Erik memandang kakak beradik itu untuk beberapa saat. Pergulatan batinnya memutuskan untuk menang, bahwa dirinya merdeka untuk memutuskan apapun. Ya, keputusan adalah milik dia sendiri. Kepercayaan bukan untuk seorang teman seperti Gigi yang memperlakukan Aida sekasar itu. Apa yang terjadi jika Aida adalah dia. Bagaimana jika posisi dirinya sama seperti Faris. Gigi telah mengkhianatinya dengan melibatkannya dalam permasalahan serumit ini. Keputusannya kini telah bulat. Faris lebih dia percayai.
Erik segera berjalan mendekat mendekati Faris. Melihatnya berpihak pada Faris, Aida tersenyum penuh harap. Dia bangga dengan kakaknya Faris yang bisa meyakinkan Erik.
"Aida duluan," tolak Faris. Aida tercengang. Erik kebingungan. "Aida harus bebas duluan. Dia yang diinginkan Gigi, sumber kerumitan ini," Faris yakin 100%. Erik pun mengangguk. Dia segera berusaha melepaskan ikatan Aida.
"Kak? Kak Faris gimana?" air mata Aida meleleh.
"Ga usah khawatir. Kita semua akan bebas," ucap Faris dengan menenangkan.
Dengan penerangan gudang yang seadanya, Erik mencoba mengurai simpul mati yang dibuatnya sendiri. Ah, ternyata sama seperti permasalahan hidup, mengurai kerumitan simpul ikatan tak semudah membuatnya. Dia sama sekali tak ingat berapa simpul mati yang dibuatnya. Rasa menyesal menyergapnya dengan cepat hingga menimbulkan rasa panik. "Gue minta maaf, Aida. Gue pikir Gigi tuh Cuma pengen ngancem lo biar ga ganggu urusannya aja. Sumpah! Gue ga ngira bakal serumit ini,"
"Gue ngerti kok, Rik. Gue sendiri ga tau kalo Gigi bisa sampai setega ini sama gue," Aida menimpali.
"Sial! Tinggal satu lagi susah amat sih ngebukanya," Erik mencela ikatannya.
"Pastiin tangan lo kering, Bro," Faris memberikan solusi.
Omongan Faris benar juga. Tangannya berkeringat. Ah, pinter juga si Faris ini, Erik mengakui dalam hati. Erik melapkan tangan ke jaket dan celana jeans-nya. Udara gudang yang pengap kurang ventilasi dan ketegangan memang membuat keringatnya bercucuran. Tak lama kemudian, tali yang mengikat Aida terurai sempurna. Aida bebas.
"Makasih, Rik," ucap Aida tulus.
Aida segera memeluk Faris. "Maafin aku, Kak," ucap Aida lirih.
Betapa ingin Faris membalas pelukan Aida, tapi tangannya terikat. "Sudah Dik, ga apa. Biarkan Erik lepasin ikatan kakak dulu. Kamu diam di balik tong itu. Kasih tanda kalo Gigi datang!" Faris tak lama terbuai dalam kebahagian itu. Nalurinya memperingatkan tentang ancaman kalo Gigi bisa datang kapan saja.
Erik yang segera melepaskan tali mengikat Faris ingat betul kalau simpul Faris lebih rumit dari Aida. Dia semakin mengutuki kebodohannya mengikuti perintah Gigi. Tapi sekadar menyesal bukan solusi. Beberapa kali dia melap tangannya supaya kering. Ketegangan makin terasa. Baru beberapa saja simpul mati dia lepaskan. Akhirnya, dibuka jaketnya untuk mengurangi panas udara yang dia rasakan. Sedikit adem saja dia rasakan sudah cukup membantunya untuk fokus pada pekerjaan. Mengurai ikatan tali yang mengikat Faris.
"Erik, cepet, Rik," kata Aida dengan suara sedikit ditekan khawatir ada yang mendengar. Aida berharap Erik bisa mempercepat pekerjaannya. Rasa takutnya belum berkurang.
"Iya. Susah tau." Erik kesal diburu-buru padahal ikatannya kini tinggal satu simpul lagi.
"Tenang aja, Bro. Lo cukup fokus, pasti kerjaan lo cepet kelar," Faris menenangkan Erik supaya bisa kembali konsentrasi.
Faris emang pengertian banget, pikir Erik dalam hati. Tak lama Erik berhasil membebaskan Faris. Rasa berdosanya sedikit ditebus.
