Gudang cat yang disebutkan Gigi tampak tua. Aida ragu di dalamnya ada banyak cat. Warna cat dinding gudangnya saja sudah pudar. Matahari yang condong ke Barat menyinari bunga Ilalang yang menutupi sebagain besar halaman gudang. Posisi gudang yang cukup jauh dari jalan raya membuat suasana sepi. Hanya beberapa burung gereja masih sibuk hinggap berpindah dari satu tempat ke tempat lain membawa ilalang kering untuk sarangnya.
"Lumayan jauh dari jalan ya, Gi?"Aida sedikit khawatir.
"Kamu tenang aja, hasilnya ga akan kecewa," Gigi tersenyum tapi Aida masih tetap khawatir. Diliriknya kedua teman Gigi di belakang, mereka tampak lebih asing sekarang. Keduanya jarang sekali berbicara. Salah seorang yang berjaket warna biru donker mengenalkan dirinya Erik, kadang dia tersenyum jika Aida menoleh padanya. Tapi, teman Gigi yang berkaos hitam panjang dengan tudung itu sama sekali ga pernah senyum. Wajahnya selalu serius dan dingin. Niko namanya. Ah, Aida ga terlalu peduli dengan meraka. Dia berpikir hanya akan bertemu dengan mereka kali ini saja.
Terdengar suara kereta dari jauh, menyadarkan Aida jika gudang ini tak jauh dari stasiun. "Ini dekat dengan stasiun ya, Gi?" tanya Aida memastikan.
"Mmm... iya." Jawab Gigi di sela usahanya mengurai rantai yang gagang pintu.
"Komunitas di jalan stasiun ambil dari sini cat-nya?" tanya Aida lagi.
"Mmm... Ya, sebagian," jawab Gigi lagi. Kali ini jawabannya sedikit menguatkan Aida untuk tidak terlalu khawatir. Gigi menarik rantai yang membelit pintu gudang. Suaranya yang menggema mengusik burung – burung gereja hingga mereka beterbangan ke udara. Riuh suara cicitnya memprotes Gigi. Tapi Gigi tak peduli, dia menggeser pintu gudang dengan roda berdecit memekakkan telinga. Gigi memasuki gudang yang gelap tak ada lampu yang menyala, hanya cahaya dari luar yang menyeruak masuk menimpa tong – tong besar dan beberapa kaleng di atasnya.
"Ayo masuk! Keburu sore," kata Gigi ketika melihat Aida hanya terdiam di luar tampak enggan memasuki gudang. Aida melangkah masuk dengan ragu. "Bro, tolong nyalain lampunya!" perintah Gigi pada Niko. Niko mengangguk lalu masuk ke dalam gudang dan berbelok ke kanan. Gigi melanjutkan langkahnya ke dalam gudang. Aida mengikutinya dengan jalan perlahan. Erik menyejajari langkah Aida "Yuk, biar cepet beres!" katanya seolah datang ke tempat ini adalah suatu yang tak terlalu dia suka. Aida mengangguk.
Bagian dalam gudang penuh dengan debu. Tampak makin banyak tong-tong besar. Lampu belum juga menyala, ruangan semakin gelap. "Ini semua cat, Gi?" tanya Aida memastikan. Suaranya menggema memenuhi ruangan gudang. Dia berjalan mengikuti punggung Erik yang seolah sudah hapal dengan jalur di gudang ini.
"Ya," jawab Gigi. Wujudnya sudah tidak keliatan, Aida berjalan terlalu lambat hingga langkah kaki Gigi tidak terkejar. "Cat nya disini," kata Gigi setengah berteriak.
Aida bingung harus mengambil arah yang mana. Erik menunjukan kode arah dengan kepalanya. Mereka berbelok ke kiri. Tampak Gigi berdiri di depan beberapa tumpukan tong, di atasnya tampak kaleng-kaleng yang lebih kecil. Suasana muram. Setelah kurang lebih dua langkah Aida di belakang Gigi, lampu menyala. Ruangan tampak lebih jelas. Ada dua kursi yang berjajar di sebelah kanan Gigi. "Coba liat," Gigi berkata perlahan seolah tahu Aida sudah dekat dengannya tanpa membalikkan badan. Aida berjalan menghampiri Gigi. Tampak di depannya tiga kaleng cat yang telah dibuka. "Bagaimana menurut, Lo?" tanya Gigi tanpa mengalihkan pandangannya dari kaleng cat di depannya.
Aida mengambil salah satu kaleng cat itu, lalu memiringkan sedikit posisi kaleng untuk memastikan warnanya. "Bagus, Gi. Pengencerannya biasa?" tanya Aida.
