Eva
"Kamu duluan aja, gue beresin sketsa dulu. Dikit lagi," Aida menolak halus.
"Ga bisa ditunda?"
"Sayangnya engga," Aida mantap
"Masih ada dua hari lagi kok," sama seperti Faris, Eva berusaha merayu Aida.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Novela JuvenilFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...