"Sukurlah, Kalian berdua diperbolehkan untuk rawat jalan, tidak ada cedera serius yang perlu dikhawatirkan." ujar ayah pada Aida dan Faris sesaat setelah mendapat keterangan dari dokter jaga IGD.
"Alhamdulillah!" Faris dan Aida kompak mendengar penuturan ayahnya.
"Yah, dalam kondisi seperti ini, Kita boleh nggak ya nengokin Mama?" tanya Faris sambil memegang bajunya yang kotor akibat penyekapan tadi. Spontan Aida juga melihat kondisi bajunya.
"Nggak apa-apa, tengokin sebentar saja agar mama nggak khawatir dengan kondisi Kalian." jawab ayah sambil mengusap rambut Aida. Mereka berdua mengangguk dan mengikuti langkah ayah menuju ruangan mama Sari dirawat.
"Yah, adik bayinya cowok apa cewek?" tanya Aida penasaran. Entah mengapa, Aida sangat antusias dengan kehadiran adiknya. Ia merasa bersalah telah membuat masa kehamilan mama tirinya menjadi sangat sulit karena ulahnya. Bahkan, sempat muncul rasa jeles dalam hatinya saat tahu mamanya hamil. Ia sangat khawatir jika perhatian ayah dan mamanya akan tercurah semua untuk adiknya, dan itu artinya ia akan tersisih. Namun, rasa itu kini sirna saat tahu ia masih menjadi prioritas bagi orang-orang terdekatnya.
"Hayo tebak, cewek apa cowok?" Bukannya segera menjawab, ayah justru ngajakin tebak-tebakan yang ditanggapi manyun oleh Aida. Faris dan Ayah tertawa melihat tingkah lucu Aida.
"Cowok aja ya! Biar Aida yang paling cantik!" jawab Aida sedikit genit.
"Idih, GR, masih ada ibu dan mama lah sebagai sainganmu?" goda Faris.
"Yee...beda kali, pesertanya kan hanya kita bertiga, Aku, Kakak dan adik!" Aida nggak mau nyerah. Ayah tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat kedua anaknya. Dalam hatinya ia bersukur akhirnya Aida dan Faris bisa kembali lagi seperti dulu.
Jarak IGD dengan ruang perawatan mama Sari yang lumayan jauh menjadi tak terasa karena obrolan mereka bertiga yang sangat asik.
"Masih jauh, Yah?" tanya Aida.
"Satu belokan lagi. Kenapa? Aida nggak kuat jalan? Masih sakitkah punggung dan kakinya?" tanya ayah menghentikan langkahnya melihat ke arah Aida.
"Kalau nggak kuat, sini Mas gendong?" ujar Faris sambil pura-pura mengambil posisi hendak menggendong adiknya.
"Ih, apaan sih, Kak. Bikin malu saja. Aida masih kuatlah." tukas Aida sambil menepis tangan Faris. Walaupun sebenarnya punggung dan kakinya masih terasa nyeri, tapi Aida memilih tak mengatakannya. Ia pikir, nanti juga akan reda sendiri. Ia sudah nggak sabar ingin segera melihat adiknya yang kata ayah dirawat gabung dengan mamanya. Cowok atau cewek ya? Seperti apa wajahnya? Seperti mama, ayah atau dirinya? Atau jangan-jangan malah mirip Kak Faris. Aida tampak terkikik, membuat ayah dan Faris menatap ke arahnya.
"Eh, kenapa Kamu Dik? Kok ketawa sendiri." tanya Faris menyelidik.
"Satu tambah satu berapa? Aku siapa?" goda Faris.
"Sialan, Gue masih sadar kale. Kakak kira aku gegar otak gitu karena jatuh tadi, gitu?" Aida menjulurkan lidah ke arah Faris.
"Nih, ruangan mama." Ucapan ayah membuat Aida dan Faris menghentikan langkah dan sekaligus percakapan mereka.
"Beneran Yah, nggak apa-apa masuk?" Faris masih ragu
"Iya, asal nanti nggak nooel-noel dulu sama adikmu, ya! " jawab ayah sambil membuka pintu perlahan, takut kalau mengganggu mama sari dan bayinya. Aida dan Faris mengekor di belakang.
Di dalam kamar bercat hijau muda ini tampak sebuah bed tempat mama Sari terbaring. Di sampingnya ada bok bayi berkelambu putih dengan seorang bayi mungil di dalamnya. Ketika mereka bertiga datang, mama Sari sedang tertidur karena kelelahan setelah berjuang melahirkan adik bayi. Sampai-sampai tak menyadari kehadiran suami dan anak-anaknya.
Tidak tampak Bi Irah di sana. Kata ayah, Bi Irah disuruh pulang dulu untuk beberes rumah karena mau ada tamu, Ibu Faris dan Aida.