Gigi menganggukkan kepalanya lalu mengarahkan pandangannya pada Aida. Pandangan tajam yang serius "Lo tau? Ga ada yang biasa sama pilihan gue. Cat ini udah gue siapin sejak awal."
Aida merasakan ada sesuatu yang berbeda dari nada bicara Gigi. "Lo emang selalu prepare segala sesuatunya ya, Gi?"
"Ya, gue selalu siapin semuanya dengan baik. Terbaik. Tapi, kemudian Lo datang dan ngerusak semuanya,"
"Maksud Lo, Gi?" Aida merasa terancam dan takut dengan gelagat Gigi. Dia mengambil langkah mundur perlahan.
"Ga usah pura-pura polos. Gue percaya aja lo jadi pendatang di komunitas gue. Tiba-tiba Lo ngerusak kepercayaan Pak Jenderal. Ngomong apa Lo sama dia?" tuduh Gigi sambil berjalan mendekat penuh intimidasi.
"Gue ga ngomongin apa-apa?" Aida berusaha meyakinkan Gigi, tetapi gagal. Secepat kilat tangan Gigi menghempaskan cat di tangan Aida hingga mengotori lantai.
"Lalu, kenapa sketsa kamu yang terpilih?" Gigi berteriak, emosinya meledak.
"Gi, gue tau lo marah. Tapi, kita bisa omongin ini baik-baik, oke?" Aida berusaha meredam kemarahan Gigi. Diarahkan pandangannya kepada Erik yang sejak dari tadi berdiri mengawasi mereka.
"Jawab pertanyaan Gue!" Gigi berteriak.
"Gue ga tau, Gi. Reno bilang sketsa gue bagus. Lalu dia bawa sketsa gue ke pak Jenderal terus..." Aida tak meneruskan kata-katanya.
Gigi mengambil satu kaleng yang disimpan di atas drum dan menghempaskannya ke lantai. "Aarrrrggghhh... dasar cari muka!" Gigi berteriak lebih keras.
Aida gemetar ketakutan, instingnya memerintahkannya untuk lari. Tapi Erik yang sedari tadi mengawasi sigap menghadang dan menangkapnya. Ditariknya tangan Aida dengan kasar. "Kita selesaikan sekarang!" kata Erik sambil membawa paksa Aida ke tempat semula.
"Lepasin, gue mau pulang," Aida menggeliatkan badannya berusaha melepaskan diri.
Suara gawai Aida berdering, suaranya mengalihkan perhatian semua orang di ruangan. Aida berusaha melepaskan tangannya untuk kabur, tapi Erik dengan sigap mengunci pergerakan tangan Aida dan Gigi segera mencari sumber suara. Aida sekuat tenaga melepaskan diri tapi percuma, tenaga tanpa makan siang yang layak bukan tandingan tenaga laki-laki Erik. Ide kreatif Aida saat kepepet muncul. Digigitnya tangan Erik sekuat tenaga, hingga kedua tangan laki-laki itu melepaskan kunciannya. Gigi yang membungkuk di hadapannya ditendang hingga terjungkal. Aida berhasil terlepas dari Gigi dan Erik. Dia berlari sekuat tenaga mengingat rute jalan dia masuk. Dering gawainya menemani sepanjang jalan pelariannya. Antara bersyukur dan menyumpahi kejadian ini, Aida senang seseorang meneleponnya.
Satu belokan lagi. Aida yakin di situ adalah pintu keluar. Tiba-tiba di hadapannya muncul Niko. Aida menghentikan langkahnya seketika. Bunyi gawainya berhenti. Harapannya meminta bantuan hilang. Dia bergerak mundur dilihat di belakangnya telah berdiri Erik dan Gigi. Aida kalah jumlah, dan jelas terperangkap. Tapi, menyerah bukanlah jenis ide kreatifnya. Diambilnya satu tong lalu digulingkannya untuk menghambat Niko mendekat. Dia segera berlari ke kiri, ke jalur yang belum pernah dia lewati. Erik dan Gigi mengejar di belakangnya. Ternyata jalan yang dipilihnya mengarah ke pintu keluar. Aida berlari sekuat tenaga menuju kebebasannya. Tapi naas, Gigi melempar kaleng cat dan tepat mengenai tas punggung Aida. Aida jatuh tersungkur mencium lantai berdebu. Debu halus beterbangan seperti harapan Aida akan kebebasannya, mural juga dukungan Ayahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Roman pour AdolescentsFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...