Faris segera bangkit. "Makasih, Bro," kata Faris sambil menyalami Erik. Erik mengangguk. Melihat Faris tak terikat lagi, Aida segera berlari ke arah kakaknya dan memeluknya sekali lagi. Rasa kangennya tumpah ruah. Faris membalas pelukan adiknya itu dengan penuh suka cita. Dia bahagia sekali adik kecilnya sudah kembali. Rasa sayang Aida kini mengalir tak tertahan oleh salah sangka dan praduga seperti hari-hari sebelumnya, sama seperti dirinya.
Erik ikut terharu dengan bersatunya kakak beradik, Faris-Aida. Tapi, dia juga sadar bahwa ancaman Gigi yang datang bersama bantuan bisa jadi datang kapan saja ke gudang cat itu. "Bro," Erik menepuk bahu Faris. "Ayo, cepat keluar dari sini," Erik berusaha tak membuang waktu.
Faris mengangguk tanda mengerti maksud Erik. "Lo hapal jalan keluarnya?" Faris memastikan siapa yang akan memimpin.
Erik menggeleng." Ini kali pertama gue ke sini. Niko yang punya gudang ini juga baru gue kenal semingguan ini kok," Erik menjelaskan posisinya.
"Tadi pas kabur, aku liat pintu keluar, kak. Cuma karena random, aku sekarang ga yakin hapal jalannya," Aida angkat bicara.
"Gue yang di depan, Lo bareng Aida di belakang gue," Faris menyusun siasat kabur mereka. Banyaknya tong cat yang serupa mengaburkan jalan masuk dan keluar terutama buat dia yang baru pertama kali ke sini. Faris melihat ke langit-langit gudang tampak rangka atap tanpa penutup. Dilihat dari posisinya, dia menyimpulkan jika mereka berada di dekat pojok gudang. Dia berasumsi jika posisi mereka dari pusat gudang, maka akan terlihat jalan masuk. Faris segera memimpin di depan, diikuti Erik dan Aida di belakangnya. Mereka berjalan cepat berusaha melupakan rasa sakit dan lelah yang mendera.
"Aida, takut gue lupa," kata Erik sambil menepuk pundak Aida. Dia merogoh sesuatu dari kantong jaketnya. "Ini HP lo. Sorry kalo rusak, ya?" Erik menyesal dan menyerahkan gawai Aida yang sempat dia ambil ketika Aida tak sadar diri.
Aida segera mengambil gawainya dari tangan Erik. "Oke," jawab Aida pendek berusaha menekan rasa kesalnya dan mendadak rasa sakit di punggungnya lebih kuat terasa.
"Bukan gue yang lempar lo pake kaleng, swear," kata Erik ketakutan seraya mengangkat tangan kanannya seperti oraang yang hendak mengangkat sumpah.
"Oke," jawab Aida lagi berusaha mempercayai kata-kata Erik. Urusan kabur dari sekapan Gigi ini ga ngasih kesempatan buat Aida memperpanjang urusan soal gawai dia. Dia hanya berharap semua data yang dia simpan soal mural ga hilang atau rusak.
Faris berjalan lurus lalu berbelok ke kiri. Gara-gara pembicaraan itu, hampir saja Erik dan Aida kehilangan Faris yang bergerak cepat di depan mereka. Segera keduanya mengejar Faris yang sudah berada dekat ke pintu keluar. Mereka berdua semakin semangat menjajari posisi Faris. Tapi, tiba-tiba Faris merentangkan tangannya seolah mencegah mereka menuju pintu keluar. Serentak Erik dan Aida mengerem laju lari mereka.
Pintu gudang perlahan bergeser, dan tampak wujud Gigi keluar dari baliknya. Faris tak menduga kepergok Gigi tepat di dekat pintu Gudang. Jantungnya berpacu cepat. Gigi dengan bala bantuannya telah datang, pikirnya. Mental sebeum-nya seolah bangkit menguasai pikirannya supaya jernih bersiap dengan segala sesuatu yang mungkin terjadi. Faris mengatur napasnya hingga terkendali. Badannya ditegakkan, disiapkan kuda-kuda selebar bahu. Pantang mundur.
Gigi berdiri di mulut pintu Gudang dengan raut wajah tak kalah kaget. Wajahnya memerah, otot wajahnya menegang, aliran darah kemarahan mengalir deras di pembuluh darahnya. Kekecewaan tanpak dari napas yang tak teratur. Matanya menatap satu persatu musuh di hadapannya. Faris yang sudah bersiap, Aida yang berlindung di balik punggung kakaknya, dan Erik. "Pengkhianat!!!" Gigi berteriak sambil menunjukkan jarinya ke arah Erik.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Novela JuvenilFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...