Aida segera menghampiri boks bayi. "Yes!" Aida memberikan tanda kemengan dengan mengepalkan tangan kanannya seolah menandakan kemenangan. Faris nyegir melihat ekspresi Aida. Itu artinya, adiknya seorang jagoan. "Welcome to the jugle, Dik. Mas janji akan mengajarimu banyak jurus dalam latihan dan dalam menghadapi kakakmu yang jutek ini." ucap Faris pada adik bayinya sambil melirik Aida yang ada di sampingnya.
"Kakak...!!!" teriak Aida spontan dan segera mengarahakn kedua tangannya untuk menutup mulutnya karena takut membangunkan mama Sari dan adik bayinya.
"Loh.. Kalian udah lama datangnya?" suara mama Sari membuat Aida merasa bersalah.
" Maaf ya Ma, jadi kebangun karena Aida berisik." ujar Aida.
"Nggak apa-apa, Sayang. Mama tadi ketiduran habis memberikan ASI pada adikmu." jawab mama Sari.
"Mama sudah kuat jalan?" Ayah menghampiri mama Sari dan mengelus rambut dan mengecup keningnya. Faris dan Aida sambil berpandangan. Kemesraan yang seharusnya masih bisa ayah berikan kepada ibu mereka, andai saja tidak ada perpisahan. Tanpa dikomando, Aida dan Faris menghela napas panjang, mengurungjan niatnya untuk bersalaman dengan mama tirinya dan mengalihkan pandangannya pada adik bayinya."Belum, tadi Mama minta bantuan pada neng bidan yang lagi jaga, Pa." Jawa mama Sari sambil melihat ke arah bok bayinya.
"Faris, Aida...Kalian gimana kondisinya? Mama khawatir banget dengar cerita dari Ayahmu tadi sebelum kalian ke Rumah Sakit." tanya Mama Sari seolah mengerti kalau kedua anaknya sedang jeles melihat adegan kemesraan dirinya barusan.
"Alhamdulillah, kami baik-baik saja, Ma." jawab Faris masih bergeming di dekat bok bayi.
"Sini, dong anak Mama!" pinta mama Sari sambil membuka kedua tangannya menanti pelukan dari Faris dan Aida. Mereka berdua ragu untuk mendekat dan memandang ayah, berharap bsia menjelaskan.
"Anak-anak masih berdebu, Ma. Pelukannya nanti saja ya kalau mereka sudah bersih." ujar ayah memberikan pengertian ke mama Sari.
"Selamat ya Ma atas kelahirannya dedek bayinya. Cakep kayak siapa ya, Aida?" ujar Faris sambil memegang kerah kaosnya.
"Ih, kagak ada mirip-miripnya. Ya,kan Dik?" jawab Aida sambil pura-pura ngajak ngobrol Adiknya. Mereka bertiga tertawa melihat tingkah Aida.
"Iya, sayang. Terimakasih banyak. Ntar adiknya diajakin latihan ya biar bisa jagain mama dan Kak Aida." Jawab mama Sari dengan mata berbinar. Ia sangat bersukur bisa melewati persalinan normal. Walaupun awalnya ia mengalami perdarahan, tetapi masih bisa diatasi dan tidak jadi dioperasi.
"Sama-sama , Ma. Siap! Nanti Faris ajari jurus-jurus pamungkas." Faris terkekeh.
"Ma, Faris dan Aida nggak bisa lama-lama di sini. Badan kami masih sangat kotor. Kami mau pamit pulang dulu ya , Ma." sambung Faris.
"Ya...padahal sebenarnya Mama masih ingin ngobrol lama sama kalian. Ya sudah, deh. Besok datang lagi ya ke sini. Gendongin tuh Aida dedek bayinya." Walaupun agak kecewa, mama Sari akhirnya bisa mengerti.
"Aida takut lah Ma kalau suruh gendong. Ntar aja kalau dah agak besaran dikit." Jawab Aida menggeleng sambil nyegir menanggapi ucapan mama Sari.
Faris dan Aida akhirnya berpamitan meninggalkan ayah, mama dan adik bayinya di rumah sakit. Mereka berdua memberikan kesempatan kepada ayanhya untuk bisa menikmati kebahagiaan dengan keluarga barunya yang semakin lengkap dengan kehadiran anak pertama mereka. Faris melajukan motornya menembus malamnya kota hujan ini menuju rumah ayahnya. Ia tak sabar menantikan subuh tiba. Ibu, Faris kangen.
Pun, demikian Aida. Hatinya berdebar menantikan esok hari. Ia berharap bisa segera memeluk dan mencium ibunya. Menebus segala yang ia perbuat pada ibunya. Ibu, Aida kangen, jerit Aida dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESILIENCE "Segalanya Untuk Aida"
Ficção AdolescenteFaris terpaksa harus tinggal di rumah Ayah dan Ibu tirinya demi memenuhi tugas yang diberikan ibunya, menjaga Aida, adik kesayangannya. Perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu membuat Aida kehilangan arah dan terjerumus dalam pergaula...